Puteh Terdakwa Pertama Diadili di Pengadilan Ad Hoc Korupsi [06/07/04]
Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh bakal menjadi terdakwa pertama yang diadili di pengadilan ad hoc korupsi. Saat ini, dia ditetapkan menjadi tersangka pertama dalam skandal korupsi pengadaan helikopter MI-2 buatan Rusia senilai Rp 12,5 miliar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Uniknya, meski nama terdakwa sudah disebut, pengadilan ad hoc korupsi tersebut belum terbentuk. Mahkamah Agung (MA) baru menyelesaikan proses fit and proper test hakim ad hoc korupsi di tingkat pertama, kasasi, dan banding. Pembentukan pengadilan ad hoc tinggal menunggu waktu karena sembilan hakim ad hoc pengadilan korupsi sudah dipilih beberapa waktu lalu.
Beberapa hari lalu, ketua KPK (Taufiequrachman Ruki, Red) sudah bertemu saya untuk membicarakan pembentukan pengadilan ad hoc (korupsi) untuk kasus Puteh. Kami menyatakan silakan saja kasus Puteh diserahkan kepada pengadilan ad hoc, jelas Ketua MA Bagir Manan setelah menggunakan hak pilihnya di TPS Kompleks Pejabat Negara di Widya Chandra, Jakarta, kemarin.
Seperti diketahui, Puteh pada akhir Juni 2004 ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Pengacara Puteh, O.C. Kaligis, menyayangkan sikap KPK yang terburu-buru menetapkan status tersangka terhadap kliennya itu. Alasannya, KPK seharusnya baru menetapkan tersangka jika pengadilan ad hoc korupsi telah dibentuk. Atas keberatan tersebut, Kaligis bakal mengajukan praperadilan terhadap KPK.
Meski mempersilakan melimpahkan kasus Puteh ke pengadilan ad hoc, Bagir meminta agar KPK tidak gegabah menangani perkara tersebut. Artinya, KPK jangan terburu-buru melimpahkan berkasnya sekadar untuk mengejar deadline. KPK harus cermat. Sebab, (penanganan) kasus korupsi tidak berlaku surut. Penyidikan bakal sia-sia jika di tengah persidangan ternyata ada sejumlah kelemahan, tegas guru besar Universitas Islam Bandung (Unisba) tersebut.
Secara terpisah, Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas memastikan, hari ini, KPK bakal memanggil Puteh untuk diperiksa sebagai tersangka. Saya (KPK) sudah mengirimkan surat panggilan kepada Puteh, jelasnya di Jakarta kemarin.
Lebih lanjut Bagir menyatakan, MA saat ini sedang menyiapkan pelantikan hakim ad hoc kasus korupsi. Dia mengakui, kualitas dan independensi sebagian di antara sejumlah hakim ad hoc hasil seleksi beberapa waktu lalu masih diragukan. Tapi, MA berjanji bakal mengoptimalkan kinerja ke-9 hakim ad hoc tersebut. Sebenarnya, kami butuh 16 hakim ad hoc (korupsi). Tapi, yang berhasil direkrut hanya sembilan hakim, ungkapnya.
Menurut Bagir, MA tidak mempunyai pilihan lain untuk menyeleksi hakim ad hoc susulan. Sebab, perekrutan hakim ad hoc membutuhkan anggaran yang tidak kecil, yakni Rp 500-Rp 600 juta. Jika memang kebutuhannya mendesak, tidak menutup kemungkinan MA membuka kembali pendaftaran untuk hakim ad hoc pengadilan korupsi. (agm/ton)
Sumber: Jawa Pos, 6 Juli 2004