Puteh Bayar Kerugian Korupsi
Hari ini disetor ke kas negara.
Terpidana mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh akhirnya membayar uang pengganti Rp 6,5 miliar kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Yessy Esmeralda, penuntut umum kasus Puteh, Komisi Pemberantasan bersama penyidik lainnya berada di Bank Mega Cabang Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, untuk menerima dana secara tunai dari istri terpidana, Marlinda Purnomo. Dana tunai yang kami terima dari istri Puteh itu akan kami serahkan kepada bendahara Komisi Pemberantasan Korupsi, ujar Yessy ketika dihubungi Tempo kemarin.
Mahkamah Agung pada 13 September memvonis Puteh 10 tahun penjara. Majelis juga mengharuskan Puteh membayar uang pengganti atas kasus korupsi pembelian helikopter Mi-2 PLC Rostov buatan Rusia bagi Pemerintah Daerah Aceh. Puteh dianggap melanggar Keputusan Presiden Nomor 18/2000 soal Pengadaan Barang dan Jasa karena proses pembelian tidak dilakukan melalui tender.
Majelis kasasi mengharuskan membayar uang pengganti Rp 6,5 miliar. Majelis kasasi menyatakan, uang pengganti harus dibayarkan selama sebulan. Jika tidak dipenuhi, harta Puteh akan disita untuk mencukupi nilai tersebut. Puteh sempat dua kali meminta penundaan pembayaran. Pada 23 November, istri Puteh, Marlinda Purnomo, mengajukan kredit ke Bank Mega Cabang Sudirman, Jakarta Selatan. Kredit itu dengan agunan sebidang lahan tanah di kawasan Cipete dan tanah serta bangunan di Ciganjur, Jakarta Selatan, seluas 2.000 meter persegi. Bank menyetujui kredit itu dan baru cair kemarin.
Yessy mengatakan, setelah masuk ke bendahara Komisi Pemberantasan, dana tunai Rp 6,5 miliar akan disetorkan ke kas negara. Karena ini sudah sore, uang pengganti itu baru akan diserahkan besok (hari ini), ujarnya. Uang pengganti ini merupakan yang pertama dari kasus yang diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara itu, Mohamad Assegaf, pengacara Puteh, mengatakan, meski uang pengganti--uang yang dianggap hasil korupsi--telah dibayarkan, tetap menyisakan persoalan, yakni status helikopter. Menurut dia, kliennya sudah dihukum melakukan korupsi karena pembelian helikopter. Kini, kliennya diharuskan membayar uang pengganti atas kasus helikopter itu dengan dana pribadi. Logikanya sama saja dia yang membeli helikopter itu, ujarnya saat dihubungi kemarin.
Lagi pula Assegaf menilai aneh penyidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan terhadap helikopter yang disebut sebagai barang bukti itu. Sejak awal helikopter itu tidak pernah disita, ujarnya. SUKMA LOPPIES
Sumber: Koran Tempo, 2 Desember 2005