Puteh dan Mulyana di Bawah Pedang KPK
Hukum di negeri ini sedang bersungguh-sungguh membangun kepercayaan publik tentang komitmen terhadap keadilan dan kebenaran? Inilah pertanyaan yang amat sulit dijawab. Amat sulit karena terlalu sedikit contoh tentang komitmen itu. Yang masih luas menggejala adalah kebenaran dan keadilan yang terkalahkan oleh uang dan kekuasaan.
Itulah yang menyebabkan korupsi dalam berbagai bentuk tetap subur di Indonesia. Itulah yang menyebabkan tingginya impunity--orang-orang yang bersalah, tetapi tidak bisa disentuh hukum. Itulah sebabnya banyak kasus korupsi yang melibatkan para pengusaha dan petinggi negara tenggelam dalam ketidakberdayaan aparatur penegak hukum untuk menyentuhnya. Itu juga yang menyebabkan banyak lembaga yang dibentuk untuk kepentingan penegakan hukum mandul.
Di tengah krisis contoh yang baik tentang penegakan hukum, kita sedikitnya mencatat tiga kasus korupsi yang memberi harapan tentang kesungguhan komitmen itu. Pertama, hukuman seumur hidup yang dijatuhkan kepada Edy Santoso dalam skandal pembobolan BNI senilai Rp 1,3 triliun. Kedua, juga hukuman seumur hidup yang dijatuhkan kepada Adrian Waworuntu dalam kasus yang sama, yaitu pembobolan uang BNI melalui L/C fiktif. Dan, ketiga, adalah vonis 10 tahun penjara terhadap Abdullah Puteh, mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam dalam kasus pengadaan helikopter M-2.
Bila dua contoh kesungguhan pertama lahir dari lembaga kepolisian dan kejaksaan, contoh terakhir, Abdullah Puteh, lahir dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), sebuah superbody di bidang penegakan hukum (khusus dalam pemberantasan korupsi) yang sering dikritik karena belum berbuat banyak. Padahal praktik korupsi di negeri ini berjubel di depan mata dari hari ke hari.
KPK dan Puteh perlu mendapat perhatian khusus. Kasus Puteh adalah contoh bahwa KPK mulai memperlihatkan taring sebagai superbody. Karena inilah kasus yang seluruh prosesnya berada di tangan KPK.
Kalau kita merujuk pada kasus Puteh sebagai contoh taring yang mulai diperlihatkan KPK, kita tidak sedang bergembira ria karena Puteh divonis 10 tahun, dua tahun lebih berat daripada tuntutan jaksa.
Di ujung kasus Puteh, KPK unjuk gigi lagi. Mulyana W Kusumah, anggota Komisi Pemilihan Umum, dijebloskan ke rumah tahanan karena diduga melakukan penyuapan terhadap anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang hendak melakukan audit investigasi terhadap penggunaan dana oleh KPU.
Sekali lagi, kita tidak sedang bersukaria karena seorang Mulyana W Kusumah ditahan. Kegembiraan kita bertumpu pada keberanian KPK yang mulai tumbuh dalam membongkar praktik korupsi.
Seorang Puteh belum bisa dikatakan bersalah karena masih naik banding. Seorang Mulyana W Kusumah belum boleh disebut sebagai koruptor karena belum ada putusan pengadilan.
Tetapi yang mahapenting dan menggembirakan adalah sebuah superbody seperti KPK mulai menghunus pedang perlawanan terhadap korupsi. Selama ini penegakan hukum lunglai tak berdaya karena pedang hukum dibiarkan berkarat dalam sarungnya. Tidak diacungkan sebagai pedang yang mampu menebas.
Maju terus KPK, kibarkan kegaranganmu pada korupsi dengan pedang hukum yang terhunus. Kalau pedangmu berlumuran darah, itulah darah yang menyelamatkan bangsa ini di masa depan.
Tulisan ini merupakan tajuk rencana Media Indonesia, 12 April 2005