PR Menteri LKH: Tutup Celah Korupsi Melalui Revisi Regulasi Sektor Kehutanan

Press Release

Ada dua “prestasi” Indonesia yang diakui masyarakat dunia. Pertama, salah satu negara dengan praktik korupsi terbesar. Kedua, salah satu negara dengan laju kerusakan hutan tertinggi di dunia. Bahkan pada tahun 2008, Guiness Book Of World Records bahkan pernah menempatkan Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia.

Kerusakan hutan ini selain disebabkan maraknya industri kayu untuk memenuhi kebutuhan kayu di pasar global. Juga disebabkan karena praktek pembalakan liar (illegal logging), alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan kepala sawit, transmigrasi dan kebakaran hutan, baik karena faktor alam atau karena kesengajaan yang dilakukan oleh perusahaan untuk membuka lahan. Tak hanya itu, lemahnya regulasi sektor kehutanan, desentralisasi atau otonomi daerah serta lemahnya penegakan hukum dalam penanganan kasus kejahatan dibidang hutan juga memberikan andil dalam tingkat kerusakan hutan.

Jika permasalahan ini dilihat dari hulu hingga hilir, maka hulu permasalahan pastinya praktek korupsi di sektor kehutanan. Akibat korupsi, maka pengawasan terhadap hutan tidak efektif. Praktek illegal logging marak dilakukan yang pada akhirnya mempercepat deforestasi. Karena korupsi pula, alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan berjalan tidak terkendali. Berjuta-juta hektar hutan dikonversi menjadi perkebunan dan berbagai keperluan lain. Praktek korupsi di sektor kehutanan saat ini dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan terjadi dalam beberapa tahap dalam rantai supply industri kayu, mulai tahap perizinan, penebangan, pengangkutan, pelelangan dan pada saat pembayaran pajak dan retribusi.

Bahkan KPK melalui kajian terhadap sistem perijinan sumber daya alam mengidentifikasi setidaknya ada 21 peraturan atau kebijakan perizinan di sektor kehutanan yang dinilai bermasalah dan rawan terjadi praktik korupsi.

Karenanya penegakan hukum dan kepastian hukum sektor kehutanan menjadi “Pekerjaan Rumah” yang paling utama bagi Menteri Lingkungan Hudup dan Kehutanan pemerintahan Jokowi. Indonesia Corruption Watch mencatat setidaknya ada 8 regulasi yang menjadi prioritas untuk segera direvisi, diantaranya:

  1. PP 6/2007 jo. PP 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan.
  2. PP 45/2004 jo PP 60/2009 tantang perlindungan Hutan
  3. Permenhut P.50/2010 jo. P.62/2012 tentang Tata Cara Pemberian dan Perluasan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam, IUPHHK restorasi ekosistem, atau IUPHHK Hutan Tanaman Industri Pada Hutan Produksi.
  4. Permenhut P.33/2009 jo. P.5/2011 tentang Pedoman Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala Pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Produksi
  5. Permenhut P.56/2009 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Hutan Alam serta Restorasi Ekosistem
  6. Permenhut P.55/2006 jo. P.8/2009 tentang Penataan Hasil Hutan Yang Berasal dari Hutan Negara
  7. Permenhut P.18/2007 tentang Petunjuk teknis Tata Cara Pengenaan  Pemungutan dan Pembayaran Provisi Sumber Hutan dan Dana Reboisasi.
  8. Permenhut P.39/2008  tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan

PP 6/2007 jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan menjadi salah satu regulasi yang paling mendesak untuk direvisi. Pasalnya berbagai tipologi kelemahan regulasi dalam PP 6/2007 jo. PP 3/2008 terbukti secara empirik dalam berbagai kasus-kasus korupsi di sektor kehutanan memberikan insentif bagi terjadinya korupsi dengan tipologi yang beragam. Indonesia Corruption Watch, melakukan uji publik terhadap PP 6/2007 Jo PP 3/2008. Uji publik dilakukan dengan melibatkan 5 ahli atau eksaminator yang menguji formil dan materiil materi muatan PP 6/2007. Kelima Eksaminator adalah:

  1. Prof. Haryadi Kartodiharjo, Akademisi IPB
  2. Grahat Negara,  Peneliti Silvagama
  3. Sofyan Warsito, Akademisi UGM
  4. Mumu Muhajir, Peneliti Epistema
  5. M. Nur Solikhin. Peneliti PSHK

PP 6/2007 jo PP 3/2008 mengatur hal yang berbeda dengan yang diatur dalam UU yang memerintahkannya ada. Salah satunya, PP 6/2007 jo. to PP 3/2008 mengandung "logika" nya sendiri yang berbeda dengan logiknya UU 41/1999, termasuk dalam memasukkan pengelolaan wilayah hutan ke dalam materi yang diaturnya dan mengeluarkan aturan soal penggunaan kawasan hutan agar diatur tersendiri dalam bentuk PP.

Selain itu, perbandingan antara prinsip pemanfaatan hutan menurut UU 41/1999 dengan aturan-aturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan di dalam PP 6/2007 jo. PP 3/2008 didapatkan beberapa kesimpulan: (1) ketiadaan arahan pemanfaatan hutan yang lebih terintegrasi dan bertahap membuat posisi penerima ijin mendapatkan keuntungan lebih karena mengetahui lapangan dan mendapatkan insentif untuk terus ekspansi tanpa terganggu oleh pembatasan alokasi lahan; (2) tidak ada pembatasan luas dan produksi ketika menyangkut ijin pemanfaatan kayu hutan dan sebaliknya aturan tentangnya malah mendorong untuk melewati target dan mendapatkan insentif; (3) perlindungan dan pemberdayaan masyarakat tidak dilakukan dengan tegas dan dengan bentuk ijin yang lebih kuat karena skema yang ditawarkan lebih banyak menggantungkan pada pihak lain. Di sisi lain, deregulasi dilakukan pada bentuk ijin lain, sebaliknya pada skema pemberdayaan masyarakat untuk mendapatkan ijinnya harus melewati berbagai meja layanan; (4) pengaturan soal penghindaran konflik kepentingan tidak diatur yang membuka ruang pemusatan kekuasaan kayu/hutan pada pihak-pihak tertentu.

Hal ini sejalan dengan Studi Kerentanan Korupsi Dalam Perizinan di Sektor Sumber Daya Alam yang dibuat KPK. Kajian ini menegaskan terjadinya korupsi dalam pengelolaan hutan dengan menemukan celah korupsi dan biaya transaksi tinggi atau informal pada hampir seluruh bisnis proses pemanfaatan hutan. Transaksi yang dilakukan bisa mencapai belasan juta hingga bahkan miliaran rupiah.

Oleh karena itu, Indonesia Corruption Watch merekomendasikan:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus segera merview dan merevisi regulasi-regulasi tingkat nasional baik Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri lainnya yang berpotensi membuka praktik korupsi di sektor kehutanan. Termasuk didalamnya PP 6/2007 Jo PP 3/2008. Revisi atas PP 6/2007 Jo PP 3/2008 setidaknya perlu mengatur hal-hal berikut: perlunya pembatasan luas dan produksi untuk ijin pemanfaatan kayu, pengaturan soal penghindaran konflik kepentingan, ketentuan tentang perlunya arahan pemanfaatan hutan yang terintegrasi, deregulasi bagi skema pemberdayaan masyarakat, pemakaian sanksi administrasi berupa pengurangan areal.

Jakarta, 23 November 2014

INDONESIA CORRUPTION WATCH
Divisi Hukum Dan Monitoring Peradilan
(Emerson Yuntho, Lalola Easter, Aradila Caesar)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan