Presiden Harus Dukung Pengetatan Remisi

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mengabulkan pencabutan pembebasan bersyarat terhadap 7 terpidana kasus korupsi dinilai menjadi preseden buruk dalam upaya pemberantasan korupsi. Presiden diminta segera mengambil langkah tegas, mengeluarkan aturan hukum yang lebih rinci untuk mengatur prosedur pemberian remisi, asimilasi dan pembebasan bersyarat.

Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) menilai ada sejumlah persoalan mendasar dalam pertimbangan hakim dari aspek substansi hukum, prosedur serta logika hukum yang melompat. Persoalan pertama, vonis majelis hakim dianggap tidak tepat, karena hakim tidak memahami objek sengketa. Hakim tidak mampu mengklasifikasikan perbedaan mendasar dari para penggugat, karena posisi ketujuh narapidana korupsi tersebut tidak sama. Selain itu, hakim tidak mempertimbangkan bahwa putusan ini tidak dapat diberlakukan kepada terpidana yang belum memenuhi masa pembebasan bersyarat.

Ada prosedur yang dilompati oleh penggugat. Seharusnya, sebelum mengajukan gugatan kepada PTUN, ada prosedur yang dapat dilakukan, yakni mengajukan keberatan kepada pejabat PTUN. Ketika upaya itu gagal, langkah selanjutnya adalah mengajukan banding administrasi kepada atasan pejabat PTUN, yakni Presiden. "Terjadi kesalahan prosedural. Ada prosedur yang dilompati," terang Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam konferensi pers di gedung YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta, Senin (12/3/2012).

Selain cacat prosedur, putusan PTUN ini juga dinilai memuat kesalahan mendasar, yakni mengabulkan gugatan yang menyatakan aturan pengetatan pemberian remisi untuk terpidana korupsi melanggar hak asasi manusia. Penggugat mendalilkan bahwa narapidana dilanggar haknya ketika negara memperketat aturan pengurangan hukuman, asimilasi dan pembebasan bersyarat.

Alvon menegaskan, dalil itu tidak dapat diterima. "Harus dibedakan antara hak asasi manusia dan hak narapirana. Hak asasi manusia adalah hak yang melekat sejak kita lahir, sementara hak narapidana diberikan oleh negara. Segala pembatasan hak berdasarkan undang-undang bukan merupakan pelanggaran HAM," tegas Alvon.

Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah mengatakan, hakim tidak mempertimbangkan agenda pemberantasan korupsi penting di balik kebijakan ini. Hakim tidak mencoba mencari kebenaran material sebelum mengabulkan gugatan ketujuh terpidana korupsi. Lebih lanjut, putusan ini juga dimanfaatkan oleh sejumlah politisi untuk melegitimasi bahwa aturan mengenai pengetatan remisi tidak lagi berlaku.

Febri mendesak Presiden bertanggung jawab di tengah kemelut ini. "Presiden jangan lari. Kita tagih tanggung jawab Presiden untuk pengetatan remisi, dengan mengeluarkan PP yang mengatur syarat-syarat lebih rinci dan lebih jelas tentang aturan pengetatan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat. Diharapkan PP punya efek jangka panjang," papar Febri. Farodlilah

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan