Proses Penyusunan APBD Pakai Paradigma Lama; Menekankan pada Belanja Aparatur dan tidak Proporsional

Proses penyusunan anggaran daerah yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) dinilai masih belum beranjak dari paradigma lama. Penganggaran yang dilakukan eksekutif dipandang masih tetap memberi prioritas besar pada belanja aparatur, sehingga menafikan anggaran bagi publik yang langsung terkait dengan kesejahteraan rakyat.

Demikian terangkum dalam pemandangan umum fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jabar terhadap nota keuangan tentang rencana anggaran pendapatan dan belanja daerah (RAPBD) Jabar 2005 yang dibacakan Gubernur Jabar Danny Setiawan, beberapa waktu lalu di Ruang Rapat Paripurna DPRD Jabar.

Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) bahkan menindaklanjuti pendapat umum mereka terhadap RAPBD 2005 dalam bentuk public hearing di Kantor DPW PAN, Sabtu (25/12). Ini sebagai bentuk tanggung jawab partai khususnya terhadap konstituen. Selain itu, berdasarkan undang-undang sebelum dilakukan pengesahan terhadap anggaran harus didahului kegiatan dengar pendapat umum, ungkap anggota FPAN Ahmad Adib Zain.

Pihaknya menengarai bahwa alokasi anggaran sebagaimana tercantum pada RAPBD 2005, 68% masih diarahkan untuk belanja aparatur. Artinya, pemprov masih menggunakan paradigma lama dalam membuat anggaran. Pemprov menitikberatkan alokasi dana APBD 60,59% dari total belanja untuk bidang administrasi umum pemerintahan dan 11,51% dari total belanja untuk bidang pekerjaan umum, papar Adib.

Proporsi belanja itu, tegasnya, tidak sebanding dengan alokasi untuk bidang kesehatan dan pendidikan. Yang masing-masing sebesar 4,50% dan 8,78% dari total belanja. Pendekatan prioritas anggaran dan kegiatan juga belum optimal diarahkan bagi terpeliharanya infrastruktur perhubungan darat, katanya.

Tidak proporsional
Pandangan serupa disampaikan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS). Mereka melakukan identifikasi temuan anggaran publik yang tidak proporsional dibandingkan anggaran aparatur.

Contoh kasusnya, ada pada anggaran Dinas Pendidikan (Disdik). Biaya aparatur Disdik memang hanya menelan 25,75% dari total belanja. Namun, bila digabungkan dengan belanja pegawai yang tersebar di masing-masing program, ternyata mampu menelan sampai 85,25%. Sebuah angka di atas kewajaran, urai anggota FPKS yang juga menjadi anggota panitia anggaran, Eka Hardiana.

Menurutnya, hal ini menimbulkan pertanyaan. Apakah cara-cara yang berbau kamuflase seperti itu masih menjiwai RAPBD 2005, atau adakah tekad dan keberanian yang cukup untuk mengubah hal-hal yang dapat membodohi publik?

Hal serupa ditemukan pada pos anggaran Dinas Kesehatan (Dinkes). Dilihat dari komposisi anggaran belanja aparatur relatif kecil yakni 18,4% dibandingkan belanja publik 81,6%. Namun, jika diperhatikan lebih saksama, belanja aparatur hampir tersebar dan dominan di semua program kegiatan, sehingga terdapat pembengkakan terhadap biaya aparatur. Dari 81,6% belanja publik, ternyata sebesar 70% digunakan untuk belanja aparatur dan hanya 30% yang benar-benar menyentuh publik.

Ruang gelap
Sementara itu, pengamat desentralisasi dan otonomi daerah dari Lembaga Penelitian Unpad, Dede Mariana menyambut positif tanggapan DPRD terhadap nota RPABD 2005. Tapi, masih harus dibuktikan apakah kekritisan mereka itu akan terus berlangsung. atau hanya di awal. Publik akan selalu memerhatikan semua kinerja eksekutif maupun parlemen, ucapnya.

Dalam pandangannya, saat ini proses penyusunan anggaran senantiasa berlangsung di ruang gelap. Masih belum berubah sama sekali dari kecenderungan pada masa sebelumnya. Publik hanya tahu anggaran itu sudah disahkan oleh DPRD dan pemerintah dengan nominal sekian tanpa pernah tahu mekanisme akuntabilitasnya secara transparan dan luas, tegas Dede.

Kemudian berlangsung adalah munculnya pos-pos pengeluaran yang seolah berada di awang-awang. Sangat tidak menyentuh kebutuhan mendasar yang sangat dibutuhkan mayoritas rakyat. (A-64)

Sumber: Pikiran Rakyat, 27 Desember 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan