Praktik Korupsi di Sekolah Butuh Pengawasan Masyarakat

Partisipasi masyarakat mengawal berlangsungnya proses pendidikan, sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya tindak korupsi dalam berbagai bentuk di lingkungan sekolah.

Pernyataan di atas disampaikan Direktur Program Partisipasi Masyarakat National Democratic Institute (NDI), Jerome Cheung, di Jakarta, kemarin, saat berlangsungnya seminar bertajuk 'Corruptionsin School: Are You a Victim?'.

''Korupsi merupakan bentuk penyalahgunaan kepercayaan. Dalam masyarakat yang meyakini bahwa korupsi adalah tindakan melanggar hukum, seharusnya masyarakatlah yang menjadi kontrol dari penggunaan anggaran di sekolah,'' tegas Jerome.

Namun, ia menyayangkan banyaknya anggota Komite Sekolah (KS), yang justru dipilih oleh kepala sekolah. Akibatnya, badan yang seharusnya menjadi alat kontrol bagi sistem pendidikan, justru menjadi kehilangan independensi dalam menindak indikasi korupsi di tingkat sekolah.

''Saat ini, pola korupsi yang banyak ditemui di sekolah seperti melakukan penjualan buku pelajaran, pungutan liar, dan kebijakan kepala sekolah yang bersifat sepihak,'' ujar Jerome.

Meski meyakini bahwa korupsi di sekolah memang benar-benar terjadi, namun menurut Jerome, guru bukan serta-merta menjadi aktor utama di balik tindakan melanggar hukum tersebut. Ia menilai, oknum guru yang terlibat pun pada dasarnya korban dari sebuah sistem yang korup.

Artinya, tegas Jerome, berbagai tindak korupsi di sekolah merupakan bagian yang saling mengait.

''Kasus korupsi di sekolah merupakan kasus multidimensi, yang disebabkan oleh banyak hal. Hal itu bisa karena pemerintah yang tidak bersih, sistem hukum yang longgar, serta pengawasan masyarakat terhadap berlangsungnya pendidikan yang kurang berjalan,'' papa Jerome, yang telah lima tahun melakukan penelitian mengenai proses demokratisasi di Indonesia.

Jerome mencoba melakukan perbandingan dengan negaranya, Kanada, di mana tindak korupsi dapat dideteksi dengan segera. Proses auditing, check and balance dijalankan oleh lembaga pemerintah dan masyarakat.

''Selain itu, parlemen menjalankan fungsinya secara optimal untuk mengontrol anggaran pendidikan. Ke mana pun anggaran itu digunakan dapat ditelusuri dengan cepat,'' tukas Jerome.

Upaya mengurai permasalahan dan mencari solusi untuk mencegah merebaknya tindak korupsi di sekolah, jelas Jerome, hanya dapat dilakukan dengan jalan secara bersama-sama memperbaiki institusi sekolah dan pemerintah, serta sumber daya manusia.

Data kasus korupsi
Pada kesempatan yang sama, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Luky Djani memaparkan, ICW masih melengkapi data yang diminta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), berkaitan dengan pelaporan mereka tentang adanya dugaan kasus korupsi di empat kabupaten atau kota di Jawa Tengah.

''Saat ini ICW tengah melengkapi bukti pendukung, yang dapat mengarahkan adanya indikasi korupsi tersebut. Bukti-bukti untuk Kabupaten/Kota Semarang sudah ada,'' ujar Luky.

Hanya saja, Djani menyatakan keheranannya atas permintaan KPK kepada ICW untuk melengkapi bukti-bukti. Dalam pandangannya, KPK-lah yang seharusnya menindaklanjuti pengaduan masyarakat.

''Saya melihat seolah-olah KPK menempatkan diri seperti kejaksaan, yang kemudian hanya berfungsi untuk memproses kasus, dengan bukti yang telah dilengkapi kepolisian sebelumnya. Seharusnya KPK turun tangan untuk mengumpulkan bukti dari pelaporan tersebut,'' tegas Luky.

Djani menambahkan ICW akan terus melakukan pemantauan mengenai dugaan kasus korupsi di Jawa Tengah tersebut. Bagi Djani, proses pemantauan terus-menerus perlu dilakukan, agar tidak ada celah untuk menghindar atau menggelapkan barang-barang bukti tambahan. (Tmi/B-4)

Sumber: Media Indonesia, 1 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan