Proper KLH dan Indikator Sosial
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) baru saja mengumumkan hasil penilaian Proper (Programme for Pollution Control, Evaluation and Rating) sepanjang 2004. Sebagaimana yang bisa dibaca pada beberapa surat kabar nasional, hasil pengukuran kinerja perusahaan versi KLH itu tidaklah begitu menggembirakan.
Persentase perusahaan yang mendapatkan peringkat merah dan hitam cukup signifikan. Sementara itu, tidak ada perusahaan yang dinyatakan mendapat peringkat emas. Karenanya, perbaikan kinerja perusahaan harus terus digenjot oleh semua pihak yang peduli. Di sisi lain, Proper sendiri masih perlu diperbaiki.
Pada Juni 1995 Indonesia tercatat sebagai negara berkembang pertama yang memperkenalkan suatu program inisiatif pelaporan kinerja lingkungan yang diberi nama Proper (Afsah dan Ratunanda, 1999). Melalui skema itu, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) mengukur kinerja lingkungan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah hukum Indonesia, kemudian melaporkan hasilnya melalui konferensi pers maupun Internet dalam bentuk laporan warna yang diberikan. Kinerja yang paling rendah diberi warna hitam, sedangkan kinerja tertinggi dilambangkan dengan emas. Di antara keduanya ada warna merah, biru, dan hijau.
Sebagai hasilnya, dalam waktu yang relatif singkat, ada peningkatan kinerja lingkungan perusahaan yang menjadi target penilaian. Hal ini, disebutkan dalam beberapa pustaka, disebabkan kemampuan Proper untuk memberikan informasi yang memadai bagi pembuat kebijakan, organisasi nonpemerintah lingkungan, serta masyarakat umum. Informasi tersebut kemudian diubah menjadi tekanan publik bagi peningkatan kinerja lingkungan.
Lebih jauh lagi, Proper juga dipercaya telah mematahkan asumsi bahwa kinerja lingkungan di negara berkembang akan selalu buruk karena pemerintahnya lebih mengutamakan perkembangan ekonomi dibandingkan tujuan lain. Karena potensi yang demikian besar, berbagai lembaga internasional pun mencurahkan perhatiannya pada program ini, seperti USAID dan Bank Dunia. Lembaga yang disebut terakhir ini bahkan dalam laporan World Development Report pada 1998 memuji Proper sebagai a model for a modern knowledge-based policy instrument. Dengan pujian yang demikian hebat, Proper kemudian dicontoh atau setidaknya memberikan inspirasi bagi pemerintah negara-negara Filipina, Thailand, India, dan Kolombia untuk membuat inisiatif pengukuran yang serupa.
Sayangnya, program yang dipuji-puji itu kemudian mengalami masa rehat selama beberapa tahun, walaupun program serupa yang diinspirasinya masih menunjukkan kegunaannya di negara-negara lain. Kini, terdapat upaya untuk membangunkan kembali Proper, dan kali ini dengan tambahan kinerja sosial pada skema yang dikembangkannya. Tentu saja, hal ini merupakan bentuk kemajuan yang patut disyukuri karena kinerja sosial memang tidak dapat dipisahkan dari kinerja lingkungan, sebagai konsekuensi logis penerimaan konsep pembangunan berkelanjutan yang memiliki tiga kaki ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Hal tersebut juga dicerminkan dalam berbagai literatur mutakhir mengenai kinerja perusahaan di luar aspek ekonomi. Istilah sustainable measures atau ukuran keberlanjutan, misalnya, dipergunakan dalam karya bunga rampai Martin Bennett dan Peter James (1999). Dalam buku itu, penggabungan kinerja sosial dan lingkungan dapat dibaca pada tulisan oleh The Global Reporting Initiative, Ranganatan, Elkington and Van Dijk, Wilson serta Sillanpa. Karya Jain, et al (2002) juga menunjukkan hal yang sama. Walaupun tidak memberi istilah yang baru, sangat jelas bahwa wacana dan praktek mutakhir mengenai kinerja keberlanjutan perusahaan memang mengikutsertakan kinerja sosial dan ekonomi. Di dalam pengukuran kinerja ekonomi dan sosial itu ditimbang pula masalah partisipasi publik dalam pengambilan keputusan serta isu mengenai cultural resources.
Secara singkat, upaya membangkitkan kembali Proper sudah berada di arah yang benar. Namun, apabila ditinjau lebih jauh, sebetulnya masih ada beberapa persoalan yang harus ditemukan jalan keluarnya sebelum pengukuran kinerja sosial itu dapat digabungkan dengan pengukuran kinerja lingkungan yang selama ini tampak telah lebih mapan dalam skema Proper. Hal tersebut terutama berkaitan dengan program pengembangan masyarakat yang hendak dipergunakan sebagai dasar pengukuran kinerja sosial, serta karakteristik pengukuran kinerja lingkungan yang dilakukan dalam skema Proper itu sendiri.
Persoalan pertama adalah absennya indikator sosial di tiga peringkat terbawah. Penempatan indikator lingkungan saja untuk menentukan kinerja perusahaan apakah masuk ke peringkat hitam, merah, atau biru boleh jadi tidak bermasalah kalau Proper hendak dinyatakan sebagai pengukuran kinerja lingkungan saja, tetapi akan bermasalah kalau Proper dilihat sebagai pengukuran kinerja lingkungan dan sosial.
Menempatkan indikator sosial di belakang indikator lingkungan bisa membawa pada tuduhan bahwa Proper merupakan upaya pengukuran yang ekofasis (mengutamakan lingkungan), bukan ekopopulis (menyeimbangkan antara manusia dan lingkungannya). Hal tersebut juga tidak sesuai dengan ide dasar pembangunan berkelanjutan dan tanggung jawab sosial perusahaan yang menempatkan aspek lingkungan dan sosial dalam posisi yang setara.
Reduksi tanggung jawab sosial menjadi pengembangan masyarakat merupakan persoalan kedua yang juga harus dipikirkan jalan keluarnya. Pengembangan masyarakat sesungguhnya hanyalah merupakan salah satu saja dari empat skema tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat (Warhurst, 2001). Apabila Proper hendak menilai kinerja sosial perusahaan, sesungguhnya keempat skema tanggung jawab sosial perusahaan haruslah dinilai secara keseluruhan.
Persoalan ketiga berkaitan dengan indikator-indikator kinerja sosial yang diusulkan oleh Proper. Secara singkat dapat dinyatakan bahwa indikator-indikator tersebut merupakan gabungan antara indikator masukan, proses, dan hasil. Hal ini menjadikan indikator Proper untuk kinerja sosial tidak konsisten dengan penilaian berdasarkan kinerja yang dinyatakan dianut oleh Proper.
Berkaitan dengan hal di atas, persoalan keempat adalah kinerja sosial tampaknya masih dinilai dengan indikator yang sulit untuk diukur sehingga bisa menimbulkan perselisihan antara KLH dan perusahaan. Persoalan ini harus diatasi dengan memberikan norma yang jelas serta terukur untuk menghindari kemungkinan perselisihan.
Keempat persoalan yang melekat dengan skema penilaian Proper di atas haruslah dicari jalan pemecahan sementara (melakukan perbaikan-perbaikan kecil dan inkremental) dan permanen (mengubah secara total skema penilaian), sehingga perselisihan dengan perusahaan yang belakangan terjadi bisa diminimalkan.
Perlu juga dilihat bahwa persoalan-persoalan yang melekat dengan Proper tidaklah hanya berasal dari tambahan indikator sosial yang dimasukkan belakangan ini. Beberapa masalah tampaknya juga sudah mulai ada sebelum upaya integrasi aspek sosial hendak dilakukan.
Masalah paling menonjol adalah metodologi dan sumber daya manusia yang melakukan penilaian. Secara metodologis, sudah banyak pihak yang menyatakan perlunya perbaikan indikator-indikator yang dipergunakan untuk mengetahui kinerja lingkungan perusahaan, demikian juga dengan teknik-teknik pengukurannya.
Selain itu, banyak juga komentar bahwa KLH tidak memiliki jumlah sumber daya manusia yang memadai untuk menilai lebih banyak lagi perusahaan dalam skala yang cukup besar. Semuanya itu harus dicarikan solusinya secara gotong-royong oleh seluruh pihak yang mengaku peduli pada lingkungan, bukan hanya oleh KLH. (Jalal,
Pengajar Ekologi Sosial FISIP, Universitas Indonesia)
tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 28 Desember 2004