Proyek Bersih Parpol Hanya Slogan
Tiba-tiba menjadi sorotan publik. Atau, sebagian publik di tanah air ini digiring untuk menatap. Itulah bidikan media massa terhadap kader PKS, Rama Pratama (RP), yang kini masih duduk di Senayan sebagai wakil rakyat yang terhormat. Arah nadanya -meski bersifat informatif- mendestruksikan citra. Adakah media punya agenda menjatuhkannya, baik secara pribadi atau institusi (Partai Keadilan Sejahtera)?
Terlalu vulgar dan -boleh jadi berlebihan- jika kita menuding adanya ''main mata" (konspirasi) antara media dan kalangan politisi yang berpretensi menjatuhkan lawan politiknya (RP), setidaknya institusi partainya (PKS). Tapi, satu hal yang tak bisa diabaikan, media tampaknya melihat daya magnet RP karena institusi partainya (PKS) yang selama ini dikumandangkan bersih.
Setidaknya, karakter ''bersih" itulah yang sering ''dijual" ke tengah publik dalam menghadapi Pemilu 2009 ini. Sementara itu, kasus yang menimpa Abdul Hadi Jamal dari FPAN itu menyebut-nyebut RP ikut terlibat. Setidaknya, dalam konteks kenaikan anggaran dari Rp 10,2 triliun menjadi Rp 12,2 triliun untuk proyek pembangunan dermaga dan pelabuhan di kawasan Indonesia Timur. Paradoksalitas itulah yang tampaknya menggring media menilai sangat menarik atas kemungkinan keterlibatan RP.
Yang perlu kita ulas lebih jauh adalah, partai mana pun kini merasa terpanggil untuk menjaga citra bersihnya. Refleksinya, pimpinan partai merasa perlu mengambil tindakan tegas (memecat) para kadernya yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana korupsi atau penyalahgunaan wewenang dengan tujuan memperkaya diri.
Seperti kita saksikan, ketua umum PAN demikian responsif dan sangat cepat mengambil tindakan (memecat Abdul Hadi Jamal) dari status pengurus DPP, bahkan keanggotaannya. Meski tidak secepat PAN, DPP PPP pun mengambil tindakan tegas (memecat kepengurusan dan keanggotaan Al-Amin Nasution) sejalan dengan proses hukum yang dijalaninya akibat dugaan suap atas proyek pengalihan hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.
Menyalahi
Dalam perspektif hukum, tindakan indisipliner DPP PAN dan PPP terhadap kadernya itu jelas menyalahi prosedur hukum. Posisi hukumnya belum memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan asas praduga tak bersalah, seharusnya para petinggi partai menghormati hak-hak hukum para kadernya. Bagaimanapun, mereka pernah ''berjasa" terhadap keberadaan partainya.
Namun, kita dapat memahami mengapa petinggi partai menindaknya. Secara politik, pembiaran partai terhadap kadernya yang dinilai bermasalah secara hukum akan berdampak destruktif terhadap citra partai. Dan hal ini cukup membahayakan bagi perolehan suara, baik pemilu legislatif ataupun tahap berikutnya: pilpres.
Untuk kepentingan citra positif partai itulah, para petinggi partai merasa terpanggil untuk menindak meski harus menelan korban tanpa mempertimbangkan kontribusi sang kader selama ini terhadap partainya.
Kiranya, publik sepakat dan sangat menghargai jika tindakan petinggi partai tersebut merupakan komitmen kuat antikorupsi. Persoalannya, mengapa tindakan tegas itu baru dilakukan menjelang pemilu, padahal indikasi tindakan koruptif sudah ada jauh sebelum Pemilu 2009 ini? Variabel ini menggiring publik menilai bahwa partai sejatinya tidak begitu committed terhadap cita-cita pemberantasan korupsi. Proporsi sifat reaktif menggambarkan tiadanya rencana dan kristalisasi sikap antikorupsi. Ada dusta -setidaknya ketidakseriusan- di sana yang kian terbaca jelas.
Di sisi lain, publik pun dapat bertanya lebih jauh, ada misi apakah di balik tindakan KPK menjelang pemilu ini? Pertanyaan kian menguat, mengapa partai-partai besar seperti PDIP, PD, bahkan PG relatif tak terjamaah KPK menjelang pemilu ini? Tindakan yang ada terkategori ''masa lalu", sebagaimana yang kita saksikan pada kasus BLBI yang menyeret beberapa kader dari PG, minus PD dan PDIP.
Sulit disangkal indikasi diskriminasi itu. Namun, hal ini pun dapat dipahami. Fakta politik menunjukkan, proses kehadiran KPK dan para personel intinya tak lepas dari dukungan politis beberapa partai besar yang eksis di Senayan.
Karena itu, publik yang cerdas tentu memahami sikap politik-hukum KPK yang relatif ''tebang pilih". Tapi, inilah ironi penegakan hukum yang seharusnya tidak boleh terjadi, bukan hanya statusnya sebagai negara hukum, tapi spirit reformasi yang dicitakan sebelum menumbangkan Orde Baru.
Namun, tindakan KPK -meski terkandung nuansa diskriminasi dan cukup politis proporsinya- perlu kita acungi jempol sebagai upaya penegakan supremasi hukum. Harapan kita, tindakan hukum itu membuahkan sikap para kader dari partai mana pun, yang telah dan belum masuk lembaga dewan, untuk menjauhi praktik penyalahgunaan kekuasaan: bersifat langsung (korupsi), atau tak langsung (kolusi).
Sangat diharapkan, gebrakan hukum KPK tersebut membuat para pihak sadar untuk tidak bermain ''api" karena berpotensi ''mempesantrenkan" dirinya di balik jeruji besi.
Harapan publik, proyek ''bersih" (citra positif kader dan partai) tidak hanya sebatas menjelang pemilu. Proporsinya harus menjadi komitmen, sekaligus panggilan nurani dan menjadi sikap serta perilaku politiknya. Kita yakin, kepribadian konstruktif itu akan berimbas positif bagi kepentingan publik yang kini masih merana. Haruslah muncul empati. Inilah potret wakil rakyat atau pejabat publik yang kini ditunggu.
Mudah-mudahan, publik pun cerdas untuk tidak memilih potret para calon legislatif (caleg) dan calon pemimpin nasional yang sudah terindikasi kotor (busuk). Tidak mudah memang mengedukasi publik, apalagi para caleg dan calon-calon pemimpin nasional kini sedang ''obral" untuk mendapatkan suaranya sehingga penghalalan segala cara tidak dipersoalkan.
Obral itu pun menggiring massa bersikap pragmatis. Saling menguatkan untuk sebuah potret politik kotor. Akhirnya, kata ''bersih" dalam panggung politik hanyalah slogan. Semoga slogan ini dibumikan: menjadi perilaku politik di ruang mana pun dan bagi siapa pun.
*. A.M. Saefuddin, cendekiawan muslim
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 25 Maret 2009