Press Release Koalisi Dosen Unmul Peduli KPK
Batalkan Revisi UU KPK, Tarik RUU KPK Dari Prolegnas!!
Bulan Februari Tahun 2016 ini, revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) kembali diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Usulan tersebut diinisiasi oleh 45 anggota DPR-RI dari 6 fraksi yakni Fraksi PDI-P, Fraksi Nasdem, Fraksi Golkar, Fraksi PPP, Fraksi Hanura, dan Fraksi PKB. Upaya revisi terhadap UU KPK tersebut, tercatat adalah yang ketiga kalinya setelah sebelumnya juga sempat diusulkan pada tahun 2012 dan oktober 2015. Perubahan sebuah regulasi, memang merupakan keniscayaan. Tetapi perubahan regulasi berupa undang-undang tersebut harus memenuhi beberapa syarat, antara lain: Pertama, produk undang-undang tersebut dinyatakan “inkonstitusional” atau bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Namun dalam catatan kami, terdapat 18 kali pengujian UU KPK di Mahkamah Konstitusi, dan UU KPK dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kedua, berkenaan dengan kehendak publik. Namun berdasarkan survei yang dilakukan oleh “Indikator Politik Indonesia” menyatakan sebanyak 54,4 persen masyarakat menilai revisi UU itu akan melemahkan KPK, 34,1 persen menilai akan memperkuat KPK dan 11,5 persen tidak menilai. Artinya, publik belum menghendaki perubahan terhadap UU KPK. Ketiga, keberhasilan lembaga, dalam hal ini KPK. Faktanya, selama kurun waktu 10 tahun lebih, KPK telah mengembalikan kekayaan Negara sebesar 249 trilliun. Prestasi yang tidak dimiliki institusi hukum yang lain. Jadi, tidak terdapat alasan mendasar perubahan UU KPK tersebut, minimal untuk saat ini.
DPR-RI berpandangan bahwa alasan revisi UU KPK adalah untuk “memperkuat KPK secara kelembagaan“. Namun jika melihat materi revisi yang ada, alasan tersebut terkesan mengada-ada dan justru mengarah kepada “pelemahan KPK“. Berikut beberapa hal dalam materi revisi UU KPK, yang berpotensi melemahkan KPK: Pertama, Dewan Pengawas. Pasal 12A ayat (1) menyebutkan bahwa, “Penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas”. Artinya, penyadapan harus seizin dewan pengawas terlebih dahulu. Ini tentu saja membuka ruang intervensi dewan pengawas terhadap proses penyadapan yang akan dilakukan. Disamping itu, dewan pengawas juga berpotensi menjadi “alat kekuasaan eksekutif”, sebab kenggotaan dewan pengawas dipilih dan diangkat oleh Presiden (hak prerogatif), sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 37D ayat (1), “Anggota Dewan Pengawas dipilih dan diangkat oleh presiden”. Kedua, Penyadapan. Frase kalimat “Penyadapan dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup” (Pasal 12A), menandakan bahwa penyadapan hanya boleh dilakukan ditahap penyidikan, bukan ditahap penyelidikan sebagaimana kebiasaan KPK selama ini. Ini jelas mempersempit ruang gerak KPK, terutama dalam hal Operasi Tangkap Tangan (OTT). Harus dipahami, bahwa penyadapan adalah “mahkota KPK” selama ini dan sejatinya harus integral dilakukan dari hulu ke hilir. Tidak terbatas pada tahap penyidikan saja. Ketiga, penyelidik dan penyidik tidak dapat diangkat oleh KPK secara mandiri. Artinya, KPK tidak diberikan kewenangan untuk merekrut baik penyelidik maupun penyidik secara mandiri. Dengan demikian, maka konflik kepentingan (conflict of interest) akan rawan terjadi ketika para penyelidik dan penyidik dari institusi konvensional tersebut, justru harus menangani kasus korupsi yang berasal dari institusinya masing-masing. Keempat, kewenangan menerbitkan SP3. Ini jelas sangat berbeda dengan semangat pembentukan awal KPK yang diharapkan memiliki kewenangan khusus (business process) yang istimewa. Jika demikian, tidak ada perbedaan antara KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan secara spesifik. Disamping itu, semangat tidak adanya mekanisme penerbitan SP3, justru akan lebih menjamin kualitas dan kematangan KPK dalam penanganan perkara korupsi. Sebagai catatan, proses pembuktian ditingkat peradilan yang dilakukan oleh KPK, mencapai angka seratus persen.
Untuk itu, adalah hal yang wajar jika publik beranggapan bahwa upaya revisi terhadap UU KPK yang diusulkan oleh DPR-RI tersebut, tidak lebih dari upaya perlawanan balik dari para koruptor (corruptors fight back), yang selama ini merasa tidak nyaman dengan keberadaan KPK. Pernyataan ini bukanlah tanpa dasar, mengingat jumlah anggota DPR-RI yang dijerat oleh KPK dalam kurun waktu 2005-2015 mencapai 55 orang. Jika ditambah dengan anggota DPRD di daerah-daerah, maka total politikus yang dijerat oleh KPK sebanyak 82 orang. Pada Hari Senin tanggal 22 Februari, terjadi pertemuan antara Pimpinan DPR-RI dengan Presiden Joko Widodo, yang pada akhirnya sepakat “Menunda” pembahasan revisi RUU KPK, dengan penekanan “akan dilakukan upaya sosialisasi” yang lebih massif kepada masyarakat. Namun kesepakatan tersebut tidak akan menyelesaikan persoalan, sebab kapanpun DPR-RI bisa saja membahas kembali revisi UU KPK tersebut tanpa diketahui publik. Bagi kami, menunda tidaklah menjadi jalan keluar. Namun agenda pembahasan RUU KPK harus “dibatalkan” dan ditarik dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kami dari Koalisi Dosen Unmul Peduli KPK, menyatakan sikap:
- Mendesak kepada seluruh fraksi di DPR-RI untuk tidak sekedar “menunda”, tetapi “membatalkan” agenda pembahasan revisi UU KPK.
- Mendesak kepada Presiden Joko Widodo bersama dengan DPR-RI, untuk menarik RUU KPK tersebut dari agenda Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2015-2019.
- Menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya bagi kalangan akademisi lainnya, untuk memberikan sokongan secara luas dan kongkrit kepada KPK.
Samarinda, 3 Maret 2016
Koalisi Dosen Unmul Peduli KPK:
1. Prof. Dr. H. Harihanto, MS (FISIP)
2. Prof. Dr. Dra. Hj. Nurfitriyah, M.S. (FISIP)
3. Dr. H. Muhammad Noor, M.Si. (FISIP)
4. Dr. Sri Murlianti, S.Sos., M.Si. (FISIP)
5. Unis W. Sagena., M.Si., Ph.D. (FISIP)
6. Dr. Abdul Haris, MT (Fakultas Teknik)
7. Dr. Aji Qamara Hakim, S.Sn., M.Si. (FISIP)
8. Dr. Rosmini, S.H., M.H. (Fakultas Hukum)
9. Dr. Mahendra Putra Kurnia, S.H., M.H. (Fakultas Hukum)
10. Dr. Siti Kotijah, S.H., M.H. (Fakultas Hukum)
11. Dr. Irwan Gani (Fakultas Ekonomi)
12. Dr. Chandra Dewana Boer (Fakultas Kehutanan)
13. Dr. Syaiful Bachtiar, S.Sos., M.Si. (FISIP)
14. Dr. Erwiantono (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan)
15. Drs. Martinus Nanang, MA (FISIP)
16. Ivan Zairani Lisi, S.H., S.Sos., M.Hum. (Fakultas Hukum)
17. Herdiansyah Hamzah, S.H., LL.M. (Fakultas Hukum)
18. Haris Retno Susmiyati, S.H., M.H. (Fakultas Hukum)
19. Rika Erawaty, S.H., M.H. (Fakultas Hukum)
20. Warkhatun Najidah, S.H., M.H. (Fakultas Hukum)
21. Deny Slamet Pribadi, S.H., M.H. (Fakultas Hukum)
22. La Syarifudin, S.H., M.H. (Fakultas Hukum)
23. Lily Triyana, S.H., M.Hum. (Fakultas Hukum)
24. Emilda Kuspraningrum, S.H. KN, M.H. (Fakultas Hukum)
25. Jauchar B. S.IP, M.Si. (FISIP)
26. Nur Arifuddin, S.H., M.H. (Fakultas Hukum)
27. Dra. Purwaningsih, M.Si. (FISIP)
28. Inda Fitryarini, S.Sos., M.Si (FISIP)
29. Ika Rahayu Anggraini, S.Sos., M.A. (FISIP)
30. Yuniarti, S.IP., M.Si. (FISIP)
31. Andreas Agung Kristanto, S.Psi., M.A. (FISIP)
32. Dra. Lisbet Situmorang, M.Si. (FISIP)
33. Ifan Luthfian Noor, S.Sos., M.Si. (FISIP)
34. Drs. Badaruddin Nasir, M.Si. (FISIP)
35. Kristiawan Wisnu Wardana, S.H., M.H. (Fakultas Hukum).
36. Hikmah Tahir, S.Sos., M.A. (FISIP)
37. Dra. Ida Wahyuni Iskandar, M.Si (FISIP)
38. Irma Suriyani, S.Ag, M.Ag. (Fakultas Hukum).
39. Rahmawati Al Hidayah, S.H., LL.M. (Fakultas Hukum).
40. Safarni Husain, S.H., M.Kn. (Fakultas Hukum).
41. Aryo Subroto, S.H., M.H. (Fakultas Hukum).
42. Nomensen Fredy Siahaan, S.H., LL.M. (Fakultas Hukum).
43. Syukri Hidayatullah, S.H., M.H. (Fakultas Hukum).
44. Agustin Nurmanina, S.Sos., M.A. (FISIP)
45. Silviana Purwanti, S.Sos, M.Si (FISIP)
46. Dutho Suh Utomo, S.T., M.T. (Fakultas Teknik)
47. Aisyah, S.IP., M.A. (FISIP)
48. Budiman, S.IP., M.Si. (FISIP)
49. Arsyik Ibrahim, S.Si, M.Si, Apt. (Fakultas Farmasi)
50. Sonny Sudiar, S.IP, MA (FISIP)
51. Heryanto, S.T., M.T. (Fakultas Teknik)
52. Muliati, SE., M.Sc. (Fakultas Ekonomi)
53. Poppilea Erwinta, S.H., M.H. (Fakultas Hukum)
54. Diah Rahayu, S.Psi, M.Si (FISIP)
55. Enny Fathurachmi, M.Si (FISIP)
56. Khaerul Anwar, S.E., M.A. (Fakultas Ekonomi)
57. Mohammad Taufik, S.Sos., M.Si. (FISIP)
58. Zainal Abidin, S.E., M.M. (Fakultas Ekonomi)
59. Dini Zulfiani, S.Sos., M.Si. (FISIP)
60. Chairul Aftah, S.IP., M.A. (FISIP)
61. Frentika Wahyu Retnowatik, S.IP., M.A. (FISIP)
62. Hairunnisa, S.Sos., M.M. (FISIP)
63. Rahmah Daniah, S.IP., M.Si. (FISIP)
64. Melati Dama, S.Sos., M.Si. (FISIP)
65. Hj. Hariati, S.Sos., M.Si. (FISIP)