Praperadilan Disiapkan

Surat Penangguhan Penahanan Dikirim Senin Ini

Kuasa hukum dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, akan menyampaikan surat keberatan penahanan kepada kepolisian. Jika surat itu tak direspons, mereka berencana mempraperadilankan polisi.

”Surat penangguhan penahanan ini kami kirimkan Senin (2/11) atau paling lambat Selasa (3/11). Sampai saat ini kami belum mau menandatangani berita acara penahanan. Kami menilai penahanan itu mengada-ada,” kata Taufik Basari, salah seorang kuasa hukum Bibit dan Chandra, di Jakarta, Minggu.

Bambang Widjojanto, kuasa hukum lainnya, mengatakan, polisi memang memiliki kewenangan menahan orang. ”Penahanan bukan hak, tetapi kewenangan. Aneh jika mereka mengatakan hak. Itu arogansi,” katanya.

Bambang menambahkan, alasan subyektif penahanan patut dipertanyakan. Selama ini kliennya sangat kooperatif terhadap penyidik dengan selalu datang wajib lapor sesuai dengan jadwal. ”Jika kemudian alasannya Bibit dan Chandra terlalu banyak bicara dengan pers, bukankah hak untuk berpendapat dijamin oleh undang-undang?” ujarnya.

Bambang menuding penahanan Bibit dan Chandra erat kaitannya dengan keputusan sela di Mahkamah Konstitusi yang meminta KPK membuka bukti rekaman. ”Polisi menekan dengan menahan Bibit dan Chandra,” kata Bambang.

Konstruksi sangkaan
Taufik Basari mengatakan, hingga saat ini penyidik bersikukuh untuk membangun konstruksi sangkaannya berdasarkan tindak pidana pemerasan. Padahal, dari jalan cerita yang menjadi dasar polisi melakukan penyidikan, justru kasusnya terlihat sebagai penyuapan.

”Pertanyaannya, mengapa bukan penyuapan? Jika penyuapan, seharusnya orang yang telah melaksanakan perbuatan awal memberikan uang dengan maksud menyuap dijadikan tersangka juga. Namun, kenyataannya tidak ada tersangka penyuapnya dalam perkara ini,” katanya.

Secara terpisah, ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin meminta Presiden mengingatkan Kepala Kepolisian Negara RI (Polri) agar tidak memaksakan penerapan suatu pasal pidana. Pemaksaan penerapan pasal pidana, terkait penyalahgunaan wewenang, dapat menjadi bumerang bagi para pemegang kekuasaan tanpa kecuali.

Menurut Irman, ”mengingatkan” berbeda dengan ”intervensi”. Undang-Undang Kepolisian memungkinkan hal tersebut karena Kepala Polri masih bertanggung jawab kepada presiden. Di bagian penjelasan, presiden memang dilarang mengintervensi karena bisa merendahkan tugas kepolisian.

”Tetapi, ini bukan intervensi, hanya mengingatkan untuk tidak memaksakan penerapan pasal pidana,” kata Irman. (ana/SF/AIK)

Sumber: Kompas, 2 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan