Pseudoreformasi Kejaksaan
Digesernya posisi Kemas Yahya Rahman dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung dan Muhammad Salim dari Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung merupakan bagian dari kebijakan tak terhindarkan setelah tertangkapnya jaksa UTG, mantan Ketua Tim 35, sebuah tim penyelidik khusus yang dibentuk Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk mengusut indikasi pidana korupsi dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Digesernya posisi Kemas Yahya Rahman dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung dan Muhammad Salim dari Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung merupakan bagian dari kebijakan tak terhindarkan setelah tertangkapnya jaksa UTG, mantan Ketua Tim 35, sebuah tim penyelidik khusus yang dibentuk Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk mengusut indikasi pidana korupsi dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Kabarnya, Tim 35 merupakan gugus tugas andalan Kejaksaan Agung karena anggotanya dipilih dari jaksa-jaksa--yang desas-desusnya--terbaik. Tapi agaknya klaim itu dengan sendirinya runtuh seketika karena, justru tidak lama setelah dikeluarkannya kebijakan penghentian penyelidikan atas kasus BLBI yang diduga melibatkan Anthoni Salim dan Sjamsul Nursalim, Ketua Tim 35 dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi karena dugaan suap.
Mau tidak mau, dugaan suap itu lantas dihubung-hubungkan dengan keluarnya keputusan Kejaksaan Agung dalam kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim, mengingat pihak yang menyuap, yakni AS, dikenal sebagai orang dekat Sjamsul Nursalim. Kian mencurigakan karena ada informasi yang berkembang bahwa penghentian penyelidikan itu diduga berkaitan dengan kasus pidana perbankan, bukan tindak pidana korupsi, sebagaimana yang diperkirakan banyak kalangan selama ini.
Pembuktian mengenai keterkaitan itu kini tengah diuji di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Terlepas dari putusan Pengadilan Tipikor nantinya, upaya berat yang tengah menghadang adalah bagaimana memastikan bahwa setelah terbongkarnya kasus dugaan suap itu, muncul respons positif dari kejaksaan untuk melakukan pembenahan. Tak dapat dimungkiri bahwa tertangkapnya UTG oleh KPK kian menegaskan bahwa reformasi internal di tubuh kejaksaan berjalan sangat lamban, jika tidak dibilang gagal.
Sepuluh tahun reformasi, plus pasokan anggaran yang tidak sedikit dari lembaga donor internasional dan kenaikan alokasi anggaran negara tiap tahun untuk mendorong perbaikan sistematis di institusi kejaksaan, dibayar kontan dengan penangkapan UTG.
Sulitnya mendorong reformasi institusi penegak hukum tidak dapat dilepaskan dari kuatnya rezim status quo yang bercokol. Kasus Abdurrahman Saleh, orang luar (banyak kalangan internal kejaksaan menyebutnya bapak tiri) yang menjadi Jaksa Agung pada masa sebelum Hendarman, setidaknya membuktikan hal itu. Ustad di Kampung Maling, istilah yang sempat dilontarkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, adalah sindiran telak yang dapat dibilang mewakili realitas tersebut. Terbukti, pada masa kejaksaan dipimpin oleh orang yang disebut-sebut memiliki integritas tinggi itu, reformasi internal kejaksaan tidak dapat berjalan sesuai dengan harapan publik.
Tidak cukup dengan kasus penangkapan UTG, borok Kejaksaan Agung terbongkar lagi dalam kasus lain. Kasus dugaan korupsi rehabilitasi gedung Kedutaan Besar RI di Singapura yang diambil alih KPK beberapa waktu lalu tampaknya bentuk dari kegagalan yang lain. Istilah ambil alih sebenarnya tidak sepenuhnya tepat mengingat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, prosedur pengambilalihan perkara dari penegak hukum konvensional oleh KPK dilakukan dalam beberapa tahap.
Dalam kasus ini, KPK melalui proses penyidikannya sendiri menyimpulkan bahwa ada indikasi kuat terjadi tindak pidana korupsi sehingga menetapkan dan menahan para tersangka. Belakangan baru diketahui bahwa kasus ini sebenarnya sudah lama mengendap di Kejaksaan Agung. Mengapa bisa begitu lama proses hukumnya tentu sulit untuk tidak berpikir bahwa ada campur tangan dari petinggi Kejaksaan Agung dan bahkan dari petinggi di Departemen Luar Negeri, mengingat sanksi administratif berupa pemecatan terhadap Duta Besar RI untuk Singapura telah dilakukan, akan tetapi proses hukumnya lenyap bagaikan asap tertiup angin.
Karena itu, kita perlu mencermati dengan lebih hati-hati pernyataan Jaksa Agung beberapa waktu lalu yang akan mengganti 40 kepala kejaksaan negeri di seluruh Indonesia yang tidak bekerja sesuai dengan target yang ditentukan Kejaksaan Agung. Bisa jadi ini sekadar upaya menutupi rasa malu sekaligus mengalihkan persoalan macetnya kasus indikasi korupsi di Kedutaan RI Singapura. Bukan untuk sesuatu yang besar, apalagi membuktikan bahwa reformasi di kejaksaan telah berjalan sesuai dengan agenda.
Perlu dijadikan catatan bahwa standar kinerja kejaksaan, yang mewajibkan para kepala kejaksaan, baik di tingkat kabupaten/kota, kejaksaan negeri pembantu, maupun di level provinsi, menyelesaikan perkara korupsi masing-masing lima perkara korupsi untuk kejaksaan tinggi, tiga perkara korupsi untuk kejaksaan negeri, dan satu perkara korupsi untuk kejaksaan negeri pembantu, telah dibuat pada Desember 2005. Jika kemudian pada 2008 baru ditegaskan sanksinya oleh Jaksa Agung, pertanyaannya kemudian, selama tiga tahun terakhir, apa yang terjadi pada kepala kejaksaan yang gagal memenuhi kewajiban itu? Tidak ada yang tahu persis kecuali bahwa mutasi di Kejaksaan Agung tidak berkaitan langsung dengan buruknya kinerja penegakan hukumnya.
Jika perubahan yang dilakukan tidak dijiwai semangat memperbaiki diri, tapi sekadar memperbaiki citra diri, bukankah ini hanya sekadar kamuflase belaka? Ada beberapa analisis menarik yang dapat dikemukakan untuk mendukung kesimpulan ini.
Pertama, proses rekrutmen, mutasi, dan promosi di tubuh kejaksaan, terutama dalam kaitannya dengan pergantian para kepala kejaksaan, sebagaimana telah dimulai dengan akan dicopotnya 40 kepala kejaksaan negeri, tidak didukung perubahan pada mekanismenya. Terutama untuk membuka masukan dari publik atas catatan integritas dan rekam jejak kandidat yang ditunjuk sebagai kepala kejaksaan.
Semua proses tersebut tetap berada di wilayah tertutup, tidak akuntabel, dan meminggirkan tujuan dasar penyegaran itu sendiri, yakni mencari sosok kepala kejaksaan yang dapat menjadi kebanggaan institusi kejaksaan secara keseluruhan dan sumber inspirasi bagi tumbuhnya kepercayaan masyarakat terhadap kejaksaan. Komisi Kejaksaan, yang selama ini bertugas melakukan pengawasan terhadap kejaksaan, tidak diikutsertakan dalam menilai rekam jejak para calon kepala kejaksaan. Maka dari itu, sulit rasanya kemudian percaya bahwa kejaksaan tengah memulai proses reformasi yang lebih berarti.
Kedua, Kejaksaan Agung nyatanya belum menjadi contoh yang baik bagi kejaksaan di bawahnya. Selain penangkapan UTG dan skandal penghentian diam-diam kasus korupsi di Kedutaan RI Singapura, Kejaksaan Agung tidak memiliki standar kinerja penegakan hukum sebagaimana yang diwajibkan kepada kepala kejaksaan tinggi dan negeri.
Ini menjadi suatu ironi mengingat garda depan dari pencapaian reformasi di tubuh kejaksaan justru ada pada Kejaksaan Agung. Jika Kejaksaan Agung tidak dapat menjadi teladan yang sungguh-sungguh untuk melakukan perubahan, mustahil rasanya menanti perubahan datang dari bawahannya. Yang lahir, ya, seperti sekarang ini, bayang-bayang reformasi yang pudar diterpa fakta-fakta cela.
Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 4 Juni 2008