Potret Buram Supremasi DPR

Melihat perkembangan sepanjang 2005, tidak mudah menemukan bahasa yang paling tepat untuk menggambarkan sosok Dewan Perwakilan Rakyat.

Melihat perkembangan sepanjang 2005, tidak mudah menemukan bahasa yang paling tepat untuk menggambarkan sosok Dewan Perwakilan Rakyat. Yang pasti, citra DPR sedang berada di titik nadir. Ada sejumlah peristiwa penting yang dapat membuktikan bahwa DPR semakin kehilangan kredibilitas di mata publik. Sebut saja, misalnya, kenaikan harga bahan bakar minyak, upaya menaikkan gaji serta tunjangan operasional anggota DPR secara tidak lazim, dan kebiasaan bepergian ke luar negeri dengan dalih melakukan studi banding.

Karena perkembangan tersebut, kekecewaan dan ketidakpuasan publik terhadap kinerja DPR semakin meningkat. Jika tidak percaya, simak hasil jajak pendapat Kompas (31 Oktober) mengenai persepsi publik terhadap kelembagaan DPR dalam setahun terakhir. Hasil jajak pendapat pada Oktober 2005, 83 persen responden tidak puas terhadap kinerja DPR. Angka itu lebih besar dibanding hasil jajak pendapat sebelumnya, yaitu 78 persen (September 2005), 58 persen (Juli 2005), dan 56 persen (Januari 2005).

Meningkatnya ketidakpuasan publik terhadap kinerja DPR bukan terjadi begitu saja. Tanpa perlu berspekulasi, persepsi negatif publik muncul karena DPR gagal merespons dan mengekspresikan kepentingan publik. Tiga kasus yang disebutkan pada awal tulisan ini hanya sebagian contoh negatif yang membuyarkan harapan publik kepada DPR. Padahal, dengan mayoritasnya orang baru yang mengisi DPR hasil Pemilihan Umum 2004, banyak kalangan berharap DPR akan bekerja dengan komitmen dan moralitas politik yang tinggi untuk membawa negeri ini keluar dari multikrisis yang telah berlangsung sejak 1997.

Kalau sebagian publik punya harapan besar kepada DPR, dapat dimengerti. Setidaknya, pascaamendemen Undang-Undang Dasar 1945, DPR muncul menjadi lembaga paling dominan dalam praktek ketatanegaraan, misalnya dalam fungsi legislasi. Sebelum amendemen, presiden memegang kendali dalam proses pembentukan undang-undang, tapi setelah amendemen, fungsi legislasi lebih ditentukan oleh DPR. Berkurangnya dominasi presiden dalam proses pembentukan undang-undang memberi peluang kepada DPR merumuskan undang-undang yang berpihak pada kepentingan publik.

Tidak hanya dalam proses legislasi, hasil amendemen menempatkan DPR sebagai lembaga penentu kata putus dalam bentuk memberi persetujuan terhadap beberapa agenda kenegaraan yang meliputi (1) menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain; (2) membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara; (3) menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undang-undang; (4) pengangkatan Hakim Agung; serta (5) pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial.

Di samping itu, beberapa agenda kenegaraan memerlukan pertimbangan DPR, seperti (1) pengangkatan duta; (2) menerima penempatan duta negara lain; dan (3) pemberian amnesti dan abolisi. Kekuasaan DPR bertambah komplet dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, seperti (1) memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan, menentukan tiga dari sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi, dan (3) menjadi institusi yang paling menentukan dalam proses pengisian lembaga non-state lainnya, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Pemilihan Umum. Catatan ini akan bertambah dengan adanya keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI dan Kepala Kepolisian Negara RI.

Sayang, kewenangan besar yang didapatkan dari hasil amendemen UUD 1945 belum memperlihatkan dampak positif bagi kehidupan publik. Padahal, dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota Legislatif (UU Nomor 22/2003) ditentukan bahwa anggota DPR berkewajiban (1) memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, (2) menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, (3) mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan, serta (4) memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya.

Berdasarkan kewajiban tersebut, anggota DPR seharusnya berupaya sekuat tenaga menampilkan diri sebagai wakil rakyat dalam pengertian yang sesungguhnya. Segala keputusan politik yang dilakukan harus merupakan akumulasi kepentingan publik. Tidak ada tindakan wakil rakyat, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat melukai perasaan rakyat yang mereka wakili. Keberadaan wakil rakyat seharusnya menjadi benteng pertahanan terdepan ketika ada kebijakan yang berpotensi melindas dan merugikan kepentingan rakyat.

Namun, dalam pandangan Toto Suryaningtyas (2005), utopia semacam itu hanya ada dalam teori terbentuknya hukum tata negara masa lampau. Kenyataannya, di Republik ini sepak terjang wakil rakyat justru dipandang sebagai perwujudan titik kulminasi dari segala kebobrokan moral elite politik.

Pandangan bahwa wakil rakyat sebagai perwujudan titik kulminasi dari segala kebobrokan moral elite politik bukan tanpa argumentasi yang memadai. Dalam kasus menaikkan operasional bulanan Rp 10 juta kepada diri sendiri, misalnya, terlihat bahwa anggota DPR tidak memiliki sensitivitas di tengah penderitaan rakyat yang tak kunjung usai.

Sejauh ini, penghasilan anggota DPR sudah terbilang besar, yaitu berkisar Rp 28-40 juta. Jumlah itu bisa menjadi lebih besar lagi dengan berbagai fasilitas lainnya yang dinikmati anggota DPR.

Ketika publik menyoroti dengan tajam kenaikan tunjangan operasional di atas, sebagian anggota DPR mencoba menjelaskan bahwa uang yang diterima akan dibagikan kepada konstituen di daerah pemilihan mereka. Dalam sudut pandang apa pun, penjelasan itu terasa janggal, aneh, dan mengada-ada. Saya yakin, sedikit sekali orang yang bisa percaya dengan alasan tersebut. Apalagi kemudian diketahui bahwa pembayaran uang tunjangan itu diberlakukan surut.

Banyak kalangan berpendapat, keleluasaan menentukan kenaikan gaji dan tunjangan operasional amat terkait dengan dominasi DPR dalam sistem ketatanegaraan pascaamendemen UUD 1945. Dengan posisi politik yang amat kuat, anggota DPR menjadi begitu leluasa mendesakkan segala keinginannya kepada lembaga lain, terutama kepada pemerintah. Bisa jadi kenaikan gaji dan tunjangan operasional merupakan hasil tawar-menawar terselubung antara DPR dan pemerintah.

Lalu apa yang bisa dilakukan agar supremasi DPR dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik yang lebih luas? Agar tidak berlarut-larut berada dalam perangkap potret buram supremasi DPR, salah satu caranya adalah semua elemen harus mengingatkan anggota DPR bahwa mereka dapat diberhentikan antarwaktu karena tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR. Sekiranya tidak ada perubahan, sejak dini sudah harus dilakukan kampanye secara sistematis untuk tidak lagi memilih mereka dalam Pemilihan Umum 2009.

Saldi Isra, Analis dan Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang

Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 29 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan