Proyek Infrastruktur Terancam Stagnan

Proyek pembangunan infrastruktur di dalam negeri terancam berjalan lambat. Setelah Bank Dunia membatalkan tiga proyek infrastruktur karena terindikasi ada korupsi, kalangan investor juga terkesan malas menggarap proyek infrastruktur.

Tidak adanya kepastian aspek legal dalam proyek infrastruktur berdurasi jangka panjang menjadi salah satu penyebab terhambatnya sejumlah proyek infrastruktur. Kalangan perbankan masih meragukan kesiapan pemerintah dan investor nonbank dalam mengatasi persoalan tanah untuk kegiatan proyek infrastruktur, terang Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Sigit Pramono.

Menurut Sigit, bagi kalangan perbankan, jika masalah pembebasan lahan sudah teratasi, dana yang dicairkan perbankan menjadi feasible (layak). Artinya, bagi bank sudah tidak ada masalah.

Kalau masalah seperti itu (pembebasan lahan) belum beres, bank akan kesulitan (mencairkan pendanaan), tambahnya.

BNI tahun ini menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun untuk membiayai proyek infrastruktur. Dana yang disiapkan itu merupakan bagian dari skema pembiayaan yang disiapkan BNI antara 2005 sampai 2009 yang mencapai Rp 23 triliun. Namun, tegasnya, penyerapannya bergantung kepada kesiapan investor.

Pengamat ekonomi Ryan Kiryanto menambahkan, investor bank dan nonbank memang menunggu kepastian aspek legal untuk proyek durasi jangka panjang. Sebab, infrastruktur kan proyek padat modal, padat karya, pengelolaan lama bisa sampai 25-30 tahun. Jadi, sangat diharapkan adanya kepastian agar tidak terjadi hal-hal yang berbau sengketa, kata Ryan.

Selain faktor aspek legal, Ryan mengatakan, pembangunan infrastruktur hendaknya dilakukan dengan pembiayaan konsorsium atau sindikasi. Dalam sindikasi ini, nantinya investor yang memiliki pengalaman mengerjakan infrastruktur bisa dipilih menjadi leader. Sedangkan investor yang baru memulai proyek ini bisa ikut serta dengan share atau patisipasi yang minimal, usulnya.

Dia mengakui, proyek infrastruktur di dalam negeri terancam stagnan karena persoalan yang bersifat urgen tidak cepat diselesaikan pemerintah. Bahkan, Bank Dunia pun berniat membatalkan proyek infrastruktur yang didanai akibat berbagai persoalan yang melilit birokrasi negeri ini, ujarnya.

Bank Dunia memang membatalkan tiga proyek infrastruktur yang didanai dari pinjaman lembaga tersebut. Bahkan, Bank Dunia meminta pemerintah Indonesia mengembalikan dana yang dipinjamkan lewat Departemen Pekerjaan Umum.

Dalam suratnya kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pekan lalu, Bank Dunia menilai ada upaya-upaya penyuapan terhadap pembayaran jasa konsultan dalam proyek pinjaman senilai USD 1,5 juta (sekitar Rp 13,5 miliar) tersebut. Bank Dunia menemukan bukti-bukti adanya penyuapan dan pembayaran-pembayaran gelap lainnya terhadap tiga konsultan yang dikontrak pemerintah Indonesia.

Ryan melanjutkan, infrastruktur berjalan lambat karena investor masih menunggu kebijakan risk sharing (pembagian risiko) antara swasta dan pemerintah. Jadi, jika di kemudian hari ada masalah, bukan bank, Jasa Marga, atau investor lain yang menanggung sendiri risikonya, pemerintah juga ikut menanggung.

Yang lebih bagus lagi, secara politis, investor asing harus dilibatkan dalam proyek ini. Di luar negeri, investor bankers (lembaga keuangan bukan bank yang menghimpun dana dan disalurkan untuk berbagai proyek) seperti JP Morgan atau CSFB dilibatkan dalam proyek infrastruktur. Di Malaysia, pembangunan infrastruktur sukses karena pemerintahannya bekerja sama dengan beberapa investor dan ada kebijakan pembagian risiko, tambahnya.

Rapat Koordinasi Terbatas Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) Februari lalu yang dipimpin menteri koordinator bidang perekonomian selaku ketua KKPPI dan dihadiri menteri keuangan, menteri energi & sumber daya mineral, menteri pekerjaan umum, menteri perhubungan, menteri komunikasi dan informasi, serta pejabat pada departemen/instansi terkait telah menetapkan rencana penyelesaian sejumlah kebijakan dalam rangka mempercepat penyediaan infrastruktur melalui Paket Kebijakan Infrastruktur 2006.

Tapi, regulasi itu belum menyentuh aspek risk sharing. Regulasi itu adalah, reformasi kebijakan strategis yang lintas sektor; reformasi kebijakan sektor dan korporasi guna mendorong terlaksananya persaingan yang sehat dalam penyediaan infrastruktur; regulasi untuk menghilangkan penyalahgunaan hak monopoli alamiah serta melindungi masyarakat dan penanam modal dalam penyediaan infrastuktur; dan pemisahan peran secara tegas antara menteri/kepala lembaga/kepala daerah yang berfungsi sebagai penyusun kebijakan dan BUMN/BUMD sebagai pelaku usaha (operator).

Secara khusus, dalam Paket Kebijakan Infrastruktur yang akan diselesaikan pemerintah pada 2006, terdapat empat pokok kebijakan yang meliputi: kerangka Kebijakan Strategis Lintas Sektor (33 kebijakan); Kebijakan Sektoral (83 kebijakan), meliputi sektor transportasi (22 kebijakan); sektor jalan (9 kebijakan); ketenagalistrikan (3 kebijakan); minyak dan gas bumi (3 kebijakan); pos dan telekomunikasi (14 kebijakan); air minum, sanitasi, dan sumber daya air (15 kebijakan); dan perumahan (17 kebijakan); peran pemerintah daerah (5 kebijakan); dan transaksi proyek pembangunan infrastruktur (32 kebijakan).

Di tempat terpisah, kendala ketepatan proses pembebasan lahan juga diakui Jasa Marga selaku perusahaan pengelola jalan tol. Dirut PT Jasa Marga (persero) Frans H Sunito mengatakan, sebenarnya selama ini kalangan perbankan swasta cukup suportif terhadap upaya pemerintah melakukan pembangunan proyek infrastruktur.

Tapi, yang menjadi ganjalan adalah pembebasan lahan. Kalau bank, baik bank BUMN maupun swasta, selama ini cukup mendukung pembiayaan proyek yang ada, kata Frans kepada Jawa Pos. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa kendala utama masih terhadap kecepatan dan kepastian pembebasan lahan infrastruktur tersebut.

Perbankan sangat concern terhadap hal ini. Keberhasilan pembangunan proyek infrastruktur ditentukan oleh keberhasilan pembebasan lahan yang diperlukan, paparnya.

Pria yang menjadi Dirut menggantikan pendahulunya, Syafruddin Alambai, tersebut mengemukakan, meskipun pemerintah telah menerbitkan Perpres 36 tentang pembebasan tanah tersebut, selama ini masih saja ada masalah menyangkut proses pembangunan infrastruktur tersebut.

Frans mencontohkan upaya pembangunan tiga ruas jalan tol yang akan dilakukan Jasa Marga yang dalam tahap awal membutuhkan dana Rp 5 triliun. Di antaranya adalah ruas Bogor Ring Road, Semarang-Mbawen-Solo, dan Gempol-Pasuruan.

Kami sudah melakukan negosiasi dengan beberapa bank, baik BUMN maupun swasta. Responsnya positif. Tapi, kekhawatiran pembebasan lahan tersebut masih tampak pada mereka, imbuhnya. (yun/iw)

Sumber: Jawa Pos, 22 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan