Presiden dan Bisnis Militer

Dalam usianya yang ke-60 tahun ini, ada pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan Presiden dalam kaitannya dengan pengambilalihan aktivitas bisnis militer, yaitu penerbitan tentang pengaturan pengambilalihan tersebut melalui peraturan presiden (perpres). Hal ini mendesak untuk dilakukan mengingat selain merupakan amanat undang- undang, juga dari batas waktu yang ditentukan sejak diundangkannya, 16 Oktober 2004, hingga hari ini belum mendapatkan kemajuan yang signifikan. Hasil inventarisasi bisnis militer yang dilakukan Mabes TNI dan Dephan misalnya, terpaksa mundur dari jadwal yang seharusnya, tanggal 27 September 2005. Selain itu mulai terjadi penjualan aset maupun saham yang dimiliki oleh TNI kepada perusahaan-perusahaan.

Persoalan bisnis militer merupakan bagian dari persoalan pengelolaan militer yang pelik di Indonesia. Diktum bahwa bisnis militer dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip penegakan profesionalisme TNI, umumnya telah diterima sebagai kesimpulan umum. Namun, keberadaan bisnis militer sering dikaitkan dengan minimnya anggaran pertahanan yang dimiliki oleh TNI apalagi dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang dengan keterbatasan anggaran pertahanan. Banyak kegiatan bisnis yang dilakukan oleh anggota TNI, mulai prajurit yang diperbantukan untuk menjadi tenaga keamanan di perusahaan-perusahaan swasta, baik perorangan maupun regu, hingga ke bisnis yang mempunyai nilai keuntungan beratus-ratus juta rupiah, seperti bisnis yang melibatkan yayasan tentara dalam sebuah perusahaan besar.

Selain itu, wacana bisnis militer selama ini kurang memadai untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, tentang definisi/konsep. Definisi yang sering digunakan kalangan militer selama ini adalah bisnis yang dikelola oleh yayasan dan koperasi yang berada dalam lingkungan kerja TNI saja. Walaupun dari kalangan LSM maupun akademisi sepakat untuk memperluas definisi tersebut dengan memasukkan bisnis ilegal di dalamnya, yang diduga justru mempunyai nilai nominal rupiah yang jauh lebih besar dari bisnis yang resmi selama ini.

Dalam konteks pasal 76 UU No 34/2004 yang dimaksud dengan bisnis militer adalah dalam kerangka bisnis militer yang legal. Namun, dengan hanya meletakkan dua kategori tersebut, yaitu yayasan dan koperasi, akan mengabaikan praktik-praktik bisnis militer lainnya, seperti penyertaan saham di perusahaan-perusahaan maupun komersialisasi aset dan jasa pengamanan. Salah satunya saham TNI di Bank Artha Graha dengan nilai Rp151 miliar. Untuk itulah kejelasan konsep diperlukan di sini. Apalagi pasal 76 UU No 34/2004 hanya memberikan kejelasan tentang waktu yang lima tahun tersebut dan keharusan melakukan pengambilalihan bisnis militer.

Kedua, alasan klasik yang diberikan tentang keterlibatan militer dalam bisnis lebih sebagai respons atas keterbatasan anggaran untuk membiayai kegiatan militer itu sendiri. Hal ini senada dengan pernyataan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto yang pernah mengungkapkan anggaran dari pemerintah sangat tidak mencukupi belanja TNI. Bahkan, sejumlah kalangan menyebut anggaran itu hanya menutup 30% kebutuhan anggaran militer. Maka, Panglima TNI melegitimasi bisnis militer sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari.

Namun, dalam kenyataannya bisnis militer yang ada selama ini justru menimbulkan kontra di berbagai kalangan sipil akibat banyaknya pelanggaran dan penyimpangan di lapangan ketimbang mendukung keberlangsungan bisnis di kalangan militer tersebut. Pertanyaannya adalah mengapa bisnis militer ini menjadi penting untuk dipersoalkan?

Ada beberapa faktor yang menyebabkan militer dilarang untuk terlibat dalam bisnis tersebut, faktor pertama karena akan timbul konflik kepentingan di dalamnya, antara penyelenggara negara dan pelaku bisnis nantinya, apalagi core competence dari TNI itu bukan bisnis.

Faktor kedua, karena TNI berkepentingan secara langsung terhadap bisnis tersebut, akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan wewenang. Implikasi yang lebih jauh tentang hal tersebut, pada akhirnya bisnis yang dipegang oleh militer hanya akan berproses untuk memperkuat diri sendiri dan jika hal tersebut akhirnya akan menghilangkan prinsip-prinsip demokrasi.

Faktor ketiga, pelarangan bagi militer untuk berbisnis merupakan hal yang penting karena hal itu merupakan penyimpangan dari karakter tentara sebagai tentara profesional. Salah satu deviasinya adalah karakter tentara niaga yang memungkinkan ada sebagian kecil dari tentara yang tergoda melakukan bisnis tersebut dan memanfaatkan fasilitas negara yang dimiliki, memanfaatkan jabatan, memanfaatkan jaringan untuk keuntungan ekonomi pribadi.

Sesungguhnya kekhawatiran tersebut telah diakomodasi dalam UU No 34/2004 yang secara eksplisit dikemukakan bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya undang-undang ini, pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dikelola oleh TNI. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun dalam perjalanannya semua proses tersebut masih sebatas wacana. Paling tidak dengan melihat setahun perjalanannya yang hingga hari ini tidak kunjung diterbitkannya perpres. Kalaupun ada masih berkutat pada persoalan inventarisasi bisnis militer. Yang pertanyaannya kemudian adalah akan diperlakukan seperti apakah hasil inventarisasi tersebut?

Mengapa perpres tentang inventarisasi bisnis militer itu penting?

Pertama, dari pertimbangan apa pun, baik dari sudut pertimbangan politik dan pemerintahan, anggaran negara, budaya, kepentingan pertahanan maupun hukum keberadaannya tidak bisa ditoleransi lagi. Melalui perpres pengambilalihan bisnis militer, TNI akan sesegera mungkin hanya akan berkonsentrasi dan menjalankan tugas dan perannya sebagai alat negara di bidang pertahanan yang profesional.

Kedua, lima tahun yang diamanatkan dalam Pasal 76 UU No 34/2004 bukanlah waktu yang panjang dalam menginventarisasi, merancang model kelembagaan dan perangkat hukum bisnis militer ini. Harus ada kejelasan dan ketatnya time frame yang digunakan untuk menyelesaikan hal ini. Alokasi waktu menjadi penting untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti tindakan yang dapat mengubah status kepemilikan maupun nilai aset bisnis militer. Karenanya perpres diperlukan untuk mengatur persoalan-persoalan yang timbul sejak selesainya hasil inventarisasi yang dilakukan Dephan dan Mabes TNI tersebut.

Ketiga, mendorong ketegasan pemerintah sebagai pemegang otoritas yang otonom dalam menjalankan fungsinya sebagai 'kontrol sipil atas militer' dalam mengelola anggaran pertahanan melalui pengambilalihan aktivitas bisnis militer yang dianggap ideal.

Pertimbangan di atas harus diimplementasikan ke dalam penerbitan perpres sesegera mungkin. Mungkin langkah awal yang perlu dilakukan oleh Presiden dalam HUT ke-60 TNI ini, salah satunya memberikan pernyataan politik yang tegas dan kemauan politik yang kuat atas pengambilalihan aktivitas bisnis militer melalui pidatonya. Pernyataan politik semacam ini penting untuk dilakukan karena akan berpengaruh terhadap implementasi di lapangan. Setidaknya di sana akan terbaca keseriusan pemerintah dan negara dalam proses pengambilalihan ini dan menjadikan TNI yang profesional, seperti yang diamanatkan oleh undang-undang. Dirgahayu TNI!

Jaleswari Pramodhawardani, peneliti LIPI dan Dewan Penasihat The Indonesian Institute

Tulisan ini disalin dari Media Indonesia, 5 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan