Puteh Penuhi Panggilan Sebelum Dipaksa [15/07/04]
Sebelum perintah penangkapan dikeluarkan, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh kemarin memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi. Datang pada pukul 05.30 WIB, tersangka kasus korupsi pengadaan helikopter M1-2 itu diperiksa hingga 15 jam kemudian.
Wakil Ketua Komisi Erry Ryana Hardjapamekas menjelaskan, pemeriksaan terhadap Puteh masih akan dilanjutkan pukul 09.00 WIB pagi ini. Kami akan mengejar keterangan-keterangan dia besok (hari ini), katanya kepada Koran Tempo tadi malam. Berdasarkan pemeriksaan kemarin, menurut dia, tak ada keterangan baru yang diperoleh.
Puteh juga menolak memberikan keterangan sesuai pemeriksaan. Para pengawal membentenginya dari wartawan yang hendak meminta komentarnya hingga terjadi aksi dorong. Akibatnya, reporter ANTV Muhammad Soeharto Asegaf terluka di dahinya.
O.C Kaligis, kuasa hukum Puteh, menyatakan, kliennya harus menjawab 40 pertanyaan. (Pertanyaan) Berkisar pada kewenangan, persetujuan DPRD, dan Surat Keputusan Menteri Keuangan untuk langkah khusus di daerah konflik, katanya.
Kaligis menolak mengomentari desakan kepada kliennya untuk segera nonaktif dari jabatan. Dia mengaku hanya memberikan bantuan hukum dan bukan masalah ketatanegaraan. Ia menyatakan telah mengajukan gugatan praperadilan, karena menganggap Komisi terlalu prematur menetapkan kliennya sebagai tersangka.
Kemarin merupakan batas akhir bagi Puteh untuk memenuhi panggilan Komisi. Jika tidak, para polisi akan menggelandangnya dengan perintah pemanggilan paksa dari Komisi. Menurut Erry, Puteh datang dengan kawalan petugas dari lembaganya.
Politikus Partai Golkar itu dipanggil pertama kali pada 6 Juli 2004. Dengan alasan sibuk, ia minta pemeriksaan diundur dan berjanji akan datang pada 9 Juli 2004. Komisi memenuhi permintaan itu, tapi Puteh kembali mangkir tanpa alasan jelas. Karena itu, Komisi menyiapkan pemanggilan paksa dan telah meminta bantuan polisi.
Tentang permintaan Komisi kepada Presiden Megawati agar menonaktifkan Puteh, menurut Erry, hingga tadi malam belum dijawab. Menurut dia, undangan untuk bertemu seperti dinyatakan Presiden pun diterima. Kami masih menunggu jawaban resmi dari Presiden, ia menambahkan.
DPRD Nanggroe Aceh Darussalam hingga kemarin belum mengambil sikap. Anggota Fraksi Aliansi Reformasi Nasir Jamil meminta agar Puteh segera nonaktif untuk memperlancar tugas pemerintahan Aceh. Namun, Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional Bustami Puteh mengatakan, DPRD belum bisa bersikap karena belum menerima penetapan resmi Puteh sebagai tersangka dari Komisi.
DPRD Aceh terdiri dari anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (14 orang), Fraksi Aliansi Reformasi (13 orang), PAN (10 orang), Partai Golkar (8 orang), TNI/Polri (6 orang), dan PDI Perjuangan (6 orang). Wakil Gubernur Azwar Abubakar yang akan mengisi kursi Gubernur bila Puteh nonaktif merupakan politikus PAN.
Sosiolog dari Universitas Syahkuala Humam Hamid menuduh telah terjadi konspirasi antara DPRD, Menko Polkam ad interim Hari Sabarno, dan Puteh. Ia menunjuk sejumlah indikasi, termasuk janji Hari untuk menonaktifkan Puteh setelah menjadi tersangka tetapi belakangan tidak dipenuhi.
Humam juga melihat tidak ada keinginan politik dari DPRD Aceh untuk bersikap kritis kepada Gubernur Puteh. Jadi, mustahil mengharapkan DPRD bisa mencari jalan keluar, ujarnya.
Di Jakarta, aktivis antikorupsi Teten Masduki meminta Komisi untuk menahan Puteh. Menurut dia, Komisi berwenang meminta bantuan polisi atau instansi lain untuk menangkap, menahan, menggeledah, dan menyita seseorang yang diduga terlibat perkara tindak pidana korupsi.
Delapan lembaga swadaya masyarakat kemarin juga mendesak Presiden Megawati untuk segera memberhentikan Puteh, sebagai Gubernur dan Penguasa Darurat Sipil Daerah. Mereka adalah ICW, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independesi Peradilan, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Perkumpulan Demos, Solidaritas Masyarakat Antikorupsi Aceh, dan Transparency Internasional Indonesia. tito sianipar/maria rida/yandhrie arvian/yuswardi
Sumber: Koran Tempo, 15 Juli 2004