Profesionalitas Pemberantasan Korupsi
Dari kota kecil Notre Dame, Amerika Serikat, yang mulai mengembuskan hawa musim dingin pada September ini, saya bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya salah dalam putusan Mahkamah Konstitusi sehingga kritik bertubi-tubi datang ke lembaga itu. Ada yang sampai menulis bahwa Mahkamah Konstitusi adalah mahkamahnya mafia peradilan atau centengnya mafia peradilan, yang konon membuat Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Dr Jimly Asshiddiqie meradang.
Kritik itu terutama terkait dengan dua putusan Mahkamah Konstitusi terakhir, yaitu pengujian Undang-Undang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam dua putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi dinilai tidak favorable terhadap upaya pemberantasan korupsi. Wacana pun terbangun bahwa sebaiknya Mahkamah Konstitusi perlu diawasi, hakim perlu dibatasi dalam melakukan penafsiran konstitusi, dan masih banyak lagi. Semua ini tentu bukan kado manis bagi terpilihnya kembali Jimly sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, untuk periode kedua, pada 18 Agustus lalu.
Saya sendiri, tentu dengan subyektivitas tinggi, menganggap tidak ada yang salah dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Yang keliru adalah konteks saat putusan itu diambil. Berbagai komponen society, dari aktivis lembaga swadaya masyarakat, pengamat, hingga pengajar perguruan tinggi, ramai-ramai menggotong isu pemberantasan korupsi, yang salah satunya adalah pemberantasan praktek mafia peradilan. Berbagai upaya telah dilakukan, dari sekadar komentar di media massa hingga upaya sistematis untuk membangun sistem ketatanegaraan yang lebih responsif terhadap upaya membunuh virus mematikan tersebut.
Hadirnya Komisi Yudisial dapat dinilai sebagai bagian dari upaya sistematis itu. Mereka, para pengusung antikorupsi dan antimafia peradilan, berharap Komisi Yudisial dapat menjadi entry point untuk mengawasi dan menindak hakim nakal, yang jumlahnya mungkin mayoritas ketimbang hakim baik. Dengan demikian, dapat diharapkan ada pembersihan di dunia peradilan. Para pencari keadilan (justice seeker) tidak perlu lagi waswas bila beperkara di peradilan karena hakim tidak akan lagi menjadi akronim hubungi aku kalau ingin menang.
Sekadar membangun lembaga seperti Komisi Yudisial ternyata tidak cukup. Aturan undang-undang juga harus dibuat spesial agar koruptor tidak mudah lepas dari jejaring hukum. Muncullah kemudian aturan yang menyatakan bahwa parameter korupsi tidak mesti harus selalu dari undang-undang. Rasa keadilan dan kepatutan masyarakat bisa juga menjadi ukuran. Hal ini sudah pernah dipraktekkan Pengadilan Tinggi Sumatera Barat ketika menguatkan putusan Pengadilan Negeri Padang terhadap kasus korupsi para anggota DPRD Sumatera Barat periode 1999-2004. Pengadilan Tinggi Sumatera Barat berpandangan bahwa korupsi tersebut bukan lagi soal melanggar undang-undang atau tidak, melainkan karena telah mencederai rasa keadilan masyarakat. Bayangkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sumatera Barat yang menurut hakim tidak seberapa digunakan hanya untuk memperbanyak fasilitas para anggota DPRD.
Melalui dua putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Antikorupsi, segala upaya itu seperti hancur. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, yang pernah tersinggung terhadap para anggota DPR dalam kasus ustad di kampung maling, sampai perlu mengeluh bahwa putusan Mahkamah Konstitusi melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Dalih yang sama pernah juga disampaikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketika ketua dua lembaga yang menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi mengeluh karena putusan Mahkamah Konstitusi, tentu ada sesuatu yang gawat dari putusan tersebut.
Tapi betulkah segawat itu? Terlepas dari pro dan kontra terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, yang sebenarnya sangat menarik untuk diperdebatkan secara akademis di jurnal-jurnal atau forum-forum ilmiah, dan tentu tidak bisa hanya di ruang-ruang terbatas di media massa, saya tidak merasa langit upaya pemberantasan korupsi telah runtuh. Langit itu akan betul-betul runtuh bila, lantaran putusan Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi, termasuk Komisi Yudisial, berkata, I'm sorry, Sir, karena putusan Mahkamah Konstitusi, kami terhalang melakukan pekerjaan kami.
Lalu, si Sir--maksudnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono--menjawab, Ya, sudah kalau begitu. Kita kerjakan yang lain saja. Mumpung ada putusan Mahkamah Konstitusi, kita bisa mencari pembenaran akan ketidakmampuan kita memenuhi janji saya ketika kampanye dulu. Kalau ini terjadi, barulah dunia telah kiamat.
Terhadap putusan Undang-Undang Komisi Yudisial, saya sepakat bahwa seharusnyalah Komisi Yudisial tidak mencampuri urusan teknis peradilan. Putusan hakim, betapapun abnormalnya, harus dianggap benar sampai kemudian dibuktikan sebaliknya oleh pengadilan yang lebih tinggi, melalui upaya hukum yang telah disediakan. Penganut progresivitas dalam pemberantasan korupsi pasti akan menolak argumentasi ini. Bagi mereka, pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan berbagai cara dan dari semua lini, termasuk bila perlu membatasi ruang gerak hakim dalam memutus perkara, yang pastinya akan merupakan gangguan serius terhadap independensi peradilan.
Dalam jangka pendek, progresivitas itu tampak benar dan mungkin akan membuat mesin pemberantasan korupsi bekerja. Tapi, dalam jangka panjang, hukum dan hakim yang hingga kini belum juga berwibawa akan tambah tidak dihargai karena kekuasaan lain bisa mencampuri kerja mereka. Budaya hukum yang kuat seperti dinikmati masyarakat Amerika Serikat tidak akan pernah bisa tercipta.
Pada awalnya, hukum di Amerika Serikat sangat dipandang sebelah mata. Ketika founding fathers Amerika Serikat menggagas konstitusi, titik berat kekuasaan ada di cabang eksekutif dan legislatif. Barulah ketika Justice Marshall memimpin US Supreme Court, kewibawaan itu dia rebut dengan putusan sangat bersejarah dalam kasus Madison versus Marbury. Sejak itu, cabang kekuasaan ini sangat menikmati tempat yang tinggi dalam ranah ketatanegaraan Amerika Serikat.
Kita memang tidak boleh menutup mata terhadap maraknya praktek mafia peradilan. Harus dilakukan langkah serius untuk membasminya, tapi tentu tidak mengorbankan prinsip independensi peradilan dengan mencampuri teknis peradilan dan menjadikan putusan sebagai entry point dugaan adanya praktek suap kepada hakim. Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi, termasuk komponen society, harus lebih profesional dalam bekerja. Mereka harus mampu menangkap bahkan menjebak hakim-hakim nakal. Undang-undang perlindungan saksi, yang memberikan jaminan keamanan bagi pelapor kasus suap seperti Endin Wahyudin beberapa waktu lalu, harus sudah mulai bekerja secara efektif.
Komisi Yudisial sebaiknya juga sudah mulai menyusun database hakim dan sarjana hukum yang berpeluang menjadi hakim agung. Mana di antara para hakim dan sarjana hukum itu yang bermasalah harus dilacak sejak dini oleh Komisi Yudisial sehingga nantinya mereka tidak keliru mengusulkan pengangkatan seseorang menjadi hakim agung. Bila Komisi Yudisial bekerja profesional, nantinya semua hakim agung yang sekarang ada di Mahkamah Agung akan tergantikan dengan hakim-hakim baik.
Di tengah ketidaksabaran sejumlah pihak akan praktek mafia peradilan, cara ini memang membutuhkan waktu. Tapi demikianlah adanya pilihan jalan evolusioner. Kecuali bila kita sepakat dengan jalan revolusioner, merombak tatanan yang sudah ada secara radikal. Bila jalan ini yang dipilih, ceritanya tentu berbeda.
Di tengah udara dingin Notre Dame yang makin menusuk tulang sumsum, saya masih yakin, sepanjang lembaga-lembaga yang ada bekerja lebih profesional, tetap ada harapan bagi pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Refly Harun, Mahasiswa Program Human Rights University of Notre Dame, Amerika Serikat
Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 9 September 2006