PR Berat Mendagri Baru; Jangan Menakut-nakuti Daerah
Sebagai gubernur Jawa Tengah selama hampir sepuluh tahun, Mendagri baru Mardiyanto tentu paham betul peta persoalan daerah. Karena itu, dia diharapkan lebih mampu menyerap aspirasi masyarakat, pemerintah provinsi, maupun kabupaten/kota.
Dia sudah terbiasa berinteraksi dengan para bupati dan wali kota yang berasal dari beragam partai politik. Selama menjadi gubernur Jawa Tengah, hubungan antara eksekutif dan DPRD tak pernah mengalami ketegangan.
Beberapa kabupaten di Jawa Tengah, seperti Purbalingga, Sragen, dan Kebumen, mencuat menjadi contoh penerapan otonomi daerah yang sangat berhasil. Ketiga kabupaten itu tergolong bukan daerah kaya seperti Kabupaten Kutai Kertanegara di Provinsi Kalimantan Timur ataupun Kabupaten Bengkalis di Provinsi Riau.
Dengan segala keterbatasan dari segi kekayaan sumber daya alam dan pendapatan asli daerah (PAD) maupun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), para bupati di ketiga kabupaten tersebut mampu menggerakkan pembangunan di daerah masing-masing, memajukan penanaman modal-termasuk penanaman modal asing- dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Mendagri Mardiyanto harus bangga dengan kisah keberhasilan kabupaten-kabupaten di bawah binaan-nya dan yang lebih penting sebagai bekal berharga untuk bisa ditularkan lebih cepat ke seluruh penjuru tanah air. Dengan begitu, kita semakin yakin bahwa otonomi daerah merupakan pilihan tepat dan keniscayaan bagi pembangunan negeri yang terhampar sangat luas ini dengan segala keberagaman yang menjadi modal dasar sangat berharga untuk menjawab tantangan pembangunan nasional ke depan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Sejumlah masalah yang muncul selama penerapan otonomi daerah di era reformasi bisa kita pandang sebagai ekses sehingga tak boleh menjadi alasan untuk memperkukuh kembali cengkeraman pemerintah pusat atas daerah. Tugas Mendagri adalah memperkuat sendi-sendi penerapan otonomi daerah yang masih lemah atau belum terhadirkan.
Mendagri baru perlu mengembangkan pendekatan insentif ketimbang menakut-nakuti atau mengancam sebagaimana masih kerap kita jumpai selama ini. Harus diingat, semangat otonomi daerah bertumpu pada pemberdayaan dan inisiatif oleh daerah karena sebagian besar kewenangan berada di tangan daerah.
Pembangunan pada dasarnya berlangsung di daerah dan dilaksanakan daerah. Peran pemerintah pusat ialah mendorong agar daerah bisa mendayagunakan segala potensi yang dimiliki bagi sebesar-besarnya kesejahteraan daerah.
Karena itu, pemerintah pusat berkewajiban pula untuk melumatkan segala kendala yang bersumber dari pusat. Harus diingat bahwa sejumlah kementerian dengan segala cara masih merasa lebih tahu dan terus berupaya mencengkeramkan pengaruhnya atas daerah.
Peran pemerintah pusat yang juga harus lebih dikedepankan ialah pembangunan lintas provinsi dan lintas sektoral agar terjadi sinergi yang optimal dalam pengelolaan sumber daya alam serta proses produksi dan distribusi. Dengan begitu, kita bisa berharap terjadi peningkatan efisiensi nasional sehingga bisa mendongkrak daya saing perekonomian.
Tugas sangat berat sudah menghadang Mendagri baru. Dia harus banyak bicara serta melakukan pendekatan intensif dengan para gubernur dan menteri-menteri sektoral. Juga, harus bahu-membahu dengan Bappenas untuk memastikan perencanaan pembangunan nasional kita.
Tantangan yang tak kalah berat ialah bagaimana mereformasi hubungan keuangan pusat-daerah. Sistem yang berlaku sekarang terbukti hanya menguntungkan segelintir daerah, terutama DKI Jakarta dan daerah-daerah kaya migas dan sumber daya mineral.
Padahal, tak sedikit daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam tetapi tidak memperoleh bagi hasil pajak. Daerah yang sekarang tergolong miskin pun sebetulnya memiliki potensi jauh lebih baik seandainya hubungan keuangan pusat-daerah lebih adil.
Sudah saatnya otonomi politik dan pemerintahan dibarengi otonomi keuangan yang hakiki, yakni dengan mulai secara bertahap mengalihkan pajak pusat menjadi pajak daerah.
Langkah itu bisa dimulai dengan pajak perambahan nilai (PPN) yang bisa saja diganti dengan pajak penjualan. Selain itu, perlu mulai dipikirkan pemberian hak atas porsi tertentu dari pajak keuntungan perusahaan dan pajak pendapatan perseorangan.
Dengan reformasi hubungan keuangan pusat-daerah yang mengarah pada penerapan sistem insentif, niscaya akan terjadi iklim persaingan yang sehat antardaerah. Pemerintah daerah akan berlomba-lomba menawarkan insentif untuk mengundang investasi dan perpindahan tenaga-tenaga profesional dan terampil. Sebab, insentif yang diberikan akan menghasilkan maslahat nyata untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam menyejahterakan rakyatnya.
Tidak seperti sekarang, peningkatan investasi di daerah tidak banyak memberikan manfaat langsung bagi daerah. Kondisi itulah yang menyebabkan pemerintah daerah mengeluarkan banyak sekali pajak dan retribusi daerah yang pada gilirannya menimbulkan beban berat bagi pengusaha dan rakyat.
Padahal, kalau kita telaah dengan seksama, beban terberat justru berasal dari pemerintah pusat. Bukankah otonomi yang lebih hakiki akan terjadi apabila terdapat keseimbangan antara hak politik dan hak ekonomi?
Tantangan berikutnya adalah memperkuat sumber daya manusia di daerah. Salah satu langkah strategis adalah segera memutuskan masa depan IPDN. Bukankah di hadapan Presiden SBY sudah tersedia tiga pilihan yang telah disampaikan tim yang dibentuk presiden sendiri?
Perubahan politik dan tantangan masa depan mengharuskan kita memiliki sumber daya manusia yang tangguh, mengingat daya saing bangsa justru makin ditentukan pemeintah, baik pusat maupun daerah.
Sementara itu, sektor swasta lebih fleksibel dalam bertindak dan bereaksi terhadap sistem insentif yang ditawarkan pemerintah. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari dunia yang kian datar dan globalisasi yang membuat kos tetap lebih menentukan ketimbang kos variabel. Adalah kos tetap ini yang banyak dipengaruhi pemerintah.
Ada beberapa lagi yang dapat mempercepat akselerasi pembangunan ekonomi dan politik di Indonesia yang membutuhkan sentuhan Mendagri. Pembaruan-pembaruan yang telah diutarakan di atas merupakan prasyarat penting. Selanjutnya, dengan mengembangkan komunikasi politik berdasar prinsip kesetaraan, potensi-potensi separatisme diharapkan akan melemah.
Dengan memerhatikan daerah-daerah yang terpinggirkan akibat praktik sistem pemerintahan yang sentralistik di masa lalu, seluruh warga bangsa diharapkan merasakan kenikmatan di bawah naungan Ibu Pertiwi.
Jika masih muncul arogansi dari partai-partai politik, terbukanya peluang bagi calon independen dalam pilkada tanpa melalui partai politik diharapkan bisa menjadi katup pengaman atau pintu darurat. Kita berharap kehadiran Mendagri baru bisa mempercepat beroperasinya katup pengaman itu agar kedaulatan betul-betul di tangan rakyat.
Fasil Basri, ekonom, dosen Universitas Indonesia (UI), Depok
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 4 September 2007