Publik Menolak Keinginan Wakil Rakyat Naikkan Gaji

Di tengah kondisi bangsa yang carut-marut dilanda berbagai masalah kemiskinan, wabah penyakit, busung lapar, dan bencana, sulit bagi publik memahami permintaan kenaikan penghasilan bagi para anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kinerja dan perilaku anggota DPR yang dinilai belum memuaskan menyebabkan nalar publik sulit mencerna alasan dari tuntutan kenaikan penghasilan para wakil rakyat.

Hasil tersebut terangkum dari jajak pendapat Kompas, 6 Juli 2005, yang secara khusus mengumpulkan respons masyarakat tentang permintaan kenaikan pendapatan anggota DPR. Sebagaimana diberitakan selama ini, keinginan untuk menaikkan penghasilan para anggota DPR tengah menjadi perdebatan.

Gaji mereka yang disebut wakil rakyat itu diusulkan, kenaikan penghasilan mereka menjadi Rp 48,15 juta (anggota) dan Rp 82,1 juta (pimpinan) per bulan, atau kenaikan berkisar 70 persen hingga 105 persen. Gaji mereka sejumlah Rp 28,37 juta (anggota) dan Rp 40,1 juta (pimpinan) per bulan dinilai kurang cukup untuk menopang segenap kehidupan dan aktivitas kerja mereka.

Dalam jajak pendapat ini, sebagian besar responden (82 persen) menyatakan tidak setuju dengan rencana kenaikan pendapatan para anggota DPR. Jika ditelusuri, terdapat keseragaman sikap penolakan responden, baik dari mereka yang berdomisili di seluruh lokasi pengumpulan pendapat maupun dari berbagai latar belakang pemilih parpol dalam Pemilu 2004. Mereka yang berdomisili di Jakarta, Medan, hingga Jayapura dalam proporsi yang lebih besar menyatakan ketidaksetujuannya.

Ketidaksetujuan adanya kenaikan penghasilan ini juga diekspresikan oleh berbagai simpatisan partai politik, tidak hanya dari para pemilih Partai Golkar, PDI-P, tetapi seluruh partai politik lainnya. Beberapa pandangan yang berkaitan dengan kondisi kesejahteraan anggota DPR maupun kiprah DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat menjadi alasan penolakan publik.

Dalam pandangan mereka, pendapatan sebulan anggota Dewan saat ini sudah memadai. Lebih dari tiga perempat bagian responden (88,5 persen) menyatakan hal itu. Artinya, dalam penilaian masyarakat dengan penghasilan yang diterima saat ini, kebutuhan para wakil rakyat untuk menjalankan fungsinya sebagai penyerap aspirasi rakyat, berperan dalam lingkungan organisasi partai, maupun sebagai sosok pejabat publik sudah sangat memadai.

Namun, di lain pihak, Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR beralasan dana operasional anggota DPR selama ini kurang memadai. Membiayai staf ahli, riset, maupun pertemuan dengan konstituen di daerah-daerah dirasakan masih kurang. Dana untuk kunjungan kerja sebesar Rp 9 juta juga dirasakan sudah tidak mencukupi lagi untuk mengunjungi seluruh daerah yang diwakili, sampai-sampai ada acara kunjungan ke daerah yang harus mengikuti rombongan menteri.

Anggota DPR lainnya dari Fraksi Partai Golkar, misalnya, mengeluhkan penerimaan gaji bulanan yang masih harus dipotong untuk partai dan sumbangan bencana alam. Alhasil, pada saat kunjungan kerja kerap harus mengambil dari kocek sendiri. Kondisi yang juga disuarakan anggota DPR berbagai fraksi itu menyebabkan BURT mengusulkan kenaikan pendapatan sebesar Rp 10 juta-Rp 15 juta per bulan kepada setiap anggota DPR melalui pos Uang Operasional.

Belum memuaskan
Persoalan lain berhubungan dengan rencana kenaikan penghasilan yang disorot publik menyangkut kinerja DPR secara kelembagaan. Sejauh ini fungsi lembaga perwakilan rakyat DPR sebagai lembaga penyerap aspirasi masyarakat dinilai belum mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan. Anggota DPR dinilai kurang memuaskan dalam berbagai fungsinya.

Sebagian besar responden (72 persen) merasakan tidak terwakili aspirasinya oleh anggota DPR saat ini. Persoalan korupsi, busung lapar, pengangguran, kemiskinan, dan beban ekonomi rakyat dinilai belum sungguh-sungguh diperjuangkan oleh para anggota DPR. Kegagalan DPR mengontrol kenaikan harga berbagai kebutuhan setelah gagal menahan kenaikan harga BBM awal 2005 kian memperparah penilaian publik. Dua kali jajak pendapat Kompas mencatat, kiprah DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat cenderung turun. Terlebih berbagai pemberitaan tentang tuntutan kenaikan penghasilan ini kian memperburuk penilaian responden. Saat ini hanya 26 persen responden mengapresiasi positif citra DPR, sedangkan 67 persen lainnya menyatakan citra DPR buruk.

Berbagai ekspresi ketidakpuasan yang terekam selama ini tampaknya juga menjadi dasar rendahnya keyakinan publik terhadap kinerja anggota DPR di masa mendatang. Kenaikan penghasilan di mata publik tidak serta-merta memberikan jaminan bagi membaiknya kinerja maupun citra para wakil rakyat.

Dalam jajak pendapat ini, misalnya, lebih dari tiga perempat bagian responden kurang meyakini kenaikan penghasilan akan membuat para wakil rakyat menjadi lebih berwibawa, lebih disiplin, dan bebas dari perilaku KKN. Demikian juga, lebih dari dua pertiga bagian responden meyakini kenaikan penghasilan tidak akan diikuti oleh meningkatnya kinerja para wakil rakyat dalam menyerap aspirasi rakyat, lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah, dan lebih akomodatif dalam menjalankan fungsi legislasinya.

Melihat kenyataan ini, agaknya sejarah DPR periode sebelumnya dikhawatirkan kembali terulang. Sama seperti penilaian pada keanggotaan DPR periode sebelumnya, harapan yang awalnya pernah demikian tinggi digantungkan ternyata makin menyusut.

Sebaliknya, kecenderungan penilaian publik bahwa para wakil rakyat saat ini lebih mengutamakan kepentingan sendiri, kelompok di tengah kemelaratan rakyat semakin nyata. Berbagai kesimpulan dari setiap penyelenggaraan jajak pendapat menguatkan kesan ini. Bahkan, saat ini kepedulian anggota Dewan terhadap kondisi bangsa dituding publik sudah pada titik nadir dengan menafikan kehidupan rakyat yang masih sengsara. Di tengah jutaan rakyat yang hidup miskin dan menganggur, tampaknya tuntutan kenaikan penghasilan anggota DPR terdengar bak gelombang nada yang sarkastis.(Toto Suryaningtyas/ Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, 11 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan