Problem RSUD Layani Keluarga Miskin

Di republik ini masih banyak masyarakat miskin yang tidak mampu menjangkau pelayanan kesehatan, terutama di rumah sakit. Keadaan demikian tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena UUD 1945 Pasal 34 menyebutkan, Bahwa fakir miskin merupakan tanggung jawab pemerintah. UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan Pasal 4, juga menyatakan, Bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

Maka pemerintah dalam hal ini pemerintah pusat (Depkes) dan pemerintah daerah, bertanggung jawab untuk menyediakan dana bagi masyarakat miskin guna memperoleh pelayanan kesehatan. UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000-2004 mengamanatkan agar subsidi energi dikurangi secara bertahap hingga pada akhir tahun 2004, sehingga tidak ada lagi subsidi energi, termasuk subsidi BBM, sehingga dana subsidi tersebut dapat dipergunakan untuk membangun kesejahteraan rakyat secara lebih tepat. Upaya tersebut dituangkan dalam bentuk program penanggulangan masalah kesehatan bagi keluarga miskin (gakin).

Pelayanan gakin
Program ini pertama kali dinamakan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK), kemudian diganti namanya menjadi Program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bidang Kesehatan (PDPS E-BK), dan berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan No. 777/MENKES/SK/VI/2002 tanggal 25 Juni 2002 program tersebut menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Minyak Bidang Kesehatan (PKPS-BBM- Bidkes) di mana pengelolaannya baik administratif maupun keuangan dilakukan oleh rumah sakit dan di setiap rumah sakit harus membentuk tim verifikasi, tim penyusunan paket pelayanan esensial, tim pengelola dana PKPS-BBM-Bidkes Dan tim unit pengaduan masyarakat (UPM).

Model penanganan program (gakin) tersebut di atas berakhir pada Desember 2004. Setelah diberlakukannya UU No. 40/2004 yaitu UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) maka mulai 1 Januari 2005, pengelola pelayanan keluarga miskin baik di puskesmas maupun RSUD dilakukan oleh PT Askes baik administratif maupun keuangannya, di mana rumah sakit tinggal mengklaim ke PT Askes.

Dengan menggunakan tarif maksimal, berdasarkan SKB Menteri Kesehatan dengan Menteri Dalam Negeri No. 616 A/Menkes/ SKB/VI/2004 No. 155 A Tahun 2004 yakni tentang pelayanan kesehatan bagi peserta PT Askes (Persero) dan anggota keluarganya di puskesmas dan rumah sakit umum daerah (RSUD). Hal ini juga berlaku bagi pelayanan keluarga miskin dan sekadar catatan bahwa PT Askes menerima dana dari pemerintah pusat Rp 2,1 triliun untuk 36 juta orang miskin di Indonesia (Rp 5.000 x 12 x 36 juta = Rp 2,1 triliun).

Sebuah contoh, Daerah Kabupaten Tingkat II Indramayu Jawa Barat misalnya, mudah-mudahan gambaran ini sama untuk daerah lainnya di Indonesia. Menurut data Dinkes jumlah penduduk miskin di Indramayu 119.076 KK atau 1.440 ribu jiwa. PT Askes akan menanggung 273.000 jiwa (data BPS). Jadi ada perbedaan 163.000 jiwa. Dana yang diterima RSUD tahun 2004 untuk program pelayanan gakin Rp 795.467.625 (dari APBN dan APBD I) ternyata masih kurang sedangkan PT Askes akan menerima Rp 5.000 x 12 x 273.000 = Rp 16.380.000.000 per tahun.

Dengan perincian untuk puskesmas akan mendapat Rp 3.276.000.000 per tahun (Rp 1.000 x 12 x 273.000) atau setiap bulannya akan menerima Rp 273.000.000 dan dana yang disediakan untuk RSUD Rp 13.104.000.000 per tahun (Rp 4.000 x 12 x 273.000). Jadi jelas dana yang disiapkan untuk pasien gakin lewat PT Askes jauh lebih besar dari penerimaan RSUD tahun 2004.

Problemnya, pertama, teman-teman di puskesmas akan menghadapi persoalan yang sangat sulit karena harus menarik kartu miskin/sehat yang jumlahnya tidak sedikit 163.000, dan dipastikan akan banyak menimbulkan benturan dengan masyarakat miskin.

Kedua, persoalan klasik yaitu kurangnya dana untuk RSUD dalam melayani gakin masih akan tetap terjadi, karena klaim RSUD ke PT Askes dengan menggunakan aturan SKB No. 155 A/Th. 2004 tadi. Karena walaupun RSUD mengambil paket yang paling maksimal pun masih akan tetap terjadi kekurangan/iur bayar yang harus ditanggung RSUD karena gakin tidak dibolehkan untuk membayar. Dan alternatifnya RSUD minta ke pemda, baik tingkat I ataupun tingkat II. Persoalannya, tidak semua pemda menyediakan dana untuk Gakin, karena ada beberapa pemda yang menganggap bahwa dana yang disediakan pemerintah pusat sudah cukup. Memang benar dari perhitungan/gambaran di atas dana yang diterima PT Askes cukup.

Ketiga, dengan pengelola PT Askes menangani gakin, maka rujukan pasien dibatasi (antarprovinsi saja) di mana sebelumnya tidak ada batasan untuk merujuk pasien gakin. Hal ini akan merepotkan teman-teman spesialis apabila karena indikasi medis maka pasien harus dirujuk; misalnya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) langsung tidak bisa, harus lewat Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) dahulu.

Begitu pula bagi pasien gakin di daerah perbatasan; misalnya riil cost tarif kelas III dari masing-masing RSUD dan juga tidak ada batasan untuk merujuk pasien. Hal ini demi kepentingan pasien terutama di daerah-daerah perbatasan dan juga untuk memudahkan teman-teman spesialis untuk merujuk manakala ada hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan medis.

Kesimpulan
Pengelolaan gakin oleh PT Askes sesuai UU No. 40/2004 yaitu UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), masih menimbulkan problematik di rumah sakit maupun di puskesmas. Hal ini dikarenakan PT Askes menggunakan sistem klaim berdasarkan SKB Menteri Kesehatan dengan Menteri Dalam Negeri No. 616 A/Menkes/SKB/VI/2004 No. 1155 A Tahun 2004. Untuk itu, Menteri Kesehatan harus mengubah sistem klaim dengan dibuatkan sistem tersendiri untuk gakin, salah satu alternatif untuk RSUD disesuaikan dengan tarif riil cost Perda kelas III masing-masing RSUD.(dr. Dedi Rohendi, mahasiswa Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit Program Pasca sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)

Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 16 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan