Presiden Jangan Kompromi Dengan Koruptor, Pertahankan PP 99/2012

Pernyataan Pers Bersama                                                                                                         

Ketika upaya pemberantasan korupsi - yang dilakukan KPK, Kejaksaan dan Kepolisian – gencar dilakukan dan muncul banyak penolakan terhadap eksistensi koruptor, ternyata masih saja ada pihak yang berusaha “mendukung” para koruptor yang telah mencuri uang dan mengkhianati rakyat tersebut.

Contoh terbaru adalah tindakan Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso, yang memfasilitasi 9 narapidana korupsi untuk mempersoalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 99 Tahun 2012 (PP 99/2012) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ketentuan dalam PP 99/ 2012 salah satunya mengatur persyaratan khusus atau pengetatan dalam pemberian remisi kepada terpidana kasus korupsi. Dengan adanya PP itu, remisi bagi terpidana korupsi yang biasa didapatkan di hari raya atau hari kemerdekaan hanya dapat diberikan dengan catatan yaitu bersedia menjadi justice collabolarator dan membayar uang pengganti.

Tidak hanya kepada koruptor, pengetatan remisi juga berlaku bagi narapidana kasus terorisme, narkoba, dan transnasional. Sebelum PP tersebut diberlakukan, remisi diberikan kepada semua narapidana dengan catatan berkelakuan baik. Karena praktek korupsi masih terjadi di lingkungan lembaga pemasyarakatan, maka saat itu muncul obral remisi untuk koruptor yang berdampak pada berkurangnya efek jera terhadap koruptor.

Lahirnya PP 99/2012 harus dinilai sebagai dukungan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi dan menjawab desakan publik agar ada upaya pemberian efek jera terhadap koruptor. PP ini dianggap sudah mewakili semangat pemberantasan korupsi yang selama ini digalakkan pemerintah. Selain itu pihak-pihak yang mempersoalkan keberadaan PP ini sama saja tidak menyetujui usaha-usaha negara mengembalikan kerugian negara yang dijarah oleh koruptor. Karena regulasi ini menjadi salah satu instrumen bagi koruptor untuk membayar uang pengganti hasil korupsi.

Kami dari Masyarakat Sipil mengecam langkah Priyo Budi Santoso, selaku Wakil Ketua DPR yang “memfasilitasi” keinginan para koruptor untuk menghapus PP 99/2012. Pertama, Tindakan Priyo telah memalukan dan merusak citra parlemen di mata rakyat. Kredibilitas parlemen yang merosot dimata publik -karena ulah politisinya yang tersandung kasus korupsi, pemborosan aggaran, dan tukang bolos- akan menjadi bertambah merosot dengan tindakan DPR yang memfasilitasi atau memperjuangan kepentingan koruptor. Tindakan Priyo juga dapat dinilai diskriminatif, kenapa yang diperjuangan hanya narapidana korupsi tidak semua narapidana kasus lainnya?

Kedua, Langkah Priyo juga kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Pada saat masyarakat, lembaga penegak hukum dan pemerintah berupaya melawan koruptor, justru tindakan Priyo dapat dinilai sebagai mendukung koruptor. Harusnya Priyo memfasilitasi kepentingan jutaan rakyat Indonesia agar koruptor dihukum seberat beratnya dan tidak mendapatkan perlakukan khusus atau istimewa selama di penjara. Bukan justru sebaliknya memfasilitasi segelintir kepentingan koruptor yang dibenci oleh seluruh rakyat Indonesia. Dukungan terhadap pencabutan terhadap PP 99/2012 yang dilakukan sejumlah politisi juga harus dimaknai rendahnya komitmen antikorupsi sebagian anggota dewan.

Ketiga, Perlu dipertanyakan apakah tindakan Priyo merupakan tindakan mewakili pribadi atau mewakili partai atau mewakili DPR atau mewakili koruptor? Pertanyaan ini layak diajukan karena: (1) beberapa waktu lalu Priyo mengunjungi LP Sukamiskin dan bertemu dengan beberapa napi koruptor —salah satunya mantan Menteri Dalam Negeri, Hari Sabarno, yang tersangkut kasus pengadaan alat pemadam kebakaran— Pasca kuncungan tersebut Priyo langsung mengirim surat ke SBY. (2) Sejumlah anggota dewan memberikan dukungan atas keberadaan PP 99/2012 dan menyatakan langkah Priyo tidak mewakili DPR secara institusi. 

Berdasarkan uraian diatas maka kami Koalisi Masyarakat Sipil mendesak:
1.  Presiden Republik Indonesia
a. Mengabaikan permintaan dari koruptor beserta pendukungnya soal pencabutan terhadap PP 99/2012. PP ini harus tetap dipertahankan tanpa adanya pengecualian, karena keberadaan regulasi ini merupakan bukti komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Pemerintah harus menegaskan sikap tidak kompromi terhadap koruptor. Pemerintah juga jangan mau kalah atau mengalah atau kompromi terhadap koruptor.

Masalah di LP Tajung Gusta jangan sampai ditunggangi koruptor seolah-olah koruptor tidak memperoleh remisi maka terjadi keributan-kekacauan  di LP.  Bisa terjadi masalah itu tersebut diakibatkan oleh faktor yang kompleks yang tentu harus ditelusuri secara lebih mendalam.

PP 99/2012 harus ditempatkan sebagai bagian upaya pemberantasan korupsi. Ditengah kekecewaan publik terhadap vonis rendah untuk koruptor. Akan semakin mengecewakan jika di LP masa hukuman koruptor juga dikurangi dalam bentuk pembebasan bersyarat dan remisi. Semangat PP 99/2012 yang memberikan apresiasi terhadap justice collaborator sejalan dengan sikap MA yang telah membuat Surat Edaran tentang Justice Collaborator.

b.  Mengajukan perlawanan balik atas langkah koruptor mengajukan judicial review PP 99/2012 ke Mahkamah Agung. Pemerintah harus memberikan argumentasi untuk memperkuat PP 99/2012  dan membantah dalil-dalil hukum yang diajukan oleh koruptor melalui kuasa hukumnya.

2. Pimpinan DPR/MPR RI 
Memberikan dukungan terhadap pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi termasuk didalamnya mempertahankan keberadaan PP 99/2012.

3. Badan Kehormatan DPR RI

Mengambil langkah pro aktif melakukan pemeriksaan terhadap Priyo Budi Santoso terkait dengan kemungkinan penyalahgunaan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau golongan.

4. Mahkamah Agung RI 
Menolak permohonan judicial review PP 99/2012 yang diajukan para koruptor sebagai bentuk dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. MA sebaiknya mengedepankan kepentingan pemberantasan korupsi dibandingkan para koruptor. Aspek keadilan subtansif yang harus dikedepankan.

Jakarta, 14 Juli 2013
Koalisi Masyarakat Sipil

Tommy Albert Tobing (Lembaga Bantuan Hukum Jakarta), Bahrain - Alvon Kurnia Palma (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Erwin Natosmal Oemar (Indonesian Legal Roundtable), Dadang Trisasongko (Transparency International Indonesia), Muji Kartika Rahayu (Konsorsium Reformasi Hukum Nasional), Emerson Yuntho – Tama S Langkun (Indonesia Corruption Watch)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan