Pura-pura Memberantas Korupsi
Judulnya gagah: “Rancangan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”. Konsideran atau bagian pertimbangannya pun tampak lebih serius, bahwa korupsi adalah pelanggaran terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat yang bersifat meluas dan endemik, serta merendahkan martabat bangsa di forum internasional. Karena itulah--masih di RUU ini--korupsi disebut extraordinary crimes sehingga upaya pemberantasan korupsi juga harus dilakukan secara luar biasa.
Indah nian. Tapi jangan terlalu berharap banyak, terutama ketika Anda membaca tubuh rancangan undang-undang yang disusun di dua periode pemerintahan ini. RUU Tipikor versi pemerintah awalnya diniatkan menjadi salah satu fondasi utama pemberantasan korupsi setelah Indonesia meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada 2006. Tapi, secara umum, tampaknya RUU ini jauh panggang daripada api.
Indonesia Corruption Watch mencatat, alih-alih memperkuat aspek extraordinary atau paradigma korupsi sebagai kejahatan luar biasa, RUU ini justru rentan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Ada sembilan poin yang menjadi catatan ICW terkait dengan berkurangnya intensitas extraordinary alias pelemahan dari undang-undang yang sudah ada sebelumnya. Dibanding Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sekarang, sejumlah poin di RUU tersebut sungguh mengkhawatirkan.
Pasal raib
Sebuah pasal penting yang dipertahankan sejak era Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, hingga diganti menjadi UU No. 31/1999 dan direvisi dengan UU No. 20/2001, justru dihilangkan dalam RUU Tipikor. Pasal ini pun tercatat sebagai salah satu pasal yang paling banyak menjerat koruptor, baik di kepolisian, kejaksaan, ataupun KPK. Dalam UU No. 3/1971, poin tersebut diatur pada Pasal 1 huruf (a), dan Pasal 2 di UU No. 31/1999 yang saat ini berlaku. Pasal tersebut mengatur bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga berakibat dirugikannya keuangan negara adalah korupsi. Sanksi pidananya sangat tinggi, yakni maksimal 20 tahun atau seumur hidup (UU No. 3/1971), atau minimal 4 tahun dan maksimal hukuman mati di undang-undang tahun 1999.
Kenapa pasal ini bisa dihilangkan? Saya tidak membayangkan jika pasal ini tidak ada dalam sebuah undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada 2010 saja KPK menjerat 42 tersangka dengan pasal yang kini hilang di RUU Tipikor tersebut. Orang-orang seperti Gayus Tambunan, Aulia Pohan, dan sejumlah menteri mungkin tak pernah akan bisa diproses jika pasal ini tak ada. Apalagi, dilihat dari keberadaan awalnya, pasal ini disusun sedemikian rupa untuk mencegah tidak terjeratnya kejahatan korupsi yang semakin canggih dari waktu ke waktu.
Pemerintah beralasan penghilangan pasal tersebut karena UNCAC tidak lagi menganut prinsip kerugian keuangan negara dalam korupsi. Sehingga, pasal 2 yang menghendaki adanya unsur kerugian keuangan negara harus dihapus. Sebuah argumen yang tidak hanya janggal, tapi juga mengundang pertanyaan. Sebab, yang dimaksud UNCAC sebenarnya lebih menekankan pada: bahwa korupsi tidak lagi hanya persoalan kerugian keuangan negara, tetapi lebih luas, yakni kerugian keuangan publik. Logikanya, jika UNCAC mengatur lebih luas, maka unsur yang sudah ada tidak boleh dikurangi, apalagi dihilangkan.
Problem lain ternyata tidak hanya terletak pada “pasal raib” tersebut. Mulai bertebaran pasal-pasal tanpa ancaman pidana minimal dan penurunan ancaman pidana maksimal. ICW menemukan 7 pasal yang tidak mengatur pidana minimal. Padahal klausul pidana minimal adalah salah satu ciri “luar biasa”-nya korupsi, sehingga harus diperangi dengan cara luar biasa. Vonis 1 tahun pun terlihat pada beberapa pasal. Tak bisa dibayangkan, dengan kemungkinan pengurangan hukuman melalui remisi, asimilasi, dan cuti menjelang bebas di lembaga pemasyarakatan, apa artinya hukuman yang hanya 1 tahun?
Dagelan pemberantasan korupsi di RUU Tipikor ini semakin terlihat tidak konsisten dengan agenda pemberantasan mafia hukum yang didengungkan Presiden SBY. Sementara dalam seratus hari pertama pemerintahan jilid II Presiden menempatkan program “Ganyang Mafia” di urutan pertama, di RUU Tipikor ini sanksi pidana untuk pelaku mafia hukum justru berkurang drastis dari maksimum 20 tahun menjadi 7 tahun, atau untuk hakim ditambah sepertiga.
Dengan sangat cerdik, di RUU Tipikor ini terselip aturan yang tidak jelas soal kewenangan penuntutan KPK. Wacana bahwa kewenangan KPK akan dibonsai, penuntutan yang semula dilakukan oleh jaksa penuntut umum di KPK akan dikembalikan ke kejaksaan, sepertinya menemui jejaknya di Pasal 32 RUU Tipikor ini. Aneh, dalam pasal sebelumnya disebutkan secara tegas eksistensi kelembagaan KPK dalam melakukan penyidikan, tetapi di pasal 32 kewenangan penuntutan seperti disiasati melalui norma “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan dilakukan berdasarkan hukum acara, kecuali ditentukan lain di UU ini”. Padahal, klausul “hukum acara” rentan sekali ditafsirkan sebagai UU No. 8/1981 atau dikenal dengan KUHAP. Sementara di KUHAP sendiri tidak dikenal lembaga KPK.
Hal krusial lain yang juga membingungkan dari RUU ini adalah adanya bagian yang mengatakan penghentian penuntutan terhadap korupsi di bawah Rp 25 juta. Meskipun disyaratkan agar kerugian dikembalikan, dan pelaku mengaku bersalah, hal ini tetap saja menimbulkan anomali jika dilihat dari aspek “unsur jahat” dari korupsi. Apalagi nilai Rp 25 juta tersebut sampai hari ini masih cukup tinggi untuk kalangan pedesaan atau bahkan korupsi di sekolah. Bahkan korupsi-korupsi yang terjadi di pelayanan publik masyarakat umum biasanya bernilai lebih rendah dari Rp 25 juta.
Dari semua poin tersebut, timbul pertanyaan serius, apakah benar pemerintahan SBY berkomitmen dengan pemberantasan korupsi? Di satu sisi pemerintah “menjual” isu pemberantasan korupsi dalam masa kampanye dan merebut hati pemilih. Tetapi, di sisi lain, legislasi dan kebijakan yang disusun berseberangan dengan suara antikorupsi. Anomali seperti ini lama-kelamaan tentu akan menggerus legitimasi pemerintahan di era mana pun. Mungkin banyak orang lebih maklum terhadap mafia yang berwajah mafia ketimbang pencoleng dengan wajah malaikat.
Namun belum terlambat untuk meninjau ulang RUU Tindak Pidana Korupsi yang sekarang sedang dibahas di lingkaran inti pemerintah. Hal-hal positif di RUU silakan dipertahankan, tetapi pasal-pasal yang pro-koruptor harus disingkirkan tanpa toleransi sedikit pun. Tidak ada gunanya berkeras memaksakan norma kontroversial di rancangan beleid yang ditolak sejak awal ini. Kecuali memang ingin membenarkan sangkaan publik bahwa yang dilakukan saat ini tidak lebih dari pura-pura memberantas korupsi saja.
Febri Diansyah, KOORDINATOR DIVISI HUKUM DAN MONITORING PERADILAN INDONESIA CORRUPTION WATCH
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 1 April 2011