Privatisasi Air Minum

Kompas, Rabu, 16 Februari 2005, memuat artikel dengan judul Proyek Pengelolaan Air Minum Segera Ditenderkan, yang berisi rencana pemerintah untuk segera melakukan privatisasi pengelolaan air minum. Segera yang dimaksud di sini benar-benar SEGERA karena tender sudah akan dimulai bulan depan, Maret 2005. Berita yang dilengkapi tabel berisi daftar 20 proyek penyediaan air senilai 380,5 juta dollar AS ini betul-betul mengejutkan mengingat sampai saat ini Peraturan Pemerintah tentang Air Minum dan Sanitasi serta Pengusahaan Sumber Daya Air belum disahkan, bahkan Desember tahun lalu, konsultasi publik masih dilakukan di beberapa kota untuk membahas rancangan PP ini.

Selain itu, sampai saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang (UU) Privatisasi, sedangkan UU No 7 tentang Sumber Daya Air sendiri sangat riskan bila dijadikan landasan hukum yang memadai bagi privatisasi sumber daya air karena sangat longgar mengatur peran swasta di sektor air. Apalagi, saat ini UU tersebut masih berada di Mahkamah Konstitusi (MK), menghadapi tuntutan dari ratusan warga masyarakat dan puluhan organisasi yang meminta MK membatalkan pasal- pasal yang berhubungan dengan dibukanya secara luas peluang swasta mengusahakan sumber daya air di Indonesia.

Dari artikel tersebut juga diketahui bahwa rencana pemerintah memulai tender untuk tiga proyek terlebih dahulu, yaitu proyek di Ciledug, Ciparen dan Solo-Sukoharjo. Menariknya, dari semua proyek pendahuluan ini, yang akan diprivatisasi adalah sumber air atau air bakunya, bukan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)-nya seperti yang selama ini banyak dibahas. Pada tiga proyek ini, model kerja sama privatisasi yang ditawarkan adalah konsesi, artinya keseluruhan operasi, pemeliharaan, dan investasi sumber air sepenuhnya akan berada di tangan swasta.

Hal yang sangat penting diperhatikan, masih banyak penduduk Indonesia yang memperoleh air untuk kebutuhan sehari-hari langsung dari sumber air (air sungai, danau, mata air, waduk, dan lain-lain). Jika kemudian sumber airnya dikuasai oleh badan usaha swasta, jelas akan banyak penduduk yang akan kehilangan akses mereka terhadap air. Mereka tidak bisa lagi mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari karena swasta tentunya akan menetapkan berbagai peraturan yang bersifat mengamankan aset mereka, yang itu juga berarti limitasi akses bagi pengguna lainnya.

Dengan menguasai sumber air, sebetulnya perusahaan juga akan memiliki kontrol yang sangat besar terhadap sosial ekonomi suatu wilayah. Memiliki hak mengelola sumber air secara praktis jauh lebih menguntungkan karena perusahaan tidak perlu repot-repot berurusan dengan tarif, pekerja, dan hal lain yang biasanya menyertai privatisasi PDAM. Enaknya lagi, kekuasaan yang dimiliki jauh lebih besar karena dapat mengontrol alokasi air, baik bagi PDAM maupun pemanfaat air lain dari sumber tersebut.

Privatisasi PDAM
Artikel ringkas Kompas itu juga mengindikasikan akan dilakukannya privatisasi terhadap berbagai PDAM yang saat ini beroperasi di tingkat kabupaten/kota. Contohnya Pekanbaru, di situ disebutkan, Pekanbaru akan ditawarkan apabila kontrak yang saat ini sudah ditandatangani dihentikan. Kota-kota lain yang masuk dalam daftar di antaranya adalah Samarinda, Tegal, Semarang, Yogyakarta, dan Magelang.

Privatisasi PDAM adalah hal yang sangat kontradiktif dengan jawaban tertulis pemerintah yang diwakili Departemen Pekerjaan Umum bertanggal 28 Januari 2005 kepada MK sehubungan dengan tuntutan judicial review yang diajukan masyarakat untuk menguji UU Sumber Daya Air. Di situ disebutkan bahwa sesuai Pasal 40 Ayat (4) dan Penjelasan UU No 7, peran serta koperasi, badan usaha swasta, dan masyarakat dalam sistem penyediaan air minum hanya dimungkinkan pada wilayah yang belum ada penyelenggaranya (badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah). Berbagai PDAM di kota-kota yang masuk dalam daftar proyek masih berfungsi sehingga memberikan penawaran kepada swasta untuk mengelola PDAM di kota-kota tersebut jelas merupakan pelanggaran terhadap UU Sumber Daya Air.

Selain itu, mengikuti logika berpikir penyusunan peraturan yang umum, di mana panduan teknis dibuat sesudah peraturan pemerintah disahkan, maka mestinya sampai saat ini keputusan menteri yang akan digunakan pemerintah daerah (pemda) untuk melakukan tender juga belum dimiliki. Jadi, panduan apa yang akan digunakan pemda untuk melakukan tender privatisasi air minum karena secara tegas disebutkan oleh Direktur Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Pedesaan Departemen Pekerjaan Umum Patana Rantetoding bahwa tender privatisasi air minum akan dilakukan oleh pemda, peran pemerintah pusat hanya memberikan panduan supaya tender sesuai syarat dan peraturan yang ada.

Kontrak konsesi
Dari 20 proyek yang ditawarkan, 75 persen di antaranya menawarkan bentuk konsesi dan sisanya built, operate, and tranfer. Kontrak model ini sebetulnya termasuk yang sudah mulai banyak ditinggalkan karena banyak kota di berbagai negara mengalami hal-hal yang sangat buruk sebagai buah dari konsesi, misalnya Manila dan Buenos Aires. Di Manila, tarif naik sampai sekitar 500 persen, 3.000 pegawai dipecat atau dipaksa menjalani pensiun dini untuk memotong biaya operasional perusahaan sehingga keuntungan semakin besar. Ketika pada akhirnya berbagai permasalahan tidak dapat diselesaikan Suez, perusahaan swasta asal Perancis yang memperoleh kontrak konsesi ini memutuskan hengkang dari kota itu sambil minta ganti rugi sebesar 303 juta dollar AS atas investasi yang diklaim telah dikeluarkan perusahaan.

Di Jakarta sendiri, privatisasi PDAM Jaya, baik oleh RWE Thames maupun Ondeo Suez, membuahkan banyak masalah. Mulai dari transparansi kepemilikan saham, di mana sebetulnya pengelola air di Jakarta sudah sepenuhnya swasta karena 95 persen saham dimiliki swasta asing dan 5 persen swasta nasional sehingga nama Thames Pam Jaya maupun Pam Lyonaisse Jaya sama sekali tidak tepat karena PAM Jaya sebenarnya sama sekali tidak memiliki saham di dua perusahaan itu.

Belum lagi masalah water tariff dan water charge yang setiap bulannya selalu selisih. Water charge, yaitu imbalan yang diminta swasta, selalu lebih tinggi dari tarif air yang dibayar warga, selisih yang terus terjadi tiap bulan kemudian dihitung sebagai utang PAM Jaya yang sudah tidak punya kemampuan membayar apa-apa karena memang sudah tidak berproduksi lagi. Satu-satunya cara membayar utang, ya dengan menaikkan tarif. Lebih hebatnya lagi, jika karena satu dan lain hal PAM Jaya/Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengakhiri kontrak, kita harus membayar kepada swasta seluruh investasi yang diklaim telah ditanam di Indonesia dan keuntungan prospektif dari separuh sisa masa kontrak yang nilainya sering disebut-sebut Rp 450 miliar.

Tanpa mekanisme pengaturan yang kuat dan transparan, dapat dipastikan kontrak model kontrak konsesi akan menimbulkan berbagai persoalan bagi konsumen, khususnya yang menyangkut equity, kenaikan tarif, akses, dan transparansi. Hal ini sangat mungkin terjadi karena operasi sepenuhnya dilakukan oleh swasta dan memang tidak memiliki tanggung jawab langsung kepada publik, kecuali disebutkan dalam kontrak. Selain itu, masa konsesi yang panjang, biasanya 25-30 tahun, akan melemahkan kemampuan pemerintah karena selama masa itu maksimalnya mereka hanya bisa jadi pengawas saja, kesempatan untuk membangun kapasitas menjadi pengelola sumber daya air yang kompeten akan hilang, lalu bagaimana jadinya setelah masa konsesi habis dan semua aset kembali diserahkan ke pemerintah? Jangan-jangan karena merasa tidak punya visi dan pengalaman praktis mengelola, pemerintah akan meminta swasta kembali beroperasi dan terus-menerus menguasai sumber daya yang merupakan hajat hidup orang banyak. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 masih sama kan bunyinya? Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.(Nila Ardhianie, Direktur AMRTA Institute for water literacy dan Dewan Pengarah Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 4 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan