Prospek Pemberantasan Korupsi Tahun 2006

Aksipemberantasan korupsi di tahun 2005 cukup gegap gempita. Kejaksaan Agung, Kepo- lisian Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saling bergantian menangkapi tersangka korupsi. Tapi, apakah pemberantasan korupsi sudah berjalan sesuai harapan, dan bagaimana prospeknya tahun 2006 ini?

Gerakan pemberantasan berlangsung gencar. Ketua lembaga negara, gubernur, bupati, wali kota, jenderal, pengusaha, dan mantan menteri diperiksa, menjadi tersangka, bahkan terpidana dalam kasus korupsi.

Kasus-kasus korupsi besar diungkap, mulai dari korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), penyimpangan kredit di Bank Mandiri, dan indikasi suap terhadap beberapa petinggi kepolisian dalam penanganan kasus pembobolan Bank BNI.

Dari kacamata politik, gencarnya pemberantasan korupsi di tahun 2005 ini memang sudah seharusnya. Di masa awal pemerintahannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang harus menunjukkan pada rakyat pemilihnya, bahwa ia memenuhi janji memberantas korupsi. Untuk meyakinkan rakyat, Presiden bahkan berjanji memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi.

Tebang Pilih
Tapi, bila dikaji lebih jauh, sebenarnya pemberantasan korupsi di tahun 2005 masih sarat kelemahan. Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, kasus mantan Presiden Soeharto, illegal logging, korupsi di birokrasi, korupsi di kepabeanan dan pajak, dan perburuan koruptor serta hartanya di luar negeri merupakan deretan pekerjaan rumah yang masih harus dikerjakan oleh aparat penegak hukum.

Di luar keberhasilannya membongkar korupsi berjamaah di KPU, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya kedodoran. Keterbatasan sumber daya manusia membuat KPK hanya mampu menangani tidak sampai satu persen dari dari laporan masyarakat yang masuk. Dari 9.500 pengaduan masyarakat, hanya sekitar 20 kasus yang berhasil ditangani KPK dan diserahkan kepada kejaksaan atau pengadilan.

Selain itu, kesan diskriminatif atau tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi juga tidak terhindarkan. Hingga kini baru tiga anggota KPU yang dijerat hukum, yaitu Mulyana Wira Kusumah, Nazaruddin Sjamsuddin, dan Rusadi Kantaprawira. Anggota-anggota KPU yang lain belum tersentuh. Padahal dari beberapa kesaksian di persidangan terungkap semua anggota KPU menerima dana taktis.

Sikap KPK yang enggan menyentuh pusat kekuasaan juga terlihat saat menyikapi laporan Eggi Sudjana tentang isu adanya setoran mobil mewah ke lingkungan Istana. Terlepas benar tidaknya laporan tersebut, seharusnya KPK tidak apriori dengan sejak awal menyatakan tidak akan menindaklanjutinya karena tidak cukup bukti. Sementara untuk target di luar lingkar kekuasaan, seperti terhadap mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Theo Toemion, KPK bisa bertindak cepat.

Setali tiga uang dengan KPK, kinerja Kejaksaan Agung juga belum memuaskan. Kasus korupsi besar yang berhasil diselesaikan kejaksaan, dilimpahkan ke pengadilan, baru penyimpangan kredit di Bank Mandiri. Kasus-kasus lainnya jalan di tempat, salah satunya kasus korupsi di PT PLN Persero. Sedang kelanjutan kasus Soeharto makin tidak jelas arahnya alias menggantung.

Kejaksaan Agung belum memenuhi janjinya untuk membuka kembali kasus- kasus yang telah dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Kejaksaan menyatakan akan meminta second opinion dari tim ahli, tapi apa hasil kajian tersebut belum juga diumumkan. Padahal publik menunggu apa langkah dan strategi kejaksaan untuk bisa menjerat para tersangka korupsi kakap yang sudah di-SP3 seperti Prajogo Pangestu, Sjamsul Nursalim, dan The Nin King.

Celakanya, untuk kasus korupsi yang berhasil ditangani tidak luput dari masalah. Penyakitnya sama seperti KPK, Kejaksaan Agung tidak berani menyentuh pusat kekuasaan. Itulah kesan yang timbul dari keenggaan kejaksaan untuk menindaklanjuti kasus kredit bermasalah di PT Semen Bosowa Maros dan PT Bakrie Telecom.

Jalan di tempat dalam menangani kasus korupsi di lingkar kekuasaan juga dialami Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Tim Tastipikor, tim yang dasar hukumnya sempat dipersoalkan di Komisi III DPR.

Hingga artikel ini ditulis, tim yang diketuai oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus ini belum bisa menentukan tersangka dalam kasus korupsi aset Sekretariat Negara (Setneg) di Gelora Bung Karno.

Dari 10 kasus yang ditargetkan diselesaikan oleh Tim Tastipikor dalam dua tahun ini baru dua kasus yang diselesaikan, yakni kasus korupsi Dana Abadi Umat dan kasus korupsi di PT Jamsostek.

Artinya, hingga Mei 2007, Tim Tastipikor harus menyelesaikan delapan kasus lainnya yang menjadi target, termasuk kasus korupsi di Setneg.

Bagaimana dengan Ke- polisian RI? Polri cukup menggebrak dalam membersihkan tubuhnya dari praktik korupsi.

Penetapan mantan Kepala Badan Reserse dan Kri- minal Polri Komjen Pol Suyitno Landung dalam kasus suap merupakan salah satu buktinya.

Menarik ditunggu, apakah ketegasan serupa akan ditunjukkan oleh Kapolri Jenderal Pol Sutanto dalam menangani dugaan korupsi lainnya di tubuh Polri seperti kasus pengadaan alat komunikasi dan jaringan komunikasi.

Tantangan 2006
Walau penuh kekurangan di sana sini, aksi pemberantasan korupsi di tahun 2005 bisa dianggap sebagai pemanasan (warming up) menuju medan perang melawan korupsi yang sesungguhnya pada 2006 ini. Penulis batasi pada tahun ini karena untuk 2007 prospeknya sangat tergantung pada 2006, karena jika terjadi kemunduran dalam pemberantasan korupsi tahun ini, maka ceritanya bisa jadi lain.

Apabila hal itu memang terjadi, pemberantasan korupsi untuk tahun 2007 bisa mengendur lagi. Apalagi bila dikaitkan dengan persiapan untuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009. Perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pasti akan lebih tersedot pada persiapan menghadapi pemilu, yaitu untuk bisa memperpanjang jabatan pada lima tahun berikutnya.

Pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, harus bisa belajar untuk menutup kesalahan, kelemahan, atau kekurangan pada tahun 2005.

Caranya, antara lain, dengan menentukan prioritas dalam pemberantasan korupsi, dan bersikap tidak diskriminatif atau tebang pilih.

Prioritas penanganan kasus bisa ditentukan, antara lain dari nilai kerugian negara. Memproses hukum koruptor kakap akan lebih efektif. Sebab kalau dimulai dengan yang teri, masyarakat akan apatis, seperti kecenderungan saat ini.

Sebaliknya kalau dimulai dari koruptor kelas kakap, orang akan jera melakukan hal itu. Dan langkah ini secara otomatis menaikkan kredibilitas pemerintah.

Terkait masalah kerugian negara, tidak boleh dilupakan adalah upaya untuk mengembalikan uang negara yang digarong para koruptor tersebut ke kas negara. Hingga kini Kejaksaan Agung masih memiliki kewajiban untuk menagih uang pengganti perkara tindak pidana korupsi sebesar Rp 5,3 triliun dan menyetorkannya ke kas negara.

Prioritas selanjutnya dilihat dari segi pelaku korupsinya. Misalnya saja kasus korupsi di KPU. Mungkin saja hasil korupsinya tidak terlalu besar, tetapi karena dilakukan secara berjamaah dan melibatkan anggota KPU, termasuk mantan anggota yang kini menjabat menteri, maka kasusnya diprioritaskan untuk dituntaskan. Ini penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement.

Kesungguhan
Selanjutnya, adalah kesungguhan aparat penegak hukum untuk menegakkan prinsip kesetaraan di depan hukum. Ini sebagai konsekuensi Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 Hasil Perubahan Ketiga). Ada tiga prinsip dasar dari negara hukum (rechstaat), yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).

Prinsip equality before the law ini sudah dimuat dalam Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 Hasil Perubahan Kedua. Dalam Ayat 1 tersebut dinyatakan: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Karena itu KPK, Kejaksaan Agung, Tim Tastipikor, dan Polri tidak boleh bersikap pandang bulu dalam pemberantasan korupsi. Mereka harus benar menegakkan prinsip kesetaraan di depan hukum, dan tidak menjadikannya sekadar lips service seperti selama ini. Sehingga nantinya keempat lembaga penegak hukum ini bisa berkata dengan gagah bahwa adanya kesan hanya pelaku korupsi yang tidak lagi berada di pusaran kekuasaan yang dijangkau proses hukum adalah kesan yang salah. *

Trimedya Panjaitan SH, adalah Ketua Komisi III DPR Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR

Tulisan ini disalin dari Suara Pembaruan, 2 Februari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan