Presiden Akui Sulit Berantas Korupsi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui tidak mudah memberantas korupsi dalam waktu singkat. Ia beralasan, korupsi di Indonesia merupakan perilaku yang sudah tumbuh subur di masyarakat sejak dulu.
Saat membuka Muktamar X Jam'iyyah Ahlith Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah di Pekalongan kemarin, Presiden mengaku sudah melangkah menindak mereka yang terlibat dalam kejahatan korupsi. Namun, hasilnya masih jauh dari memuaskan dan jalan yang kita lalui masih panjang, katanya.
Yudhoyono berpendapat, faktor utama penyebab suburnya korupsi di Indonesia adalah semakin tipisnya niat dan itikad baik dalam menjalankan setiap amanah yang diberikan. Inilah faktor utama yang mendorong perilaku korup di tengah-tengah masyarakat kita, ujarnya.
Untuk itu, Presiden meminta masyarakat, terutama para ulama dan sesepuh Thariqah al-Mu'tabarah, agar tidak menyerah dan melemah dalam memberantas korupsi. Presiden juga mengajak para ulama dan sesepuh berperan aktif mengajak umat meninggalkan praktek korupsi dan kejahatan lainnya.
Dimintai komentar atas pernyataan Presiden, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas menyatakan menyambut baik. Ia menilai, ketidakpuasan Presiden itu menunjukkan komitmennya terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi. Sebab, kata dia, upaya-upaya pemberantasan korupsi membutuhkan konsistensi, komitmen, dan keberanian dari Kepala Negara. Presiden harus menjadi ujung tombak, katanya.
Ia mengakui banyaknya kendala dalam upaya pemberantasan korupsi, seperti kurangnya sumber daya manusia berkualitas. Komisi Pemberantasan Korupsi, menurut dia, secara internal sedang menguatkan kelembagaan. Namun, yang terpenting menurut dia adalah terus bekerja untuk menumpas budaya korupsi.
Erry membantah apabila pernyataan itu dikaitkan sebagai tamparan atas kinerja KPK selama ini. Menurut dia, pernyataan itu tidak menunjuk lembaga secara spesifik dan lagi pula upaya pemberantasan korupsi itu memang membutuhkan waktu yang panjang.
Ketua Komisi Hukum DPR Agustin Teras Narang secara terpisah meminta Presiden memaksimalkan kewenangan kerja kejaksaan dan kepolisian guna mendorong upaya pemberantasan korupsi. Ia juga meminta agar fungsi penyelidikan dan penyidikan kasus-kasus korupsi dikembalikan ke polisi agar bisa dilakukan pengawasan. Pekerjaannya jadi bertangga karena hasil kerja polisi diserahkan ke kejaksaan juga, kata Teras memberikan alasan.
Teras menilai, kelemahan program pemberantasan korupsi pemerintah terletak pada ujung tombaknya, yakni kejaksaan. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, menurut dia, belum punya konsep kerja yang menjanjikan. Menurut Teras, pengakuan itu justru menunjukkan ketidakberdayaan Presiden. Apalagi, di awal kerjanya, Presiden menyatakan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi.
Adapun juru bicara Kejaksaan Agung R.J. Soehandoyo mengaku menyambut baik pernyataan Presiden. Sebab, kata dia, pernyataan itu dapat memecut kerja kejaksaan agar lebih serius dan lebih tegas dalam pemberantasan korupsi. Namun, dia membantah jika hal itu diartikan sebagai tidak seriusnya kejaksaan selama ini.
Ketika dimintai tanggapan atas usul Teras agar fungsi penyelidikan dan penyidikan dikembalikan kepada polisi, Soehandoyo justru meminta anggota Dewan mempelajari sistem hukum di Hong Kong, Belanda, dan Korea. Di ketiga negara itu, kata dia, kontrol mengenai fungsi tugas jaksa tetap terjaga meskipun menangani perkara dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. sunariah/edy can/istiqomatul hayati
Sumber: Koran Tempo, 28 Maret 2005