PPATK dan Kewenangan Penyidikan

Seharusnya polisi tidak perlu ragu untuk menyidik. Justru temuan ini menjadi uji coba bagi polisi, khususnya Kepala Polri baru, yang seyogianya memberikan sinyal kuat kepada anggotanya agar berani melanjutkan temuan ini.

Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) atas rekening yang mencurigakan milik 15 perwira tinggi dan menengah Kepolisian RI cukup mengejutkan dan sekaligus menimbulkan kekhawatiran.

Ini mengejutkan karena terjadi di tengah gencarnya pemerintah mengumandangkan pemberantasan korupsi dan polisi sebagai salah satu penegak hukumnya malah dicurigai melakukan kejahatan. Sedangkan kekhawatiran itu wajar, mengingat yang diperiksa adalah oknum dari institusinya sendiri, apalagi terdapat beberapa perwira tinggi. Beranikah polisi menanganinya?

Bagaimanapun, kita pantas mengacungkan jempol kepada PPATK atas penyampaian hasil analisisnya kepada Kepala Polri tentang adanya rekening (transaksi yang mencurigakan) dari 15 perwira tersebut. Tinggal sekarang kita berharap agar jerih payah PPATK ini ditindaklanjuti dalam penyidikan. Jangan sampai nasibnya seperti sejumlah besar (sekitar 290 kasus) temuan PPATK atas transaksi yang mencurigakan dan terindikasi pencucian uang yang tidak jelas kelanjutannya. Penyerahan hasil analisis PPATK atas transaksi yang mencurigakan kepada kepolisian dan kejaksaan memang disebutkan oleh ketentuan Pasal 26-g Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Nomor 25 Tahun 2003.

Temuan ini harus segera ditindaklanjuti oleh polisi dengan memerintahkan agar rekening itu diblokir dan tetap berada dalam penyedia jasa keuangan tempatnya, seperti tercantum dalam pasal 32 ayat 1 dan 5 undang-undang di atas. Hal ini penting untuk menghindari larinya dana yang diduga terindikasi pencucian uang ataupun terlibat dalam penerimaan yang sumbernya tidak sah, misalnya korupsi.

Seharusnya polisi tidak perlu ragu untuk menyidik. Justru temuan ini menjadi uji coba bagi polisi, khususnya Kepala Polri baru, yang seyogianya memberikan sinyal kuat kepada anggotanya agar berani melanjutkan temuan ini.

PPATK tampaknya tidak punya gigi untuk menindaklanjuti hasil temuannya. Ini karena memang UU Antipencucian Uang tidak memberikan kewenangan kepada PPATK untuk melakukan suatu tindakan lanjutan atas laporannya kepada polisi atau jaksa, selain hanya meminta informasi tentang perkembangan atas laporannya tersebut seperti dinyatakan pasal 27-b.

Dari keterbatasan kewenangan ini, PPATK seperti macan kertas saja. Hal ini terbukti, dari 290-an kasus yang dilaporkan, hanya satu yang sampai pengadilan dan penuntutannya pun tidak tepat, sehingga belum ada satu putusan pun berdasar tindak pidana pencucian uang sampai saat ini. Padahal Indonesia mempunyai ketentuan antipencucian uang sudah sejak 2002.

Kalau PPATK masih dalam posisi seperti sekarang, sulit diharapkan ia dapat memberantas pencucian uang. PPATK sebaiknya diberi kewenangan sebagai penyidik, dan keanggotaannya harus memadai sesuai dengan tuntutan profesionalnya, yaitu terdiri atas berbagai unsur, seperti polisi, jaksa, perbankan, dan pakar pidana. Tidak seperti sekarang, dari 50 orang lebih anggotanya, hanya ada lima polisi, sedangkan selebihnya dari perbankan dan lembaga keuangan.

Apabila PPATK diberi kewenangan penyidikan, PPATK dan polisi bisa bekerja sama atau dalam satu tahap sehingga tidak terjadi diskoordinasi seperti saat ini, yang tampaknya tidak terjalin kesepahaman tentang temuan atas sejumlah transaksi yang mencurigakan.

Di banyak negara memang hampir tidak ada lembaga semacam PPATK yang diberi kewenangan ini. Namun, bagi Indonesia, yang tingkat kejahatan ekonominya tinggi sekali dan sulit terjalin koordinasi antarinstansi, mungkin lebih baik kalau PPATK mempunyai kewenangan sampai tahap penyidikan.

Seharusnya Indonesia berani melakukan ini, sama halnya ketika terjadi banyak pro dan kontra soal pemberian kewenangan yang luas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi, bahkan sampai tahap penuntutan, tampaknya langkah KPK cukup bagus dan pemberantasan korupsi lebih efektif.

Yenti Garnasih, pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 1 Agustus 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan