Problem Pengawasan Dana Kampanye

Salah satu hal penting dalam tahap pemilu tetapi kurang mendapatkan perhatian publik, termasuk penyelenggara pemilu, adalah pengawasan dana kampanye. Pelaporan dana kampanye dianggap urusan partai politik dan bukan kewajiban KPU sehingga dianggap tidak ada masalah. Lebih lanjut, dana kampanye dianggap tidak berkaitan dengan sukses atau tidaknya penyelenggaraan pemilu.

Dana kampanye sebenarnya merupakan hal krusial yang harus mendapatkan perhatian banyak pihak. Sebab, dengan adanya transparansi laporan dana kampanye yang meliputi penerimaan dan pengeluaran, itu akan jadi tolok ukur bagi peserta pemilu akan ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan, kejujuran, integritas, dan kelayakan seseorang untuk menjadi wakil rakyat maupun pemimpin negara (presiden). Dimulai dari pelaporan dana kampanye itulah rapor peserta pemilu akan dinilai.

Bagaimana seseorang akan bisa jadi wakil rakyat yang baik dan jujur serta bersih dari korupsi kalau dari laporan dana kampanye saja sudah tidak beres.

Sebenarnya, pelaporan dana kampanye adalah kewajiban peserta pemilu yang mungkin akan berusaha dihindari. Hal tersebut disebabkan oleh kondisi partai politik sendiri yang tidak mau dibuat repot dalam membuat pembukuan dana kampanye.

Problem Pengawasan
Menurut UU No 10/2008, yang memiliki kewajiban untuk mengawasi dana kampanye adalah Bawaslu dan panwaslu provinsi dan kabupaten/kota. Di antara sekian banyak kewajiban Bawaslu dan panwaslu, bila ingin jujur, yang paling berat adalah pengawasan dana kampanye.

Pengawasan dana kampanye tidak hanya mengawasi apakah peserta pemilu sudah melaporkan dananya ke KPU atau belum, tetapi lebih jauh harus meneliti dan melakukan investigasi benarkah dana-dana kampanye berasal dari sumber-sumber yang diperbolehkan atau dilarang? Sebab, dalam pasal 139 ayat 1 UU No 10/2008, partai politik dilarang menerima sumbangan dari pihak asing, penyumbang yang tidak jelas identitasnya, pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha miliki negara, BUMD, dan BUM Desa.

Meskipun penyumbang memiliki identitas jelas, Bawaslu dan panwaslu perlu meneliti lebih jauh apakah penyumbang memiliki kelayakan ekonomi atau tidak, namanya sekadar dipakai atau tidak, dan sebagainya.

Mengingat jumlah panwaslu yang hanya tiga orang untuk provinsi dan kabupaten/kota dengan 38 partai peserta pemilu dan jumlah caleg yang ribuan di masing-masing daerah, hal tersebut tentu bukan pekerjaan ringan. Sedangkan waktu yang dimiliki sangat terbatas. Pihak-pihak lain seperti pemantau serta organisasi sipil dan profesi tidak memiliki kewenangan untuk mengawasi.

Menurut acuan Bawaslu, untuk mengatasi masalah tersebut, pilihan yang dimiliki adalah tidak mengawasi secara keseluruhan partai politik peserta pemilu, tetapi membuat prioritas. Misalnya, partai-partai lama (lima besar) dan beberapa partai baru yang menonjol. Pertanyaannya, apakah pemilihan itu tidak memunculkan diskriminasi? Mengapa hanya partai besar dan baru yang menonjol yang diawasi? Tidakkah partai kecil juga bisa melakukan kesalahan?

Di sisi lain, muncul problem baru setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 214. Putusan tersebut menyebutkan bahwa penentuan calon jadi adalah berdasar suara terbanyak.

Tentu saja, putusan itu memiliki implikasi perubahan kampanye politik secara mendasar baik antarpartai maupun intern partai. Yang berkampanye bukan lagi partai politik, tetapi individu-individu para caleg. Mereka satu sama lain saling berlomba dan jorjoran poster, iklan di media (cetak, elektronik, dan radio), spanduk, leaflet, baliho, dan lain-lain. Jadi, yang mengeluarkan dana kampanye adalah para caleg, bukan partai.

Dengan adanya putusan MK tersebut, pengawasan dana kampanye bukan lagi pada partai politik, melainkan pada individu-individu atau para caleg. Padahal, dalam UU No 10/2008, yang wajib melaporkan dana kampanye adalah peserta pemilu, yakni partai politik, bukan individu -kecuali Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sifatnya individu.

Mungkin bisa saja, meskipun yang diwajibkan melaporkan dana kampanye adalah peserta pemilu (parpol), dana kampanye parpol yang dilaporkan itu bersumber dari individu-individu caleg.

Problemnya adalah apakah partai politik mau mengontrol dana-dana kampanye yang dipergunakan caleg selama masa kampanye? Bagaimana kalau dana kampanye yang dilaporkan caleg cuma sebagian, bukan keseluruhan? Apakah individu atau partai politik yang akan diberi sanksi baik administrasi maupun pidana sesuai dengan UU No 10/2008.

Dalam pemilu kali ini, masa kampanyenya adalah sembilan bulan, bagaimana kalau dana kampenye yang dilaporkan oleh caleg itu cuma lima atau empat bulan dan empat atau lima bulan sebelumnya tidak dilaporkan? Apakah itu menjadi kewajiban Bawaslu dan panwaslu untuk menyelidiki dan menginvestigasi? Padahal, untuk di daerah kabupaten dan kota, mayoritas panwaslu dibentuk setelah masa kampanye berjalan lebih empat bulan.

Lebih lanjut, laporan dana kampanye secara lengkap baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota akan diaudit oleh kantor akuntan publik (KAP) yang ditunjuk oleh KPU. Menurut Bawaslu, laporan dana kampanye yang akan diaudit berjumlah lebih dari 18.000 di seluruh Indonesia. Jumlah KAP se-Indonesia sekitar 600-an, sedangkan 400-an di antaranya berada di Jakarta sehingga tidak mencukupi untuk seluruh daerah di Indonesia.

Apalagi, tidak semua KAP berminat menjadi auditor. Apakah waktu yang disediakan, yakni 30 hari setelah laporan diterima oleh KAP, akan cukup untuk mengaudit seluruh peserta pemilu.

Desain Politik
Kurun waktu yang terbatas, jumlah anggota panwaslu yang hanya tiga orang untuk provinsi dan kabupaten/kota, serta sedikitnya KAP terkait dengan pengawasan dana kampanye, apakah tidak layak diduga bahwa semua yang tercantum dalam UU No 10/2008 sebenarnya sudah didesain sejak awal. Sebab, secara prinsip, partai politik adalah pihak yang paling tidak senang dengan adanya pengawasan dana kampanye.

Faktanya, jangankan masalah pengawasan dana kampanye, ketertiban memasang atribut kampanye saja mereka tidak senang diatur. Padahal, sanksinya sangat berbeda jauh, yakni pelanggaran laporan dana kampanye bisa mengakibatkan peserta pemilu dibatalkan (diskualifikasi), sedangkan kesalahan memasng atribut hanya ditertibkan (diturunkan).

Semestinya, seluruh peserta pemilu (partai politik) sebagai salah satu pilar demokrasi harus memelopori transparansi dalam penggunaan dana kampanye. Juga, harus mampu mendisiplinkan para calegnya untuk mematuhi peraturan yang ada -terkait dengan dana kampanye. Sebab, lewat partai politik yang mengikuti pemilu, akan lahir pemimpin masa depan bangsa yang menjadi tambatan nasib rakyat negeri ini.

Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah.

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 24 Februari 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan