Presiden Minta Kejaksaan Tidak Berkecil Hati; Penyidikan Sjamsul Nursalim Dihentikan [23/07/04]

Presiden Megawati Soekarnoputri meminta korps kejaksaan tidak berkecil hati menghadapi banyaknya kritik terhadap kinerja kejaksaan selama ini. Sebaliknya, Presiden justru meminta kejaksaan menjadikan hal itu sebagai bahan untuk melakukan perbaikan ke dalam organisasi, doktrin, dan tata kerja korps kejaksaan.

Demikian Presiden Megawati dalam upacara peringatan Hari Bhakti Adhyaksa Ke-44, Kamis (22/7) di Kejaksaan Agung, Jakarta. Selain Jaksa Agung MA Rachman, hadir Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dan sejumlah pemimpin lembaga penegak hukum.

Saya percaya Saudara-saudara semua lebih mengetahui dan merasakan hebatnya kritik, yang selama ini ditujukan terhadap kinerja kejaksaan pada umumnya. Tidak jarang kritik tersebut bukan hanya keras, tetapi acap kali malah menjatuhkan semangat, ujarnya.

Pada bagian lain, Presiden mengungkapkan pertimbangannya kenapa ia memilih Jaksa Agung dari kalangan kejaksaan sendiri. Pemahaman saya, tak seorang pun di antara kita yang lebih tahu mengenai seluk-beluk kejaksaan, kekurangan dan kelebihannya, kecuali warga Adhyaksa sendiri, ujarnya.

Karena itu, ia berharap jajaran kejaksaan mampu membuktikan kebenaran pemahamannya. Keberhasilan Saudara- saudara membuktikan hal itu sesungguhnya adalah untuk kepentingan dan kehormatan institusi kejaksaan, katanya.

Presiden juga memuji dan memberi penghargaan atas keberanian dan kemampuan aparat kejaksaan dan kepolisian serta aparat lain dalam membawa pelaku teror bom di Bali dan Jakarta beberapa waktu lalu. Ia menilai hal itu bukanlah prestasi kecil, tetapi merupakan tindakan konkret untuk membawa negara dan pemerintah sebagai pihak yang pertama berlaku konsisten dan teguh melawan terorisme.

Tidak hanya kasus terorisme. Presiden menilai dalam banyak kasus kejahatan terorganisasi dan kejahatan kerah putih lainnya serta narkotika, kejaksaan telah bekerja keras. Putusan pidana yang setimpal dan maksimal terhadap pelaku kejahatan narkotika, katanya, juga tak terlepas dari peran kejaksaan.

Kendati demikian, menurut Megawati, bukan tidak mungkin hasil kerja itu tertutup awan mendung karena adanya tindakan tercela beberapa warga kejaksaan sendiri. Bagai nila setitik, rusak susu sebelanga. Kita semua tahu makna ungkapan itu. Tidak sekadar kealpaan atau pengingkaran kehormatan korps yang timbul karena godaan, iming-iming materi, cela dan aib sering kali juga datang karena ketidakmampuan profesi, ujarnya.

SP3 kasus korupsi

Pada peringatan Hari Bhakti Adhyaksa kali ini Jaksa Agung MA Rachman mengungkapkan adanya kado bagi beberapa pengusaha serta konglomerat, yang selama ini menjadi tersangka kasus korupsi.

Kepada wartawan, Rachman mengakui baru-baru ini kejaksaan telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan perkara (SP3) terhadap perkara korupsi PT Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), dengan tersangka Sjamsul Nursalim.

SP3 tersebut dikeluarkan, menurut Rachman, karena Sjamsul Nursalim telah mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Ada tujuh yang mendapatkan SKL itu, ujarnya.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Kemas Yahya Rahman menambahkan, SP3 terhadap perkara Sjamsul Nursalim telah dikeluarkan Kejagung tanggal 13 Juli 2004.

Selain SKL untuk PT BDNI, Kemas menyatakan, hingga kini Kejagung telah menerima SKL untuk sejumlah bank, yakni PT Bank Baja Internasional, Bank Sewu Internasional, Bank Papan Sejahtera, Bank Istimarat, Bank Pelita, Bank Hokindo, Bank Danahutama, dan Bank Umum Nasional. Namun, dari kesembilan bank yang sudah mendapat SKL itu, baru BDNI yang SP3-nya diterbitkan, ujar Kemas. Ia menambahkan, untuk delapan bank lain, belum jelas apakah akan dikeluarkan SP3 atau diteruskan ke pengadilan.

Dasar hukum SP3 adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang menyebutkan, terhadap bank yang sudah mendapatkan SKL dari BPPN harus ada jaminan kepastian hukum, dalam perdata maupun pidana. Nah, untuk pidananya, penyidikan dihentikan. Jadi kejaksaan hanya melaksanakan Inpres No 8/2002, katanya.

Ambil alih KPK

Menanggapi SP3 terhadap Sjamsul Nursalim itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) lewat Wakil Koordinator ICW Luky Djani menilai langkah kejaksaan itu tidak rasional dan kontroversial.

SP3 itu harus dibatalkan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak mengambil alih kasus Sjamsul Nursalim dari kejaksaan. Mahkamah Agung (MA) juga diminta mengabulkan gugatan hak uji materi dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM), serta menyatakan bahwa Inpres No 8/2002 tidak sah.

Selain bertentangan dengan perundang-undangan, pemberian SP3 kepada pelanggar hukum akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum. Alasannya, Inpres No 8/2002 yang menjadi dasar kejaksaan mengeluarkan SP3 bertentangan dengan sejumlah aturan, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Menurut Luky, dalam Pasal 4 UU No 31/1999 jelas disebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pemidanaan pelakunya. Jadi, pengembalian utang Sjamsul Nursalim kepada negara tidak serta-merta menghapuskan proses atas korupsi yang dilakukannya, ujarnya.

Jika Jaksa Agung mempergunakan hak oportunitasnya untuk membebaskan debitor, termasuk memberikan SP3 dengan alasan kepentingan umum, kejaksaan salah menafsirkan pengertian kepentingan umum. Kepentingan seluruh rakyat Indonesia terhadap para koruptor, mereka harus ditindak tegas tanpa pandang bulu dan dihukum seberat-beratnya. Karena itu, dipertanyakan, kepentingan umum mana yang dipakai kejaksaan dalam memberikan SP3 untuk Sjamsul Nursalim, ujar Luky. (SON)

Sumber: Kompas, 23 Juli 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan