Puasa demi Pemberantasan Korupsi

Puasa tahun ini, di negeri kita, saya kira cukup istimewa. Ia datang di tengah kepedulian banyak orang tentang mendesaknya upaya-upaya pemberantasan korupsi. Betapa tidak, tahun demi tahun berlalu--sesungguhnya juga, puasa demi puasa berlalu--dalam keadaan negeri ini selalu terpuruk ke kelompok negara paling korup di seluruh dunia. Maka, kita pun berhak bertanya, apa makna puasa bagi kita orang Indonesia?

Kita barangkali berhak menyatakan bahwa puasa kita selama ini--seperti nubuatan Nabi Muhammad SAW sendiri atas puasa banyak orang--tak memberikan apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga. Karena, bukankah amat jelas bahwa puasa diwajibkan atas kita Agar, seperti firman-Nya, kita menjadi orang-orang bertakwa?

Mungkin sumber masalahnya adalah kesalahpahaman memaknai kata takwa. Ketakwaan bagi banyak orang hanya dipahami dalam makna-religiusnya belaka, yakni terkait semata-mata dengan hubungan (vertikal) hamba dengan Tuhan-Nya. Padahal, tak perlu menjadi ahli tafsir yang canggih untuk mengetahui bahwa takwa terkait erat dengan perilaku (akhlak) mulia kita di tengah-tengah manusia.

Sebelum membahas makna kata ini, ada baiknya terlebih dulu kita sitir sebuah sabda Rasul yang dengan gamblang menyandingkan takwa dan akhlak mulia ini. Takwa dan akhlak mulia memasukkan orang ke surga.

Maka, pertanyaannya, kenapa makin banyak sesama saudara kita bangsa Indonesia berpuasa tapi tak amat terasa perbaikan dalam perilaku kita sebagai manusia? Kenapa di sana-sini amoralitas bersimaharajalela. Bukan saja dalam hal permisivisme seksual, pornografi, ataupun makin meluasnya konsumsi narkoba, tapi terutama dalam korupsi--yang sesungguhnya merupakan sumber dari segala kebejatan itu?

Jawabannya mestilah dimulai dari pernyataan bahwa puasa kita bukanlah puasa yang sebenarnya. Mungkin bukan terutama dari segi hukum-hukum lahiriahnya (fiqh), melainkan lebih dari segi hukum-hukum batinnya. Karena, jika puasa kita sudah benar, tentulah kita telah menjadi orang-orang yang bertakwa dan berakhlak mulia.

Di sini kita pun diingatkan oleh ajaran salah seorang pemikir-lengkap dalam sejarah Islam, Imam Ghazali. Sang Argumentasi Islam ini, begitulah sementara orang menggelarinya, membagi puasa kepada tiga tingkatan. Pertama, puasanya orang awam. Itulah sekadar menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan seksual sejak terbitnya matahari hingga terbenam. Puasa, tanpa diikuti dengan puasa pada tingkat-tingkat di atasnya, seperti inilah yang kira-kira disindir Nabi dengan sabdanya yang telah disinggung di atas. Inilah puasa yang tidak punya peran apa pun dalam meningkatkan ketakwaan dan akhlak.

Puasa pada tingkat kedua disebut Ghazali sebagai puasanya orang-orang khawash (elite, secara spiritual). Bagi orang-orang seperti ini, puasa tak hanya memantangnya dari berbagai keperluan ragawi, melainkan melatihnya untuk mengikis berbagai perilaku sikap dan perilaku buruk, seperti egoisme, kesombongan, melecehkan orang, riya' (pamer), dengki, iri hati, bersangka dan bicara buruk tentang orang lain, dan sebagainya.

Puncaknya adalah puasanya khawash al-khawash (orang-orang yang amat elite, dari segi spiritual). Inilah puasanya orang-orang yang mengosongkan hatinya dari segala yang bukan Allah. Mencapai tingkat-puncak puasa ini sama dengan mencapai takwa, yang notabene merupakan tujuan-akhir ibadah puasa. Karena pada hakikatnya takwa adalah kesadaran untuk mengorientasikan semua gerak-gerik raga dan jiwa kepada Allah kapan pun dan di mana pun sehingga, sebagai konsekuensinya, kita akan tercegah dari melakukan hal-hal yang buruk.

Puasa seperti inilah yang bisa benar-benar menjadikan pelakunya orang-orang yang, dalam kedekatannya kepada Alah, memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada sesamanya. Bukannya justru menjadi parasit pengisap. Dan puasa seperti ini amat sulit, sehingga Dia sendiri yang menetapkannya merasa perlu berfirman: Mintalah pertolongan dengan puasa dan salat. Sesungguhnya, keduanya amat sulit, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (pasrah total kepada-Nya).

Dalam konteks ini, ada baiknya kita menyitir ungkapan yang baru-baru ini dilontarkan oleh salah seorang intelektual Islam negeri ini, Masdar F. Mas'udi, yang menyatakan bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan tak kurang dari suatu jihad paling besar (jihad al-akbar). Jihad akbar adalah jihad melawan nafsu--yang cenderung mendorong kita untuk melakukan keburukan (al-nafs al-'ammarah bi al-su')--yang oleh Nabi dikatakan sebagai jauh lebih sulit dari jihad dalam makna peperangan.

Dihubungkan dengan pembahasan kita ini, pemberantasan korupsi membutuhkan pelaksanaan ibadah puasa yang benar. Dengan ini, tentu kita tak ingin mengecilkan nilai penting pembangunan sistem politik dan hukum nasional sebagai pencegah bagi korupsi.

Tapi, bagaimanapun juga, sistem dibangun, disusun, dan dipimpin oleh orang-orang. Di sinilah persoalan akhlak menjadi amat menentukan. Khususnya di suatu negeri yang di dalamnya korupsi telah amat meluas ke semua bagian masyarakat--dari yang paling atas hingga yang paling bawah--dan mencengkeram semua bidang kehidupan, seperti yang terjadi di negeri kita.

Maka, dibutuhkan pemimpin-pemimpin dari kalangan sha'imin (orang-orang yang berpuasa), yang terus-menerus melakukan jihad akbar agar malapetaka besar yang menimpa negeri kita bisa kita singkirkan. Kalau tidak, bukan sesuatu yang terlalu dramatis untuk meramalkan bahwa di masa yang akan datang negeri kita akan tersisih dari percaturan global dan tercatat dalam buku sejarah sebagai kisah keruntuhan sebuah bangsa yang dekaden.

Semoga Allah SWT selalu memberikan hidayah (petunjuk) dan 'inayah (dukungan)-Nya kepada kita, masyarakat Indonesia, agar dapat menjalankan puasa yang sebenar-benarnya menuju sebuah bangsa yang bersih dari berbagai bentuk korupsi yang kini melanda semua bagiannya.(Haidar Baqir, Direktur Utama Indonesian Islamic Media Network, Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Kompas, Senin, 27 Oktober 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan