Puteh, Nurdin, dan Nursalim [23/07/04]

Dua kader Golkar -Abdullah Puteh yang menjabat gubernur NAD (Nangroe Aceh Darussalam) dan Nurdin Halid yang masih anggota DPR- tersandung masalah.

Puteh diduga melakukan mark up harga pembelian helikopter untuk keperluan daerah yang dipimpinnya. Sedangkan Nurdin diduga bertanggung jawab dalam kasus gula impor yang diduga ilegal.

Benarkah tuduhan itu? Masih perlu bukti dalam sidang pengadilan kelak jika perkara tersebut diteruskan. Pengadilanlah yang berwenang memutuskan kedua tokoh Golkar itu bersalah atau tidak.

Sepanjang penanganan perkara dua tokoh itu murni untuk penegakan hukum berdasarkan prinsip equality before the law -semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum- maka proses hukum yang sedang dikenakan kepada mereka patut didukung.

Sebagai negara hukum, siapa pun yang diduga melakukan pelanggaran hukum wajib diproses melalui mekanisme yang jujur, adil, dan independen. Jangankan hanya gubernur dan anggota DPR, pejabat negara yang lebih tinggi pun wajib dikenai proses hukum yang sama bila terbukti melanggar hukum.

Masalahnya, perkara yang menyangkut Puteh dan Nurdin itu terjadi atau dilakukan pada saat tensi persaingan capres-cawapres dalam pemilihan presiden sedang berada di titik kulminasi.

Semua capres-cawapres dalam kampanye lalu sama-sama melontarkan janji sangat muluk untuk menegakkan hukum, memberantas korupsi, menciptakan clean and good governance, serta memberlakukan hukum dengan adil tanpa pandang status dan kedudukan.

Karena itu, muncul pikiran kritis. Jangan-jangan, proses hukum yang dikenakan kepada dua tokoh Golkar tersebut justru bermuatan kepentingan politik. Yaitu, untuk mendapatkan legitimasi bahwa salah satu capres-cawapres yang sedang berjuang memenangkan pemilihan presiden memang kandidat yang sangat peduli terhadap supremasi hukum.

Pikiran semacam itu tidak bisa disalahkan. Sebab, pada saat yang hampir sama, tersangka korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Sjamsul Nursalim justru dibebaskan dari tuntutan hukum.

Memang benar, Nursalim dibebaskan lantaran sudah mengantongi surat keterangan lunas (SKL) utang dari perusahaan pengelola aset. Hanya, meski pemerintah sejak dua tahun lalu mengeluarkan ketentuan mengenai pengampunan -bebas dari tuntutan hukum- terhadap konglomerat yang melunasi utang-utangnya terkait dengan penyalahgunaan BLBI, hal itu melanggar norma-norma serta prinsip keadilan publik dan equality before the law.

Lagi pula, Nursalim sempat hengkang ke luar negeri dengan alasan sakit ketika ditetapkan kejaksaan sebagai tersangka penyalahgunaan BLBI. Bahkan, aparat penegak hukum sempat memburunya ke luar negeri.

Dalam konteks itu, sangat terasa perbedaan perlakuan terhadap Nursalim serta terhadap Puteh dan Nurdin. Terhadap Nursalim, hukum seolah lembek dan lumpuh. Sedangkan kepada dua kader Golkar itu, hukum terkesan tegas.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Jawa Pos 23 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan