Pungutan Resmi Pun Masih Disiasati

Hutan pada masa keemasannya pernah menjadi sektor utama yang memberi sumbangan terbesar untuk pemulihan ekonomi Indonesia di era tahun 1967 hingga 1973, sebelum minyak dan gas bumi menjadi primadona. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di periode itu terutama karena tumbuhnya industri pengolahan kayu, yang menyerap banyak tenaga kerja serta memberi dampak positif pada perekonomian masyarakat di sekitarnya.

DATA Badan Pusat Statistik menyebutkan, di era tahun 1973 sektor kehutanan dan industri pengolahan kayunya telah menyumbang sekitar 5,3 persen bagi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negeri ini. Periode 1984-2000, sumbangannya menurun hanya sekitar 2,22 persen hingga 4,51 persen terhadap PDB, tetapi masih menempati ranking pertama penghasil devisa selain minyak dan gas bumi.

Meskipun sumbangan terhadap PDB secara persentase cenderung menurun, yaitu 1,9 persen tahun 1993, kemudian 1,56 persen (1997), dan 1,17 persen (2000), sebenarnya nilainya terus meningkat. Tahun 1993, misalnya, dari data yang dikumpulkan oleh pengamat kehutanan Transtoto Handadhari, tercatat nilai tambah bruto (NTB) kehutanan tahun 1993 sekitar Rp 6,268 triliun, kemudian naik menjadi Rp 9,807 triliun tahun 1997, dan Rp 15,078 triliun tahun 2000.

Industri pengolahan kayu dalam negeri, khususnya kayu lapis (plywood), pernah merajai dunia dengan memasok 71,85 persen kebutuhan impor dunia, yang menghasilkan devisa bagi negara sebesar 3,282 juta dollar AS pada tahun 1977, dan meningkat tajam di tahun 1993 menjadi 4,589 juta dollar AS.

Penerimaan yang sangat besar dari sektor kehutanan itu belum dapat dijadikan potret yang menunjukkan potensi sebenarnya sektor ini. Karena, bukan saja terjadi penebangan liar, pencurian kayu, dan aneka penyelewengan lainnya, tetapi juga adanya tunggakan-tunggakan yang tidak dibayarkan oleh para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH).

Memungut hasil hutan bukannya tanpa biaya. Sederet ketentuan harus dipenuhi untuk dapat memungut hasil hutan, mulai dari mengurus izin untuk mendapatkan HPH. Setelah dapat, masih harus membuat tata batas, pemetaan areal tebangan, membuat citra landsat, pengayaan tanaman, melakukan bina desa, membayar provisi sumber daya hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), dan yang lainnya.

Hasil terbesar yang diterima negara dari pemanenan kayu bulat berasal dari penerimaan pungutan-pungutan pengusahaan hutan (forest charges), terutama PSDH yang dahulu disebut iuran hasil hutan (IHH), dan DR yang sebelumnya disebut dana jaminan reboisasi.

Dari perhitungan yang dilakukan oleh Transtoto, ditemukan 96 persen dari total pendapatan dari pungutan sektor kehutanan berasal dari PSDH dan DR. Di era reformasi, khususnya periode 2000-2004, kecenderungan penerimaan dari DR dan PSDH terus menurun seiring dengan kebijakan untuk mengurangi target produksi kayu alam untuk memberi kesempatan bernapas bagi hutan tropis kita. Tahun 2003, misalnya, ditargetkan produksi kayu dari hutan alam sekitar 6,892 juta meter kubik, tahun 2004 diturunkan menjadi 5,743 juta meter kubik.

BIAYA awal yang harus dikeluarkan oleh pengusaha untuk dapat secara legal menebang kayu di hutan adalah membayar izin usaha pemungutan hasil hutan (IUPHH). Ketentuan pungutan ini mengalami empat kali perubahan. Pertama, Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No 2/1/1968 yang menetapkan tarif 0,5 dollar AS per hektar per tahun. Selanjutnya berubah menjadi Rp 20 (1971-1979), diubah lagi menjadi Rp 1.000 (1979-1987) dan Rp 3.000 (1987-1993).

Kemudian dilakukan perbaikan aturan dengan menetapkan tarif berdasarkan wilayah melalui SK Menteri Kehutanan No 94/Kpts-IV/1993, yang diubah lagi pada tahun 1998 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 59/1998, dan yang berlaku kini adalah ketentuan berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 700/Kpts-II/1999.

Selanjutnya, ketika memanen kayunya, ketentuan yang ditetapkan adalah membayar PSDH, yang ditetapkan berdasarkan volume produksi kayu bulat. Nilai pungutannya berpijak dari nilai jual kayu bulat yang ditebang, yang berbeda untuk setiap jenis kayu.

PSDH yang sebelumnya disebut IHH juga berkali-kali mengalami perubahan. IHH pada awalnya ditentukan berdasarkan PP No 22/1967 (1968-1984), yang ditetapkan dengan menghitung produksi kayu bulat plus pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Tahun 1985 ditetapkan berdasarkan kayu olahan (Keputusan Presiden/Keppres No 77/1985), dan diubah dengan Keppres No 30/1990 yang tarifnya didasarkan pada kayu bulat yang berada di tempat penimbunan kayu HPH.

Di era reformasi, IHH diubah menjadi PSDH, dan dikeluarkan ketentuan baru PP No 74/1999, diubah lagi dengan SK Menhutbun No 858/Kpts-II/ 1999 yang memberi peluang ada peninjauan harga setiap enam bulan, dan diperbarui lagi melalui SK Menhut No 643/Menhut-VI/2001. Melihat perkembangan harga pasar tahun 2002, dibuat patokan harga baru yang berlaku hingga saat ini.

Jika sebelumnya PSDH dibayar di pintu akhir, yaitu di industri atau di tempat penimbunan kayu HPH, kini pembayaran dilakukan di muka, yaitu sebelum dilakukan penebangan. Cara ini untuk menghindari tunggakan pembayaran yang pada masa lalu sangat besar, bahkan banyak yang tidak membayar sampai perusahaannya tutup. Selain itu mencegah terjadinya pencurian.

Karena pengusaha harus membayar dulu, kalau yang ditebang kurang dari yang dibayarkan, itu risiko pengusaha. Dan, kalau dulu mereka menghitung sendiri, sekarang kita yang menghitung, dan setiap tingkat ada audit, tutur Direktur Iuran Departemen Kehutanan Bambang Edy Purwanto.

Selain itu, juga ada pembayaran DR. Di masa lalu hanya ditetapkan berdasarkan luasan hutan yang dikuasai. Kini, selain luasan hutan juga jenis kayu, serta wilayah di mana hutan itu berada. Hingga Februari 2005, tunggakan DR total berjumlah Rp 323 miliar. Seharusnya tidak logis ada tunggakan karena pengusaha itu sudah mengambil kayu dan menjualnya. Oleh karena itu, kita beri peringatan, jika tetap belum membayar, izin HPH-nya bisa dicabut, kata Bambang.

Ada dua perusahaan yang telah dicabut izin HPH-nya, yaitu PT Artika Optima Inti I dan PT Bina Mahawana Wisesa. Menurut Greenomics, tunggakan itu karena ketidakmampuan atau keengganan perusahaan HPH membayar DR/PSDH. Mekanisme pembayaran DR/PSDH dengan mencicil sesuai volume kayu yang ditebang. Ada dugaan, perusahaan HPH sengaja tidak mau membayar karena uang hasil penebangan kayu dimanfaatkan untuk bisnis lain di luar sektor kehutanan.

PERBAIKAN sistem dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadi kecurangan. Mulai tahun 2003, Departemen Kehutanan mengubah pola pembayaran DR/PSDH. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 124/Kpts-II/2003 dan Nomor 128/Kpts-II/2003 pola pembayaran DR/PSDH dibayar di muka. Jika perusahaan ingin mendapatkan Rencana Karya Tahunan, mereka harus membayar DR/PSDH sesuai jumlah kayu tebangan yang direncanakan.

Mekanismenya, perusahaan HPH melaksanakan cruising kayu tebangan terlebih dahulu. Cruising kayu tersebut dilaksanakan bersama konsultan. Setelah cruising dilaksanakan, perusahaan HPH menyerahkan laporan hasilnya ke kepala daerah, dalam hal ini Dinas Kehutanan setempat. Setelah diperiksa, Dinas Kehutanan kemudian mengeluarkan surat perintah pembayaran DR/PSDH.

Pembayarannya tidak langsung lunas, diangsur l 25 persen per tiga bulan. Penebangan kayunya baru dapat dilakukan setahun kemudian ketika semua cicilan iuran DR/PSDH terbayarkan. Dengan mekanisme ini, maka tidak akan ada lagi tunggakan.

Kendati demikian, mekanisme pembayaran DR/PSDH ini belum lepas dari potensi penyimpangan. Praktik penyimpangan bisa dilakukan perusahaan HPH pada tahap kayu tebangan. Mereka bisa bermain mata dengan konsultan atau Dinas Kehutanan. Maka dari itu, diperlukan pengawasan yang ketat dan komitmen yang tegas dari Dinas Kehutanan setempat.

Potensi penyimpangan kedua dapat dilakukan perusahaan HPH pada saat menyerahkan bukti pembayaran DR/PSDH. Karena itu, pemerintah perlu teliti terhadap bukti pembayaran yang diserahkan apakah asli atau dipalsukan. Untuk itu, menurut Bambang, telah dibuat sistem 15 digit agar tidak ada pembayaran fiktif.

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengatakan, persoalan DR/PSDH tidak berhenti pada persoalan pembayarannya saja. Yang lebih penting adalah alur penggunaannya. Untungnya, DR/PSDH yang dibayarkan akan langsung masuk kas negara. Sehingga untuk mengeluarkan dana tersebut harus melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) melalui persetujuan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), kata Elfian menjelaskan.

Kendati demikian, Elfian mengingatkan, DPR juga harus terus mengawasi penggunaan dana DR/PSDH yang sudah dikeluarkan melalui APBN. Pencuri memang selalu punya cara untuk menyiasati pintu yang menghadang. Oleh karena itu, penjaga rumah harus selalu siaga dan tidak mudah disuap oleh sang pencuri. (ELY/OTW/tat)

Sumber: Kompas, 5 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan