Proklamasi Antikorupsi

Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan merdeka dari korupsi. Hal-hal mengenai pemberantasan korupsi akan dilakukan dengan cara-cara luar biasa dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Indonesia adalah negeri secuil surga yang ditaruh Tuhan di tengah khatulistiwa. Tetapi, penyakit nista korupsi telah merusak semuanya. Korupsi telah menghadirkan kenyataan busung lapar, polio, penyalahgunaan dana abadi umat oleh sebuah departemen yang mengaku ahlinya beragama. Pemberantasan korupsi karena itu harus dengan 'cara-cara luar biasa dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya'. Untuk itu dapat dilakukan beberapa langkah hukum yang progresif dan inovatif berikut ini.

Negara dalam kegentingan korupsi. Negara harus segera dinyatakan dalam kegentingan korupsi. Dengan alasan kegentingan tersebut, presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi secara luar biasa. Perpu ini tidak hanya harus disiapkan secara yuridis, tetapi juga politis. Alasan yuridis perpu dapat dibangun dari argumen-argumen bahwa korupsi adalah akar segala masalah.

Karena corruption is the root of the evil maka negara dalam keadaan genting dan alasan konstitusional terpenuhi untuk mengeluarkan perpu. Yang lebih sulit diprediksi ialah konfigurasi politik di DPR agar mau menyetujui perpu tersebut sebagai undang-undang. Adalah 'takdir politik' bahwa sokongan politik akan sangat bergantung pada kepentingan-kepentingan tiap partai di DPR. Untuk itu, pressure publik kepada parlemen 'bahwa perpu pemberantasan korupsi secara luar biasa harus disetujui' merupakan salah satu hal yang wajib dilakukan.

Asas praduga bersalah. Di dalam perpu sebaiknya diatur beberapa aturan hukum luar biasa untuk memberantas korupsi secara luar biasa. Misalnya: penegasan pembuktian hukum terbalik, yang sekaligus menegaskan bahwa praduga dalam kasus korupsi adalah bersalah, tidaklah asas praduga tidak bersalah. Asas presumption of guilty ini sebenarnya bukan hal baru dan sudah diadopsi dalam beberapa aturan hukum korupsi. Berkait dengan pembuktian terbalik, yang diatur dalam Pasal 37 UU No 20/2001, pada prinsipnya memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa dia tidak korupsi. Itu artinya, sang terdakwa harus dianggap bersalah sampai dia dapat membuktikan sebaliknya.

Dalam UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pemerintahan Daerah, seorang tersangka dapat diberhentikan sementara oleh pimpinannya dan hanya dapat dikembalikan jabatannya jika telah divonis tidak bersalah. Dari aturan itu jelaslah, sistem hukum sudah mengadopsi asas praduga bersalah: bahwa seorang tersangka sebaiknya dihukum berhenti sementara, atau dinyatakan bersalah, sampai kemudian terbukti sebaliknya dia tidak bersalah dalam proses peradilan.

Argumentasi bahwa asas praduga bersalah melanggar hak asasi manusia harus dilawan dengan argumen kritis, untuk kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara tidak hanya hak asasi tersangka korupsi yang patut dipertimbangkan, namun hak asasi publik juga tidak boleh dikesampingkan.

Artinya, adalah hak asasi publik untuk mempunyai pejabat yang tidak melakukan korupsi, karena pejabat yang demikian akan sangat berbahaya. Karena itu, di Australia, Pasal 44 Konstitusi Negeri Kanguru tersebut secara tegas mengatur setiap orang yang sudah dihukum, atau patut diduga akan dijatuhi hukuman satu tahun, tidak dapat dipilih atau tetap duduk sebagai anggota parlemen.

Aturan progresif itu sekilas menunjukkan ada pelanggaran HAM kepada anggota parlemen yang hanya diduga melakukan tindak pidana. Namun, Australia terlihat jelas berupaya progresif untuk melindungi hak asasi publik, dan tidak mengizinkan penyalahgunaan asas praduga tidak bersalah menjadi tempat bersembunyinya para penjahat yang berkedok pejabat terhormat.

Forum previlegiatum. Selanjutnya dalam upaya memberantas korupsi 'secepat-cepatnya', di dalam perpu antikorupsi sebaiknya diadopsi lagi forum previlegiatum. Ini adalah forum persidangan bagi pejabat negara yang dilakukan hanya dalam satu tingkat pengadilan, untuk pertama dan terakhir, yang langsung mempunyai kekuatan hukum tetap.

Forum previlegiatum pernah diperankan Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Pasal 106 UUD Sementara 1950, yang keduanya berbunyi: 'Presiden, wakil presiden, menteri-menteri, ketua, wakil ketua dan anggota-anggota DPR, ketua, wakil ketua dan anggota MA, Jaksa Agung, anggota-anggota majelis tinggi dan pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti'.

Forum previlegitum juga diterapkan di Prancis yang dalam Pasal 68 konstitusinya mengatur bahwa presiden dan para pejabat pemerintah yang melakukan pengkhianatan terhadap negara disidangkan pada tingkat pertama dan terakhir di Mahkamah Agung Prancis. Di Indonesia, peran Forum Previlegiatum dapat diberikan kepada Mahkamah Agung melalui perpu yang kemudian menjadi UU. Dasar penambahan kewenangan kepada MA itu ialah Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan MA dapat ditambah kewenangannya melalui aturan UU.

Antimafia peradilan. Hal lain, di dalam perpu antikorupsi harus ditegaskan bahwa judicial corruption harus ditindak tegas. Dasar pemikirannya, penguasa banyak yang korup; pengusaha bisa korupsi; tetapi kalau aparat hukum tegas menerapkan sanksi, koruptor akan jera. Sebaliknya, aparat hukum yang mengorupsi kewenangannya merupakan musuh utama pemberantasan korupsi. Memberantas korupsi tanpa lebih dulu membersihkan peradilan ibarat mimpi di siang bolong. Karena itu, kepada penikmat praktik mafia peradilan amat pantas diterapkan hukuman pidana yang diperberat 'minimal 3 kali lipat' dibandingkan pelaku korupsi biasa.

Akhirnya, hanya dengan proklamasi merdeka dari korupsi yang menegaskan pemberantasan korupsi secara luar biasa dan secepat-cepatnya, Indonesia ke depan masih mungkin diharapkan tetap ada. Tanpa itu, Indonesia hanya menunggu waktu untuk menjadi tiada.

Denny Indrayana, dosen Hukum Tata Negara UGM, Direktur Indonesian Court Monitoring, Yogyakarta

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 19 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan