Putusan Mahkamah Konstitusi atas KPK Perlu Dieksaminasi

Putusan Mahkamah Konstitusi beserta dengan konstruksi pertimbangan hukum yang dibangun, terutama terkait dengan pertimbangan hukum MK yang menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengambil alih perkara-perkara sebelum 27 Desember 2002, harus segera dieksaminasi. Meski tidak punya kekuatan mengikat, eksaminasi putusan MK atas hak uji UU tentang KPK itu dapat menjawab sejumlah pertanyaan berbagai kalangan atas berbagai kejanggalan di dalam putusan MK itu.

Hal itu disampaikan ahli hukum perbankan Pradjoto, Direktur LBH Jakarta Uli Parulian Sihombing, dan Koordinator Masyarakat Pemantau Peradilan Asep Rakhmat Fadjar di Jakarta, Kamis (17/2).

Uli mengatakan, permohonan Bram HD Manoppo, rekanan kerja Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh dalam pengadaan helikopter MI-2 buatan Rostov, Rusia, hanya berdasarkan Pasal 68 soal pengambilalihan. Dalam pertimbangan majelis hakim konstitusi disebutkan, Pasal 68 tidak mengandung asas retroaktif, perkara Bram sama sekali bukan perkara yang diambil alih, dan Bram tidak dituntut berdasarkan Pasal 68, melainkan Pasal 6c. MK (Mahkamah Konstitusi) mempertimbangkan sesuatu yang tidak dimohonkan oleh pemohon, padahal kekuatan hukum pemohon tidak ada, ujar Uli.

Ia mengingatkan asas hukum yang harus dianut para hakim, yakni hanya memutus apa yang dimohonkan, tidak bisa menjawab sesuatu yang sama sekali tidak dimohonkan oleh pemohon. Dikatakan, pemohon tidak mengajukan permohonan soal Pasal 70 dan Pasal 72, tetapi MK di dalam pertimbangannya menjawab Pasal 70 dan Pasal 72 yang sama sekali tidak dimohonkan. Seharusnya pertimbangan majelis hakim tidak melebar ke mana-mana, tetapi cukup menjawab bahwa Pasal 68 tidak bertentangan dengan konstitusi, ujar Uli.

Untuk itu, lanjutnya, eksaminasi publik sangat diperlukan. MK harus terbuka terhadap eksaminasi publik ini agar masyarakat mengetahui mengapa MK bisa memutuskan hak uji Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) ini dengan putusan dan pertimbangan yang berbeda.

Sementara itu, Pradjoto menilai cara pandang MK yang legalistik sangat sempit karena tidak mempertimbangkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Semangat UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK secara jelas berisi keinginan kuat masyarakat, pemerintah, dan DPR agar Indonesia bebas dari korupsi. Kehadiran KPK sangat diharapkan untuk bisa memberantas korupsi di saat kejaksaan dan kepolisian dianggap tidak mampu.

Prinsip legalistik itu, lanjutnya, seharusnya tidak secara meluas dipegang majelis hakim konstitusi. Ia mengacu pendapat Simon Sajah, ahli hukum Belanda, yang secara tegas menyebutkan asas legalistik tidak bisa secara luas diberlakukan, melainkan harus juga diperhatikan hukum yang hidup di masyarakat.

Asas legalistik, katanya, tidak absolut. Ini terlihat dalam Pasal 1 Ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang membantah Pasal 1 Ayat (1) KUHP. Meski tidak mengikat, saya dan beberapa teman akan melakukan eksaminasi terhadap putusan MK atas KPK ini. Mengapa MK sampai mempertimbangkan sesuatu yang tidak dimohonkan oleh pemohon, ujar Pradjoto.

Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Teten Masduki mengatakan, Jangan sampai pendapat MK itu membuat surut KPK menyeret koruptor yang dibiarkan lolos oleh polisi dan jaksa.

Sementara itu, Asep Rakhmat Fadjar mengatakan, sudah saatnya ada lembaga pengawas MK yang terdiri dari orang- orang independen. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, pada Pasal 23 telah disebutkan adanya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. (VIN)

Sumber: Kompas, 18 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan