Preseden Vonis Percobaan Kasus Korupsi

Sangatlah wajar jika dibayangkan, keputusan hakim tentang kasus-kasus korupsi memuat tujuan untuk memberi terapi bagi para calon pelaku.

Caranya, dengan menjatuhkan hukuman berat agar kejahatan yang sering digambarkan berkategori luar biasa itu tidak diulangi oleh mereka yang punya kesempatan untuk melakukannya. Terapi seperti itu dimaksudkan untuk menimbulkan efek takut, traumatika, dan merupakan bagian dari upaya pencegahan (preventif), ketimbang tindakan-tindakan yang bersifat represif. Jadi hakikatnya, vonis berat merupakan bentuk pendidikan kepada masyarakat agar menjauhi korupsi. Kata pendidikan tentulah mengandung makna preventif untuk menumbuhkan kesadaran atau pencerahan tertentu.

- Pokok pikiran tersebut didasarkan pada perspektif penegakan hukum perkara korupsi secara lebih bertenaga, sebagai ungkapan komitmen khusus pemerintahan sekarang. Tanpa upaya-upaya luar biasa, rasanya yang akan terus terjadi hanyalah penegakan hukum yang bersifat reguler, yang terbukti belum mampu memberi daya dobrak kuat. Bukti komitmen dengan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) jelas membutuhkan dukungan dari elemen-elemen penegak hukum yang lain. Dalam hal ini, wujud keseriusan tidaklah cukup hanya dengan memperkuat kelembagaan, tetapi bagaimana institusionalisasi itu memberi daya pukul dengan pemancaran efek jera.

- Apa yang terbaca dari kemauan Komisi Yudisial (KY) untuk memanggil hakim yang menangani perkara korupsi mantan ketua DPRD Jawa Tengah Mardijo dkk, dan mantan ketua DPRD Kota Semarang Ismoyo Soebroto cs, patut didorong dari sisi penguatan kelembagaan penegakan hukum tindak pidana luar biasa ini. Kita menangkap terdapat kontroversi di balik hukuman percobaan yang dijatuhkan dalam dua perkara korupsi tersebut. Walaupun rasa keadilan sebenarnya merupakan sesuatu yang relatif, tetapi KY memandang vonis percobaan bukan merupakan keputusan yang tepat untuk kasus korupsi. Dalam porsi seperti inilah KY memosisikan diri sebagai bagian dari elemen pendukung penegakan hukum kejahatan korupsi.

- Dengan keberadaan KY, sebenarnya aparat hukum di tingkat pengadilan harus merasa tidak mungkin bermain-main dalam memeriksa dan menjatuhkan hukuman. Eksistensi komisi inilah yang seharusnya dimaksimalkan untuk ikut mendorong perang melawan korupsi. Juga dalam sifat yang preventif, karena idealnya keputusan-keputusan hakim yang dianggap ''aneh'' akan segera di-cover dalam penelitian KY. Rangkaian pengawasan semacam ini mestinya bisa diberdayakan untuk ikut memberi jaminan bersihnya aparat hukum yang menangani. Kalau targetnya adalah keterciptaan efek jera dan memberi ancaman bagi para calon pelaku, KY pun dapat memberi kontribusi dalam melakukan upaya-upaya pencegahan.

- Bagaimanapun, kita harus merasa berada di tengah atmosfer ''darurat''. Fakta hampir seluruh daerah provinsi maupun kota/ kabupaten menggelar peradilan perkara korupsi APBD, belum lagi berbagai kasus di tingkat pusat, menunjukkan sulur-sulur tindak pidana ini sudah sedemikian kuat mewabah dan mencengkeram. Tanpa dobrakan luar biasa, semua akan kembali ke sifat peradilan reguler yang seolah-olah tidak memiliki daya pukul yang memberi terapi. Contoh putusan hakim yang hanya menghukum percobaan itu, dapatkah disebut mendidik? Tidakkah para pemegang palu keadilan menyadari seharusnya menjadi bagian dari peperangan, menuju cita-cita kehidupan kenegaraan dengan pemerintahan yang bersih?

- Langkah KY untuk memanggil hakim kasus Mardijo dan Ismoyo kita pandang sebagai ujian serius yang berperspektif pencegahan agar tidak muncul preseden. Apakah nantinya ditemukan atau tidak adanya keanehan, hal itu merupakan tanggung jawab KY. Kita hanya melihatnya dari sisi coverage kelembagaan agar semua potensi peradilan bergerak menuju target menutup jalan bagi kemungkinan munculnya celah yang memperlemah upaya-upaya pemberantasan korupsi. Jangan sampai komitmen yang sudah sedemikian rupa diteriakkan pada awal pemerintahan sekarang ini justru digembosi oleh jeratan kepentingan-kepentingan tak bertanggung jawab. Vonis percobaan janganlah menjadi preseden yang memberi celah.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Suara Merdeka, 20 Januari 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan