Praperadilan, Masihkah Penting?

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pernah dijuluki sebagai karya agung bangsa Indonesia karena baru pertama kali sejak proklamasi bangsa ini (mampu) membuat undang-undang yang berkenaan dengan tata cara berperkara di pengadilan setelah sebelumnya lama menggunakan HIR/RBg (hukum acara produk kolonial).

Namun dalam perjalanannya, KUHAP dipandang memiliki banyak kelemahan. Hingga akhirnya KUHAP mengalami rancangan revisi. Salah satu substansi yang mendapat sorotan dalam revisi itu ialah tentang praperadilan.

Dalam konsep revisi KUHAP (Tempo, 25-31 Okt. 2004), praperadilan diganti menjadi hakim komisaris. Menurut T Nasrullah, salah seorang anggota tim revisi KUHAP, hakim komisaris direkrut dari praktisi, akademisi, atau mantan jaksa. Dalam konsep revisi, wewenang hakim komisaris ternyata jauh lebih besar dari praperadilan.

Wewenang praperadilan adalah memeriksa dan memutus tentang: (1) sah-tidaknya penangkapan dan penahanan; (2) sah-tidaknya penghentian penyidikan dan penuntutan; dan (3) permintaan ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dalam revisi KUHAP, selain yang disebutkan di atas, hakim komisaris juga berwenang memutus atau menetapkan tentang: (1) perlu-tidaknya dilakukan penahanan; (2) pelampauan batas waktu penyidikan dan penuntutan; dan (3) dapat-tidaknya dilakukan pemeriksaan tanpa didampingi penasihat hukum.

Dalam praperadilan, hakim menjatuhkan putusan semata-mata atas adanya permohonan praperadilan. Dalam revisi KUHAP dibedakan putusan hakim komisaris dilakukan atas permohonan tersangka atau korban dengan penetapan hakim komisaris dilakukan atas prakarsa sendiri setelah menerima tembusan surat penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas.

Fungsi Tambahan

Praperadilan hanya merupakan fungsi tambahan (bukan merupakan lembaga tersendiri) yang diberikan undang-undang kepada pengadilan negeri diluar tugas pokoknya menerima, memeriksa dan mengadili perkara pidana dan perdata, yaitu berupa fungsi pengawasan horizontal terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum sebagaimana telah diuraikan diatas.

Sebagai fungsi tambahan, praperadilan otomatis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari institusi pengadilan. Konsekuensinya, hakim praperadilan adalah personifikasi dari institusi pengadilan itu sendiri. Salah satu bukti ketidakterpisahan itu ialah di mana hakim praperadilan ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dari antara hakim fungsional yang ada di pengadilan tersebut.

Sangat berbeda dengan konsep hakim komisaris yang direkrut dari kalangan di luar hakim fungsional. Dengan konsep seperti ini dapat dipersepsikan, hakim komisaris bukanlah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan institusi pengadilan.

Dengan adanya ketentuan dalam revisi KUHAP di mana penetapan hakim komisaris dapat dilakukan atas prakarsa sendiri setelah menerima tembusan surat penangkapan, penahanan, dan seterusnya, terlihat bahwa hakim komisaris telah diposisikan di luar struktur pengadilan.

Tidak disadari bahwa ketentuan revisi KUHAP yang mengharuskan tembusan surat penangkapan, penahanan, dan seterusnya, diberikan kepada hakim komisaris--dan berdasarkan hal tersebut atas prakarsa sendiri hakim komisaris membuat penetapannya--telah memosisikan hakim komisaris sama (sederajat) dengan keluarga tersangka atau terdakwa yang menurut KUHAP wajib menerima tembusan surat penangkapan, penahanan, dan seterusnya.

Sehingga dengan ketentuan revisi KUHAP yang demikian itu telah lahir justifikasi, di mana keluarga tersangka (baca: hakim komisaris) dapat membuat penetapan (atas nama pengadilan negeri) atas adanya penangkapan, penahanan dan seterusnya, terhadap tersangka atau terdakwa. Penetapan hakim komisaris seperti itu, karena dibuat berdasarkan prakarsa sendiri adalah tindakan di luar struktur pengadilan.

Demikian juga wewenang hakim komisaris untuk menetapkan perlu-tidaknya dilakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa sudah mencaplok kewenangan projustisia dari penyidik, penuntut umum maupun pengadilan negeri.

Perlu tidaknya seorang tersangka atau terdakwa ditahan adalah masalah penilaian yang ada sangkut pautnya dengan substansi perkara. Sementara hakim komisaris bukanlah hakim yang diberi wewenang memeriksa materi perkaranya. Tampaknya revisor KUHAP kurang memahami kewenangan-kewenangan yang semestinya diberikan kepada hakim komisaris, karena dalam revisi KUHAP tersebut juga diberi wewenang kepada hakim komisaris untuk menetapkan tentang dapat-tidaknya dilakukan pemeriksaan tanpa didampingi penasihat hukum.

Padahal perlu-tidaknya seorang tersangka atau terdakwa didampingi penasihat hukum semata-mata hanyalah soal hak, yaitu hak untuk didampingi penasihat hukum. Kalau seorang tersangka atau terdakwa menyatakan tidak bersedia didampingi penasihat hukum, sekalipun hal itu diberikan atas penunjukan pengadilan melalui sebuah penetapan tertulis (misalnya dalam hal ancaman pidana terhadap terdakwa diatas 15 tahun), hal tersebut tidak berlaku sepanjang tersangka atau terdakwa tetap keberatan dan tidak bersedia didampingi penasihat hukum.

Dengan demikian, ketentuan revisi KUHAP yang memberi wewenang kepada hakim komisaris untuk menentukan perlu-tidaknya seorang tersangka atau terdakwa didampingi penasihat hukum, selain telah mencaplok hak-hak seorang tersangka atau terdakwa juga telah mengambil alih wewenang pro-yustisia.

Masih Relevan

Pada prinsipnya lembaga praperadilan masih relevan dipertahankan dan tidak perlu diganti dengan hakim komisaris. Hanya saja aturan-aturan tentang praperadilan di dalam KUHAP perlu disempurnakan. Ada dua hal penting yang perlu direvisi supaya jangan menjadi dilema dalam praktik.

Yang pertama ialah tentang putusan gugur. Menurut Pasal 81 Ayat (1) huruf d KUHAP, apabila perkara praperadilan belum selesai diperiksa, praperadilan harus diputuskan gugur apabila perkara pokoknya sudah mulai diperiksa.

Benar, bahwa tentang sah-tidaknya penangkapan atau penahanan yang tadinya dimohonkan praperadilan bisa saja diperiksa bersama-sama dengan pemeriksaan perkara pokok, sehingga tidak menjadi masalah andaikan praperadilan dinyatakan gugur karena perkara pokok sudah mulai diperiksa.

Akan tetapi alangkah mubazirnya lembaga peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang, apabila hanya dengan alasan perkara pokok sudah mulai diperiksa lantas praperadilan harus dinyatakan gugur.

Ketentuan ini menjadi celah bagi penyidik maupun penuntut umum untuk menggugurkan praperadilan dengan cara buru-buru melimpahkan berkas perkara ke pengadilan. Celakanya, karena pelimpahan itu tidak matang, akibatnya berkas perkara (khususnya surat dakwaan) yang diajukan ke pengadilan merupakan berkas perkara yang asal jadi.

Dapat dibayangkan apa yang terjadi misalnya kalau tindakan seperti ini dilakukan dalam menangani kasus-kasus megakorupsi, narkoba atau terorisme. Tidakkah hal ini akan membuat wajah penegakan hukum di negeri ini semakin buram?

Mestinya ketentuan ini dihapuskan. Perlu diberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada pengadilan untuk memutus substansi setiap praperadilan. Dan lagi pula tenggat pemeriksaan praperadilan sudah dibatasi selama tujuh hari, mengapa kesempatan yang sangat singkat itu pun harus dirampas hanya dengan alasan telah dimulainya pemeriksaan perkara pokok oleh pengadilan negeri.

Sebagai negara yang berdasar atas hukum, kita harus konsekuen menerapkan praperadilan sebagai lembaga pengawasan horizontal oleh pengadilan negeri yang tidak setengah hati terhadap kinerja kepolisian dan kejaksaan. Apabila masih ada putusan gugur terhadap praperadilan hanya dengan alasan klise perkara pokok sudah mulai diperiksa, dikhawatirkan tujuan pengawasan itu tidak akan pernah tercapai.

Dampaknya ialah bahwa kepolisian dan kejaksaan merasa aman-aman saja melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum tanpa pernah merasa dapat diawasi sekalipun pengawasan itu diberikan berdasarkan undang-undang. Yang dirugikan adalah pihak yusticiabelen (pencari keadilan).

Dan lagi pula, andaikan hakim praperadilan memutuskan penangkapan atau penahanan oleh penyidik atau penuntut umum tidak sah, hal tersebut tidak berdampak terhadap substansi perkara pokoknya. Sebab sesaat setelah putusan praperadilan memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari dalam tahanan lantaran penahanan tidak sah (misalnya), saat itu juga pihak berwajib dapat melakukan penangkapan atau penahanan yang sah terhadapnya.

Hanya saja, sebagai lembaga yang modern dan profesional, baik kepolisian maupun kejaksaan harus siap mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan apabila ia digugat ganti rugi secara perdata oleh pihak yang merasa dirugikan atas tindakan penangkapan atau penahanan yang dinyatakan tidak sah oleh putusan praperadilan.

Dalam hal praperadilan menyangkut sah-tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, jelas tidak berdampak terhadap persoalan materi perkara pokok karena memang sejak awal penyidik atau penuntut umum sudah menghentikan penyidikan atau penuntutannya.

Yang kedua ialah tentang upaya hukum terhadap putusan praperadilan. Setelah keluarnya UU Nomor 5 Tahun 2004 yang mengubah UU Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, dalam pasal 45 A ayat (2) huruf a sudah tegas diatur bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan kasasi.

Sebelumnya, dalam KUHAP hal ini tidak tegas diatur apakah dapat dilakukan atau tidak. Sehingga dalam kurun waktu mulai dari terbitnya KUHAP tahun 1981 sampai dengan diundangkannya UU Nomor 5 Tahun 2004 (selama lebih kurang 23 tahun) terdapat dualisme penerapan KUHAP dalam konteks apakah putusan praperadilan dapat atau tidak diajukan kasasi.

Sekadar untuk mengingat, perlu ditandaskan di sini bagaimana sikap Mahkamah Agung atas permohonan kasasi praperadilan sebelum UU Nomor 5 Tahun 2004 diundangkan. Ada dua macam pendapat Mahkamah Agung dalam hal ini. Melalui putusannya Nomor 227/KP/1982, tanggal 29 Maret 1983 dan Nomor 680 K/Pid/1983, tanggal 10 Mei 1984, Mahkamah Agung menyatakan bahwa putusan praperadilan tidak dapat dikasasi, karena hal itu tidak sesuai dengan prinsip proses penyelesaian perkara secara cepat yang menjadi tujuan dari praperadilan.

Tetapi sebaliknya, dalam putusannya Nomor 1156 K/Pid/2000, tanggal 11 Oktober 2000, Mahkamah Agung telah membatalkan putusan praperadilan pengadilan negeri dan mengadili sendiri perkara praperadilan tersebut di tingkat kasasi. Antara lain alasannya ialah bahwa prinsip peradilan cepat tidaklah menghalangi Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi yang mengawasi dan membina pengadilan yang ada dibawahnya untuk mengadili putusan praperadilan pada tingkat kasasi.

Selain itu, alasan Mahkamah Agung membatalkan putusan praperadilan dalam putusannya nomor 1156 K/Pid/2000, tanggal 11 Oktober 2000 tersebut adalah bahwa tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan di Australia oleh polisi federalnya terhadap pemohon praperadilan (Hendra Rahardja) pelaku tindak pidana perbankan tidak termasuk dalam ruang lingkup praperadilan sebagaimana dimaksud dalam KUHAP.

Sementara pengadilan negeri memutuskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku termohon telah melakukan penangkapan dan penahanan yang tidak sah sekalipun itu secara fisik dilakukan oleh Polisi Federal Australia, tetapi hal tersebut tidak terlepas dari peranan kepolisian RI.

Itu adalah salah satu contoh yang menunjukkan bahwa ada saja kemungkinan terdapatnya titik singgung antara tugas-tugas Kepolisian Negara RI dengan kepolisian asing dalam memproses persangkaan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang bukan tidak mungkin suatu saat akan diajukan ke depan persidangan praperadilan.

Hal sederhana seperti ini perlu disiasati dan dimasukkan sebagai bagian dari peraturan tentang praperadilan dalam revisi KUHAP, supaya ke depan tidak terjadi simpang-siur atau multi-interpretasi terhadap suatu aturan hukum yang berkenan dengan praperadilan.

Selain itu, apabila setelah terbitnya UU Nomor 5 Tahun 2004 sikap yudikatif masih mendua dalam hal menentukan boleh-tidaknya putusan praperadilan dikasasi, dikhawatirkan momen untuk menerapkan hukum itu secara tegas dan konsekuen akan hilang.

Untuk itu, agar nantinya KUHAP (hasil revisi) sinkron dengan UU Nomor 5 Tahun 2004 tersebut. Tetapi yang jauh lebih penting adalah agar setiap hakim praperadilan benar-benar dapat memahami maksud dan tujuan yang terkandung dalam praperadilan itu sendiri sehingga putusan praperadilan yang dijatuhkannya bukan sekadar putusan yang mandul.(Barita Sinaga, hakim merangkap humas pada pengadilan negeri Simalungun)

Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan 18 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan