Puteh Bantah Suap Pegawai Pengadilan Tinggi DKI

Gubernur non aktif Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang juga terpidana kasus korupsi pembelian helikopter Mi-2, Abdullah Puteh menyangkal telah memberikan uang kepada Wakil Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Panitera Muda bidang Pidana PT DKI Jakarta terkait proses banding kasusnya.

Saya tidak pernah menyuruh T Syaifuddin untuk bertemu dengan orang dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Saya tidak tahu dari mana uang sejumlah Rp250 juta itu, kata Puteh saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap dengan terdakwa Ramadhan Rizal dan Mochamad Soleh yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Selasa (4/10).

Meski demikian, Puteh mengakui bahwa T Syaifuddin alias Popon adalah kuasa hukumnya dalam proses banding putusan pengadilan tipikor terkait kasus korupsi pembelian helikopter Mi-2 milik Pemprov NAD. Saat menjabat sebagai Gubernur, saya kenal dengan Popon di Banda Aceh dan menangani beberapa kasus hukum di sana, katanya.

Puteh juga mengenal Said Salim, orang yang disebut-sebut oleh Popon menyuruhnya mengantarkan uang kepada M Soleh yang berada di ruangan Ramadhan Rizal. Saya mengenal Said Salim di Banda Aceh sekitar 2001 atau 2002, tutur Puteh.

Ketika Ketua Majelis hakim Gus Rizal menanyakan apakah Puteh mengetahui orang yang bernama M Arifin AS, ia mengatakan bahwa pernah mengenal Arifin namun tidak ingat bekerja di instansi mana.

Saya lupa tetapi kalau tidak salah dari Departemen Hukum atau apa begitu. Tetapi saya memang pernah menghubunginya melalui telepon untuk menanyakan perkembangan proses banding kasus saya, ungkapnya.

Suami mantan penyiar TVRI itu mengatakan alasannya menghubungi Arifin karena banyak pesan singkat per telepon selular yang diterimanya menyangkut putusan banding kasus tersebut.

Selain Puteh, istrinya Marlinda Irwanti atau yang dikenal dengan Linda Puteh juga memberikan kesaksian terkait kasus dugaan suap tersebut. Namun sebagian besar kesaksiannya menyatakan bahwa ia sama sekali tidak mengetahui pemberian uang Rp250 juta kepada Ramadhan Rizal dan M Soleh serta menyatakan sejumlah pesan singkat yang dikirimnya ke Said Salim merupakan penulisan ulang dari pesan singkat sejumlah orang yang tidak dikenalnya.

Selama tanggal 12 hingga 13 Juni 2005 banyak sekali SMS yang masuk, dan hampir semuanya mencari Pak Said Salim, karena saya bingung maka saya tuliskankan kembali dan dikirim ke Pak Said, kata Linda.

Demikian juga ketika salah seorang hakim anggota, Dudu Duswara menanyakan salah satu isi pesan singkat yang menyatakan bahwa semua

kebutuhan termasuk penginapan bagi majelis hakim banding telah dibayarkan namun putusan tetap berat, Linda menyangkal menulis sendiri pesan tersebut.

Itu saya dapatkan dari SMS yang masuk, jadi saya kirimkan lagi ke Pak Said karena bingung, ujarnya.

Atas kesaksian dua saksi tersebut, penasihat hukum Ramadhan Rizal dan M Soleh mengajukan protes karena kedua saksi tersebut dinilai tidak memiliki hubungan langsung dengan kedua kliennya. Mengapa tidak langsung saja ditanyakan apakah saksi ini mengetahui atau tidak hubungannya dengan klien kami, kata Firman Wijaya, kuasa hukum M Soleh.

Menanggapi hal itu Gus Rizal menyatakan, pengajuan saksi merupakan kewenangan penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya. Biarlah masing-masing dari kita menjalankan tugas dan fungsinya, kata Gus Rizal.

Majelis hakim memutuskan akan melanjutkan persidangan pada Selasa 11 Oktober 2005 pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Kita akan panggil Said Salim untuk didengarkan keterangannya pada pekan depan, kata jaksa penuntut umum, Khaidir Ramlin.

Wakil Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Ramadhan Rizal dan Panitera Muda Pidana PT DKI Jakarta Mochamad Soleh didakwa menerima suap dari T Syaifuddin alis Popon pengacara Gubernur Non Aktif NAD Abdullah Puteh terkait masalah banding kasus pembelian helikopter Mi-2 milik Pemprov NAD senilai Rp249,9 juta.

Ramadhan Rizal dan Mochamad Soleh disidangkan di Pengadilan Tipikor dalam berkas terpisah dengan T Syaifuddin Popon. Keduanya didakwa melanggar Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang No.31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 pada dakwaan pertama dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dakwaan kedua. (Ant/OL-06)

Sumber: Media Indonesia, 5 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan