Pungutan Liar pada Jamkesmas

onengSistem Jaminan Sosial Nasional agar Direalisasikan
Sejumlah pasien keluarga miskin ternyata harus mengeluarkan biaya guna mendapatkan kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat. Pelaku pungutan liar terbesar merupakan pelayan publik di unit terkecil, yaitu rukun tetangga/warga. Hal itu terungkap dalam diskusi publik ”Menggugat Pelayanan Rumah Sakit terhadap Warga Miskin” yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch (ICW), Selasa (9/2). Adanya pungutan liar untuk mendapat kartu jaminan itu terungkap melalui survei bermetode pelaporan kartu warga (citizen report card) yang dilakukan 2009. Terdapat 738 responden pasien di 23 rumah sakit di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang. Margin of error sekitar 3-4 persen.

Peneliti bidang kesehatan ICW, Ratna Kusumaningsih, mengatakan, sebanyak 7,9 persen responden menyatakan ada pungutan. Untuk mendapat kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dibiayai pemerintah pusat, pasien mengeluarkan biaya rata-rata Rp 345.000. Untuk kartu keluarga miskin yang dibiayai pemerintah DKI Jakarta, pungutan liar rata-rata Rp 101.000 dan untuk proses surat keterangan tidak mampu Rp 89.000.

Tiga pelaku utama pungutan itu ialah ketua RT/RW (30,6 persen), petugas kelurahan (22,4 persen), petugas puskesmas (20,4 persen), dan calo.

Data tidak akurat

Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik Ade Irawan mengatakan, pungutan liar ikut memengaruhi ketepatan sasaran penerima bantuan. Warga miskin yang tidak mampu bayar pungutan liar bisa saja tidak mendapat haknya. Apalagi, data penerima kartu belum berdasar nama dan alamat. Pelaksana lapangan yang menetapkan miskin atau tidak.

Ketidakakuratan pendataan bisa juga karena kolusi, korupsi, dan nepotisme sehingga terjadi bias penerima bantuan. Diwartakan sebelumnya, Kementerian Kesehatan mengakui, masih terjadi ketidaktepatan sasaran penerima Jamkesmas sehingga akan ada pendataan ulang.

Staf ahli Menteri Kesehatan Bidang Pembiayaan Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Abdul Chalik Masulili, mengatakan, harus ada sistem jaminan kesehatan yang tertutup dan penerimanya terdata akurat. ”Tahun 2012, diharapkan sudah ada single identity number guna memudahkan penetapan penerima jaminan kesehatan,” ujarnya.

Direktur RSUD Tangerang Makentur JN Mamahit mengatakan, ada calo Jamkesmas yang menawarkan jasa mengurus pengobatan gratis. Mereka minta ”uang jasa” kepada pasien. Seolah-olah penggratisan itu jasa calo, padahal memang gratis.

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan, segala persoalan itu dapat ditekan dengan adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). ”Seluruh warga negara mendapat jaminan sosial, termasuk kesehatan, tanpa melihat kaya atau miskin. Sudahi saja berdebat dan segera saja laksanakan SJSN,” ujarnya.

Sementara itu, penyandang lupus di Bandung mengajukan penambahan dana Jamkesmas yang berimbang. Alasannya, plafon dana Jamkesmas saat ini tidak cukup membiayai pengobatan lupus dari penderita yang berasal dari keluarga tidak mampu.

Sumber: Kompas, 10 Februari 2010

----------------

ICW Pertanyakan Layanan Rumah Sakit
Untuk mendapatkan kartu, orang miskin juga mengeluarkan uang.

Indonesia Corruption Watch (ICW) menggugat pelayanan buruk rumah sakit terhadap warga, terutama kelompok miskin, di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Gugatan ini disampaikan oleh ICW dalam diskusi tentang kesehatan yang dihadiri wakil Kementerian Kesehatan dan anggota DPR di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, kemarin.

Berdasarkan temuan ICW yang menggunakan citizen report card (CRC), setidaknya ada delapan temuan yang mengindikasikan bahwa pelayanan rumah sakit masih mengecewakan. Yang paling menonjol (sebanyak 74,9 persen) dan dikeluhkan adalah soal pelayanan rumah sakit. Sebagian besar responden itu mengeluhkan soal administrasi rumah sakit.

Yaya Sutarna, warga Kampung Merak, Tangerang, merasakan adanya kesulitan yang dihadapi saat dia meminta layanan rumah sakit. Dia merasa birokrasi untuk masyarakat bawah seperti dia lebih dipersulit, terutama untuk yang akan menjalani rawat inap. "Pihak rumah sakit sering bilang kamar inap penuh," kata dia.

ICW juga menemukan bahwa pengobatan gratis tak terealisasi sepenuhnya, karena warga yang sudah mengantongi kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), kartu Keluarga Miskin (Gakin), ataupun surat keterangan tidak mampu masih harus membayar. Rata-rata pengeluaran warga untuk pemegang kartu tersebut berkisar Rp 493-522 ribu untuk pembelian obat.

Untuk mendapatkan kartu-kartu tersebut, kata ICW, masyarakat juga harus menghadapi pungutan sampai Rp 345 ribu. Mengenai obat-obatan yang diresepkan dokter, untuk kalangan bawah masih ditemukan adanya resep obat bukan generik, yang artinya justru membebani mereka.

Dari temuan ICW, malah ada yang mengaku pernah ditolak oleh rumah sakit. Ada delapan orang yang mengaku pernah merasakan layanan tak mengenakkan semacam ini. Alasan penolakan, antara lain, terbatasnya tempat tidur, peralatan rumah sakitnya tidak memadai, tidak ada dokter spesialis, dan administrasinya tidak lengkap. Ada juga yang ditolak karena tak ada uang muka.

Berkaitan dengan soal gender disebutkan bahwa pasien perempuan sering diabaikan dan kurang dihormati dalam pelayanan rumah sakit. Sedangkan pasien laki-laki mengeluhkan kurangnya disiplin dokter dan adanya persyaratan uang muka jika mereka ingin dilayani. Selain itu, banyak keluhan soal sarana-prasarana rumah sakit, terutama kebersihan WC dan kamar mandi.

Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, dalam diskusi itu meminta agar masalah-masalah ini segera diatasi, dan tak perlu berfokus mencari-cari-cari siapa yang harus bertanggung jawab atas masalah ini. "Stop debat. Laksanakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)," kata Rieke. DIAH NURMALA

Sumber: Koran Tempo, 10 Februari 2010

silahkan unduh disini bahan presentasi diskusi

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan