Praperadilan Mengancam Pemberantasan Korupsi

Dahsyatnya praperadilan sesungguhnya bukan hanya terjadi pasca putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) Sarpin Rizaldi yang mengabulkan permohonan praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG) dengan metode metode rechtsvinding (penemuan hukum). Sebelumnya penerobosan hukum Pasal 77 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) ini mulai dilakukan oleh hakim PN Jaksel Suko Waluyo yang mengabulkan praperadilan Bachtiar Abdul Fatah pada 2 Desember 2012. Bachtiar menggugat penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun, putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) karena dianggap menabrak ketentuan Pasal 77 KUHAP dan hakim Suko Waluyo didemonasi ke Maluku.

Sedangkan pada kasus yang sama, penolakan penetapan tersangka di praperadilan dilakukan oleh hakim di PN Purwokerto Kristanto Sahat Hamonangan Sianipar pada 10 Maret 2015. Hakim Kristanto menolak permohonan praperadilan pedagang sapi asal Berkoh, Mukti Ali tersangka atas kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial pengembangan sapi betina Kementerian Pertanian di Desa Sumbang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Dalam hal ini hakim Kristanto menyatakan tetap berpegangan pada ketentuan Pasal 77 KUHAP, yang tidak memasukan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Hal ini menunjukan,  perbedaan penafsiran antara hakim Sarpin dan hakim Kristanto dalam putusan praperadilan dengan permasalahan substansi yang sama.

Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga hukum dengan pemutus perkara tertinggi terlihat bungkam. Sampai saat ini MA belum mengeluarkan Surat Edaran (SE) atau pemberitahuan kebijakan Pasal 77 KUHAP terkait apakah praperadilan berhak mengadili dan memeriksa penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Sebelumnya, juru bicara MA Suhadi mengatakan, pengadilan di Indonesia tidak menganut sistem preseden. Artinya putusan terdahulu tidak harus diikuti oleh putusan yang kemudian, karena pegangan dan melaksanakan perintah UU.

UU KUHAP 1981, Semangat Baru Praperadilan

Kala itu, perbedaan penafsiran dalam praperadilan juga pernah terjadi pada tahun 1982 pasca disahkanya KUHAP pertama kalinya. Sidang praperadilan pertama terjadi di PN Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada Kamis 28 Januari 1982, Hakim PN Mataram memeriksa permohonan pemeriksaan praperadilan yang diajukan oleh Loq Sapiah dan Haji Nasrudin, keduanya menganggap penangkapan mereka oleh Polres Lombok Barat saat itu tidaklah sah, karena tidak disertai dengan surat perintah penangkapan.

Namun, permohonan praperadilan mereka ditolak oleh hakim praperadilan PN Mataram, Ida Bagus Put Giri yang menganggap dua orang tersebut tidak mengalami penangkapan dan kebebasan mereka tidak dikekang.

Masih di tahun yang sama, penerobosan Pasal 77 KUHAP dilakukan oleh hakim PN Banjarmasin, D. Tumonggor  dengan pemohon dua warga Banjarmasin Liem Siang Ceng dan Oslan Tan Sie. Permohonan mereka di terima oleh hakim PN Banjarmasin, D Tumanggor. Dalam kasus ini, hakim memerintahkan kepada penyidik Komando Daerah Kepolisian XIII/ Kalimantan Selatan untuk segera membebaskan tahanan, karena penyidik dianggap melakukan penahanan semena-mena dalam kasus dugaan tindak pidana penggelapan dan penipuan. Pada kasus ini Ketua PN Banjarmasin Soenarto mengatakan, dikabulkanya permohonan praperadilan yang menjadi kasus pertama di Indonesia memberi bukti bahwa masih ada jalan penyelesaian secara manusiawi dalam sistem hukum di Indonesia. Sedangkan dilema praperadilan menurut seorang advokat Tatang Suganda bahwa praperadilan sebagai nafas manusiawi dari KUHAP. Dengan tujuan, semangat praperadilan untuk meniupkan nilai kemanusiaan dalam sisi hukum yang keras dan penuh paksaan, asalkan tidak disalahgunakan.

Di bawah ini adalah beberapa pengajuan praperadilan terkait kasus korupsi yang diproses oleh KPK dan kejaksaan pasca praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG):  

No

Terpidana Korupsi

Instansi Yang Menangani

Keterangan

1.

Suryadharm Ali

KPK

Mantan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK terkait dengan dugaan kasus korupsi penyelenggaraan haji di Kemenang tahun 2012-2013.

Pada 23 Februari 2015, kuasa hukum SDA melayangkan permohonan praperadilan ke PN Jaksel untuk menuntut ganti rugi sebesar Rp 1 triliun kepada KPK.

2.

Sutan Bhatoegana

KPK

Mantan Ketua Komisi VII DPR RI Sutan Bhatoegana, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN) di Kementerian ESDM 2013. Penetapan  Sutan merupakan hasil pengembangan kasus suap SKK Migas yang menjerat mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. 26 Februari 2015, Sutan menggugat KPK atas penetapannya sebagai tersangka ke PN Jaksel.

3.

Suroso Atmo Martoyo

KPK

Mantan Dirut Pengolahan Pertamina Suroso Atmo Martoyo ditahan KPK pada 24 April 2014 bersama Dirut PT Soegih Interjaya Willy Sebastian Liem karena terkait kasus suap terhadap staf dan pejabat Pertamina dalam pembelian etra ethyl lead (TEL) dari perusahaan asal Inggris Innospec 2004-2005. Pihak Suroso melayangkan praperadilan dengan dalil penetapan tersangka oleh KPK tidak sah dan layak dibatalkan demi hukum.

4.

Arief Sirajuddin

KPK

Mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin ditetapkan menjadi

tersangka kasus korupsi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar 2006-2012 pada 7 Mei 2014, dengan kerugian negara sebesar Rp 38, 1 miliar. Ilham mengajukan praperadilan terkait status tersangkanya.

5.

Siti Tarwiyah

KPK

Gugatan praperdilan uang dilayangkan oleh seorang saksi di kasus TPPU Fuad Amin yaitu Siti Tarwiyah. Dirinya menggugat penyidik KPK terkait materi pemeriksaan.

6.

Udar Pristono

Kejagung

Mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono ditetapkan menjadi tersangka korupsi dalam dugaan pengadaan bus transjakarta yang dilaporkan oleh Enam pihak antara lain Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Direktur Utama PT Transjakarta, Direktur Utama PT Industri Kereta Api (Inka), Direktur Utama PT Sapta Guna Daya Prima, dan Gubernur DKI Jakarta.

Udar melayangkan gugatan ke Praperdilan ke PN Jakpus terkait permohonan gugatan berupa pengembalian sita barang bukti senilai RP 1, 07 triliun.

MA Harus Bersikap Tegas

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting mengatakan, MA harus memberikan penjelasan apakah penetapan tersangka itu menjadi obyek praperadilan atau tidak. Karena dalam perkembangan putusan praperadilan, hakim praperadilan lainya tidak mengikuti hakim Sarpin. Sehingga terdapat standar berbeda (putusan) dalam materi yang sama yaitu penetapan tersangka.

Dalam hal ini, MA dapat mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) atau putusan terhadap Peninjauan Kembali (PK) yang sebelumnya telah diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Putusan terhadap pengajuan PK dari KPK ini penting, karena di sini kemudian MA dapat meluruskan melalui putusan yang dikeluarkan tersebut.

"Penerbitan SEMA ini penting sebagai kebijakan internal MA agar para hakim 'satu suara' dalam memberikan keputusan praperadilan dan menjawab pertanyaan publik terkait wewenang praperadilan dalam penetapan tersangka," kata Miko saat dihubungi antikorupsi.org

MA sebagai lembaga otoritas hukum tertinggi, memiliki peran dalam menjaga dan menjawab permasalahan hukum di Indonesia. Seyogyanya, MA mengeluarkan kebijakan yang definitif, karena kasus ini bukan hanya terkait pada kasus BG. Namun efek dari kewenangan praperadilan yang dipersempit dari keputusan hakim Sarpin.

Pada kasus ini, Miko berpendapat penafsiran keputusan praperadilan  adalah wilayah hakim. Namun, penafsiran tersebut harus mampu dipertanggungjawabkan. Sedangkan hakim Sarpin terlihat tidak konsisten.

"Dia (hakim Sarpin) di satu sisi terlihat progresif dengan menerobos hukum acara pidana tersebut, di sisi lain dia menyempitkan pengertian aparatur negara dan penegak hukum," papar Miko.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi W Eddyono mengatakan, terkait ketegasan MA selain SEMA juga dapat dilakukan dengan menerbitkan Peraturan MA (Perma) terkait hukum acara praperadilan, yang menjelaskan model pembuktian seperti apa yang harus ditampilkan dalam praperadilan. Sedangkan saat ini peraturan hukum di Indonesia masih bercampur antara pidana dan perdata yang lebih dominan dalam sistem pembuktian.

"MA harus didorong membuat hukum acara terkait praperadilan, ini penting. Jika  tidak jelas semua hakim akan meminta KPK mengeluarkan semua alat bukti," ujarnya.

Selama ini dalam sidang praperadilan hakim tidak melihat kembali materi perkara, melainkan hanya terkait administratif yaitu surat penahan dan surat penyitaan. Namun, dalam kasus BG hakim Sarpin tidak hanya mengecek terkait administratif melainkan juga materi perkara. Karena itu, jika materi perkara mau ditampilkan terus menerus, KPK bisa menampilkan dua alat bukti yang cukup dalam berkas penuntutan tanpa harus membeberkan semuanya.

"Perma ini juga memastikan agar hakim praperadilan tidak ekstensif seperti kasus BG. Karena selama ini sidang praperadilan tidak masuk materi pokok tetapi penetapan tersangka," kata dia.

Hujan Praperadilan Tidak Pengaruhi Penyidikan KPK

Miko melanjutkan, KPK tidak perlu merisaukan permohonan praperadilan dari para tersangka. Dalam hal ini, KPK hanya membutuhkan tenaga ekstra untuk melayani tumpukan dokumen praperadilan. Namun disamping itu, KPK tetap bisa melakukan penyidikan-penyidikan kasus yang ditangani,  "KPK hanya akan kehabisan tenaga, waktu, dan SDM yang terbatas utuk melayani banyak dokumen praperadilan," ujarnya.

Kedepan ditegaskan, dalam penetapan pidana korupsi, KPK tidak harus bersifat normatif dengan berpaku pada Pasal 77 KUHAP dan cenderung membatasi diri. KPK dapat dapat lebih progresif dalam menunjukan bukti permulaan di persidangan. Karena penafsiran hakim dalam penetapan tersangka dapat terjadi kembali pada kasus yang sama.

Sementara itu, terkait posisi KPK, Supriyadi menegaskan bahwa tidak diperlukan peraturan khusus untuk memperkuat posisi KPK dalam praperadilan, tetapi KPK bisa menyiapkan standard oprating procedure (SOP) dalam menghadapi gugatan praperadilan. Karena dalam konteks praperadilan tidak hanya berkaitan dengan kasus korupsi saja.

Sedangkan Perma sangat dibutuhkan guna menjadi batasan tentang penafsiran subyek KPK yaitu penyelenggara negara dan aparat penegak hukum. Pada keputusan hakim Sarpin dalam kasus BG ada yang harus digarisbawahi yaitu tentang penetapan tersangka dan subyek KPK. Seharusnya praperadilan hanya diperbolehkan melakukan pengujian tersangka tetapi bukan untuk subyek KPK. Jika dalam persidangan, keputusan hakim ‘tidak seindah harapan’ yaitu penetapan tersangka tidaklah layak, maka KPK tetap dapat terus melakukan penyidikan kasus tersebut. Namun celakanya pada kasus BG, hakim Sarpin menafsirkan bahwa BG bukanlah seorang penyelenggara negara dan aparat penegak hukum, sehingga bukanlah menjadi subyek KPK. Akibatnya terjadi penafsiran yang terlalu luas dan mengakibatkan KPK tidak dapat melakukan penyidikan kembali terhadap BG.

"Kalau tidak diperbaiki keputusan praperadilan PN Jaksel (hakim Sarpin) kedepan para hakim praperadilan akan menggunakan keputusan yang sama. Hal ini sama saja mengamputasi peran KPK dalam memberantas korupsi,” tegas Supriyadi.

Sementara itu, staf divisi hukum dan monitoring peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter mengatakan, sangat nyata terlihat bahwa para tersangka korupsi yang diajukan KPK kemudian ramai-ramai mengajukan praperadilan. Hal ini merupakan imbas dari dari putusan hakim Sarpin yang mengabulkan permohonan praperadilan BG.

Namun, jika diperhatikan beberapa hakim praperadilan di daerah tidak mengikuti keputusan yang dilakukan hakim Sarpin. Ini menandakan bahwa putusan hakim Sarpin sebuah kekeliruan.

"Efeknya KPK harus berhadapan dengan praperadilan yang tidak seharusnya dihadapi. Ini membuang waktu saja," tegas Lola.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur secara limitatif obyek-obyek praperdilan. Di dalam KUHAP hanya diatur penghentian penyidikan, penghentian penyelidikan, penghentian penyitaan, dan penghentian penuntutan. Lain dari itu seperti penetapan tersangka tidak dapat dipraperadilankan.

"Seharusnya dari awal pengadilan praperdilan (hakim) menolak penetapan tersangka. Jadi tidak berlama-lama seperti kasus BG," ujarnya.

Sesungguhnya sangat disayangkan keputusan Hakim Sarpin yang mengabulkan permohonan BG. Dosen Hukum Pidana Universitas Andalas Padang, Shinta Agustina mengatakan gugatan praperadilan yang diajukan BG seharusnya tidak diterima oleh pengadilan. Hal ini disebabkan lembaga praperadilan tidak memiliki kewenangan dalam mengadili materi yang digugat oleh pemohon (Budi Gunawan). Menurut dia, pemohon yang mendalilkan cacat hukum penetapan tersangka disebabkan BG tidak pernah di panggil dan diperiksa dalam kasus tersebut baik pada tahap penyelidikan dan penyidikan tidaklah tepat.

“Logika ini tidak tepat, pasalnya KUHAP tidak mewajibkan seseorang saksi atau calon tersangka harus diperiksa dahulu sebelum ditetapkan menjadi tersangka. Yang jelas, KUHAP menyatakan bahwa dapat ditetapkan sebagai tersangka jika dipenuhi bukti permulaan yang cukup/ dua alat bukti yang memadai,” paparnya.

Maka, keterangan saksi tidak relevan. Karenanya, jika penyidik merasa yakin dan cukup dengan alat bukti yang dimiliki dapat segera menetapkan seseorang sebagai tersangka. Bahkan alat bukti yang berupa keterangan tersangka berada dalam urutan terakhir dalam alat bukti. Sehingga tidak diperlukan lagi keterangan tersangka dalam penetapan tersangka.

“Kalau saya menjadi hakim praperadilan, saya tidak akan menerima gugatan tersebut karena bukan kewenangan saya,” tegasnya.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. Eddy OS Hiariej mengatakan, dilihat dari sifat formalistiknya hukum acara pidana, maka seyogyanya gugatan tersebut seharusnya ditolak. Karenanya, hal tersebut bukan kompetensi praperadilan terkait penetapan tersangka.  “Artinya apa yang diatur dalam hukum acara pidana tidak boleh diinterpretasikan lain dari yang ditulis, sehingga penetapan tersangka jelas bukanlah objek praperadilan,” ucapanya.

Menurutnya, jika menggunakan interpretasi futuristik dan due process of law (upaya proses hukum sesuai ketentuan) penetapan tersangka tidaklah sembarangan karenanya harus diverifikasi dengan alat bukti yang ada. Selama KPK bisa membuktikan alat bukti tidaklah menjadi masalah.

Namun, faktanya memang lembaga praperadilan sering mengabulkan apa yang bukan objek praperadilan. Dengan diterimanya kasus gugatan BG di lembaga praperadilan, sidang yang sudah masuk dalam pembuktian menjadi indikasi diterimanya gugatan.

“Jika mau menolak, harusnya praperadilan dari awal sudah tidak menerima gugatan di saat kuasa hukum menyampaikan gugatan dan KPK memberikan jawaban atas gugatan tersebut. Logikanya, buat apa hakim menghabiskan waktu memeriksa pembuktian jika bukan kompetensinya dan harus menolak gugatan,” tanyanya.

KPK Tambah Personil Jaksa Penuntut

Sebelumnya, pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK, Johan Budi SP mengungkapkan, dalam menghadapi gelombang praperadilan, KPK telah melakukan antisipasi. Secara resmi KPK telah mengirimkan surat ke MA untuk menerbitkan SEMA. Karena dijelaskan bahwa penetapan tersangka bukanlah obyek praperadilan.

Karenanya, keputusan MA sangatlah penting karena penetapan obyek praperadilan seperti yang dilakukan hakim Sarpin bukan hanya berpengaruh pada KPK, melainkan juga Kejaksaan.

"Ini sudah dilakukan, tetapi saat pertemuan lalu sepertinya MA tidak akan mengeluarkan SEMA tersebut. Sebagai proses hukum tentu KPK harus menghormati," tegasnya.

Johan menegaskan, untuk menambah kekuataan internal KPK, telah dilakukan penambahan jaksa penuntut  di dalam Direktorat Penuntutan KPK (jaksa di KPK).

"10 personil masuk ke biro hukum. Sekarang ada tambahan 16 orang. Jadi total ada 26 personil (jaksa penuntut) sekarang," tegas Johan.

Gugatan praperadilan pasca kasus BG sepertinya terus bertambah banyak. Hal ini tentu dapat mengancam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Setidaknya akan membuat aparat penegak hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan dan tentu saja KPK. Mereka tidak lagi fokus menangani kasus-kasus korupsi, tetapi sibuk melayani gugatan praperadilan yang dilayangkan para tersangka kasus korupsi yang diprosesnya.  Ketidakpastian pemberantasan korupsi harus segera diakhiri. Oleh karena itu, MA harus segera bersikap.

Laporan khusus (Lapsus), 7 April 2015

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan