Praptono Akui Ustraindo Tidak Punya Kemampuan

Direktur Utama PT Ustraindo Petro Gas, Praptono Honggopati Tjitrohupojo, mengakui bahwa perusahaannya tidak memiliki kapabilitas dalam bidang minyak dan gas. Keputusan memasuki industri ini setelah mendapatkan petunjuk dari Presiden Soeharto. Pria asal Solo, Jawa Tengah, ini mengaku punya hubungan kekerabatan dengan keluarga Cendana.

Sejak kecil, kami ataupun Bapak dan Ibu Soeharto sudah saling mengenal, katanya di Jakarta beberapa waktu lalu. Perkenalan ini karena orang tua mereka sama-sama menjadi abdi dalem di Keraton Mangkunegaran Surakarta.

Menurut Praptono, setelah mendapat restu Soeharto, dirinya menyiapkan tim profesional yang diambil dari Caltex, Stanvac, dan Pertamina. Dia pun giat melobi sejumlah mitra usaha di Amerika untuk mendapatkan dana US$ 5 miliar sebagai biaya investasi dan teknologi migas.

Adanya disposisi Soeharto ini, diakui Ginandjar Kartasasmita, Menteri Pertambangan dan Energi waktu itu. Beliau (Presiden Soeharto) mengatakan bahwa ada seorang pengusaha nasional yang bermaksud membantu Pertamina meningkatkan produksi minyak, kata Ginandjar.

Disposisi itu ditujukan kepada Direktur Utama Pertamina Faisal Abda'oe. Isinya agar Pertamina memberi kesempatan kepada perusahaan yang 49 persen sahamnya dimiliki Bambang Trihatmodjo, putra Soeharto. Pertamina pun tak kuasa menolak tawaran kerja sama itu.

Menurut Ginandjar, Soeharto juga memerintahkan penempatan dana US$ 5 miliar dari PT Ustraindo sebagai jaminan dalam kontrak kerja sama yang berasal dari pinjaman luar negeri dihilangkan. Perintah lisan Soeharto kepada Ginandjar ini akhirnya membuat Pertamina dan Ustraindo kembali memperbarui isi kontrak yang telah ditandatangani sebelumnya. Pembatalan tentunya mengharuskan MoU yang sudah ditandatangani sebelumnya diubah, katanya.

Negosiasi nota kesepahaman yang baru ini, kata Ginandjar, tersendat-sendat. PT Ustraindo ingin mengelola semua lapangan minyak di Sumatera bagian selatan. Namun, Pertamina keberatan karena sudah ada kerja sama dengan perusahaan lain atau sedang dioperasikan Pertamina sendiri.

Perdebatan panjang itu pun juga akhirnya diselesaikan dengan keputusan Soeharto yang ditulis di atas peta lapangan minyak di wilayah Sumatera bagian selatan pada 9 September 1992. Isinya memerintahkan Pertamina menyerahkan semua lapangan minyak di Sumatera bagian selatan kepada Ustraindo, kecuali yang sudah ada kerja sama dengan perusahaan lain. EDY CAN

Sumber: Koran Tempo, 12 Juli 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan