Proses Politik Hambat Penyerapan
Proses politik pembahasan anggaran di DPR menjadi penyebab terhambatnya penyerapan anggaran di departemen dan lembaga nondepartemen. Kondisi itu disebabkan karena pembahasan anggaran di DPR terlalu mendetail, sehingga departemen dan lembaga nondepartemen kehabisan waktu dalam melaksanakan proyek yang sudah ditetapkan dalam Rencana Kerja Anggaran Kementerian dan Lembaga.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Rabu (8/8) malam, mengatakan, seharusnya pembahasan anggaran departemen dan lembaga nondepartemen tidak perlu dibahas secara detail di DPR hingga ke satuan tiga atau anggaran belanja yang ada di departemen teknis. Kondisi itu menyebabkan pembahasan anggaran berlarut-larut hingga bulan November, yang seharusnya menjadi batas waktu penetapan APBN tahun kemudian.
Di Amerika Serikat, kongresnya tidak membahas sampai ke satuan tiga, meskipun mereka termasuk negara yang sangat liberal, katanya.
Pembahasan anggaran itu, ujar Sri Mulyani, bisa lebih lambat jika jadwal pembicaraannya tidak sesuai dengan siklus politik yang berlaku di DPR. Akibatnya, meskipun seluruh proses penyusunan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sudah selesai, namun departemen belum siap melaksanakannya.
Ternyata mereka menghabiskan waktu dalam pembahasan dengan DPR, akibatnya lupa pada pelaksanaan proyeknya. Contohnya, dalam kasus flu burung. Pemerintah menetapkan akan membayar uang pengganti Rp 20.000 (kepada unggas yang dimusnahkan). Namun, anggarannya belum turun, meskipun ayamnya sudah mulai diambil, masyarakat jadi marah. Itu bukan berarti kami tidak punya uang, namun kami harus melakukan cek and balance yang begitu banyak di DPR, katanya.
Menurut Sri Mulyani, setelah DIPA diserahkan kepada departemen teknis, penyerapan anggaran masih terhadang oleh masalah kualitas dokumen pendukung dari satuan kerja. Akibat kualitas dokumen yang rendah, beberapa departemen harus mengubah DIPA.
Seharusnya, dengan dokumen yang baik, mereka tidak perlu melakukan penyesuaian lagi pada saat mengeksekusi anggarannya. Namun pada kenyatanannya, pada saat satuan kerjanya akan mengeksekusi DIPA, ternyata tidak sesuai dengan realisasi, sehingga harus merevisi DIPA. Itu masalah lain yang harus dikoreksi lagi, katanya.
Pinjaman Luar Negeri
Sri Mulyani menegaskan, penyerapan anggaran semakin terlambat apabila sumber pembiayaannya berasal dari pinjaman dan hibah luar negeri (PHLN). Departemen teknis seringkali hanya sekedar memasukan proposal pembiayaan luar negeri tanpa memikirkan ketersediaan dana pendampingnya, yang kerap dipersyaratkan oleh kreditor.
PHLN kerap memerlukan anggaran rupiah murni, sehingga departemen perlu mengamankan dana itu sebelum mengajukan proposal. Kenyataannya tidak. Bappenas dan Departemen Keuangan kerap disodok bahwa PHLN yang mereka ajukan sudah disetujui, namun dana rupiah murninya belum ada. Akibatnya, dana rupiah murni itu harus diusulkan dalam APBN Perubahan, sehingga penyerapan anggaran bertambah mundur, katanya.
Akibat masalah itu, realisasi penarikan pinjaman luar negeri hingga 31 Juli 2006 baru mencapai Rp 4,07 triliun atau 11,58 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN 2006 sebesar Rp 35,11 triliun.
Sementara itu, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengakui, keterlambatan penyerapan anggaran belanja negara di semester I 2006 disebabkan oleh revisi Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa yang tersendat-sendat, karena baru selesai bulan Maret 2006. Penyebab kedua adalah penyusunan DIPA yang tidak sesuai dengan anggarannya.
Di triwulan II, kami fokus pada proyek yang memang akan direalisasikan pada 2007. Kalau tidak bisa direalisasikan hingga 2007, akan kami minta agar anggarannya direlokasi untuk menutup defisit anggaran, katanya.
Sebelumnya, Sri Mulyani menyebutkan, ada tiga departemen yang penyerapan anggarannya hanya 10 persen dari target APBN 2006, yakni Departemen Kehutanan, Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Departemen Perdagangan.
Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan, rendahnya penyerapan anggaran di departemennya itu disebabkan karena pencairan DIPA baru dilakukan di akhir triwulan I. Dengan demikian, pembayaran pada pemenang tender dilakukan di awal semester II.
Kontrak itu sendiri baru ditender awal tahun, namun pencairan anggarannya baru terjadi di pertengahan tahun. Kami memakai kurva itu. Anggaran di departemen kami termasuk kecil, tidak sampai Rp 4 triliun. , katanya. (OIN)
Sumber: Kompas, 10 Agustus 2006