Potensi Korupsi Dalam Pemilu 2004

Salah satu persoalan yang menarik dan perlu disorot dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 adalah masalah korupsi. Diprediksikan, Pemilu 2004 berpotensi menjadi ledakan bom waktu korupsi. Alih-alih menjadi pesta demokrasi rakyat, Pemilu 2004 berpotensi kuat berubah menjadi ajang pesta nasional para koruptor.

Setidaknya ada tiga argumen yang bisa diketengahkan untuk mendukung prediksi tersebut. Pertama, merujuk pada hasil survei internasional, seperti Transparency International (TI) dan Political and Economic Risk Consultancy (PERS), Indonesia adalah kampiun korupsi dalam beberapa tahun belakangan ini.

Dan hebatnya lagi, ternyata pelaku tindak korupsi di Indonesia, utamanya koruptor kelas kakap, nyaris tidak ada yang dijatuhi hukuman. Data dari Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukkan, selama tahun 2002, misalnya, ada 13 pelaku korupsi yang terbilang kakap divonis bebas. Selain itu, juga ada 13 terdakwa yang sudah divonis, tetapi masih berkeliaran bebas.

Kedua, para politisi korup yang saat ini ada di lembaga perwakilan tingkat nasional hingga daerah akan berusaha keras untuk terpilih kembali. Tunjangan, fasilitas, dan kekayaan yang cepat melekat pada posisi wakil rakyat akan menjadi zat adiktif yang memacu semangat korup mereka untuk kembali memanipulasi kemenangan di Pemilu 2004.

Ketiga, Pemilu adalah ritual politik yang menghabiskan biaya tidak hanya bagi negara, tapi juga bagi pribadi yang menjadi kontestannya. Pada masalah biaya inilah bom waktu korupsi menemukan momentum ledakannya. Di sinilah kepentingan segelintir penguasa dan pengusaha korup berkolusi untuk merajai panggung politik-ekonomi Indonesia, dan terus meninggalkan kebanyakan rakyat dalam kubangan kemiskinan.

Mengenai konspirasi penguasa-pengusaha korup tersebut, Peter Eigen -- Ketua Transparency International -- ketika mengumumkan Corruption Perception Index 2002 sudah mengingatkan, Corrup political elites in the developing world, working hamd-in-hand with greddy business people and unscrupulous investors, are putting private gain before the welfare citizens and tha economic development of their countries.

Padahal, jangankan di negara sekorup Indonesia, di negara lain yang lebih bersih saja pelaksanaan Pemilu selalu berselingkuhan mesra dengan korupsi. Verena Blechinger dalam Report on Recent Bribery Scandal, 1996-2000, membeberkan bagaimana panggung politik Korea Selatan dipenuhi skandal korupsi Pemilu.

Salah satu yang terkenal adalah Slush Fund Scandal. Pada kasus ini, rakyat Korsel dikejutkan pada kenyataan korupnya Presiden Roh Tae-Woo yang mengumpulkan sumbangan politik hingga 650 juta dolar AS dari 30 konglomerat. Namun bedanya, di negara tersebut, praktik korupsi Pemilu itu terbongkar dan diberikan sanksi hukum melalui proses peradilan yang relatif adil. Sementara di Indonesia, praktik sejenis kerapkali tidak sampai ke depan meja hijau. Atau, kalaupun disidangkan, praktik judicial corruption dengan mudah menyulap political corruption itu menjadi lenyap tak berbekas.

Dana Politik
Tak pelak lagi, untuk mengantisipasi ledakan korupsi itu, aturan main Pemilu harus dibuat betul-betul preventif sekaligus represif. Dana keluar-masuk pemilu harus diatur secara jelas disertai dengan sanksi hukum yang tegas.

Sayangnya, aturan dana Pemilu Indonesia sangat longgar. Di tingkat konstitusi, tidak ada aturan yang menyinggung masalah dana politik. Padahal, konstitusi negara sebersih Jerman saja mewajibkan partai politik untuk mentransparankan pemasukan dan penggunaan dana politiknya.

Satu hal yang perlu dicermati berkaitan dengan korupsi Pemilu adalah sumbangan dana kampanye. UU Pemilu mengizinkan pemberian dana kampanye oleh para peserta pemilihan anggota DPR tingkat nasional dan daerah kepada partainya masing-masing. Ketentuan ini bersama-sama dengan masih dominannya kekuasaan partai politik untuk menentukan calon, sehingga di antara anggota parlemen menyebabkan terbukanya peluang jual-beli kursi parlamen oleh sang kandidat dengan pengurus parpolnya. Akibatnya, sebagaimana sudah kerap terjadi, anggota parlemen tidaklah terpilih karena kapasitasnya, tetapi lebih karena kemampuan finansial untuk membayar upeti kepada partainya.

Dalam konteks itulah sesungguhnya arti penting sistem pemilu proporsional yang bersifat terbuka. Dengan daftar terbuka murni, relasi jual-beli korup tersebut dapat diputus. Penentuan anggota parlemen betul-betul ada di tangan rakyat pemilih.

Seorang kandidat anggota parlemen tidak mungkin hanya mengandalkan sumbangan kepada partainya tanpa dia sendiri memiliki basis konstituen yang kuat. Di sisi lain, partai sendiri didorong untuk mencari kader yang betul-betul berkualitas untuk menarik suara rakyat pemilih.

Namun sayangnya, sistem pemilu proporsional terbuka setengah hati yang diloloskan Undang-Undang (UU) Pemilu membuka kembali peluang kandidat dengan dukungan massa seadanya, tetapi mempunyai finansial yang tebal untuk kembali menjadi anggota parlemen. Kandidat dengan modal uang tapi moral bobrok ini, bersama dengan elite partai yang korup, akan berkepentingan untuk mengkampanyekan kepada pemilih agar hanya mencoblos partai dan bukannya orang. Sebab, dengan begitu, penentuan anggota parlemen akan relatif dimonopoli oleh elite parpol yang korup.

Bukan itu saja. UU Pemilu juga mengizinkan badan usaha swasta untuk memberikan sumbangan dana kampanye kepada para peserta pemilu. Legalisasi ini jelas sangat berbahaya. Kebutuhan dana kampanye yang sangat tinggi akan membuka peluang mobilisasi korupsi dana pemilu secara massive. Kendatipun aturan dana kampanye mencantumkan klausul sumbangan yang tidak mengikat, namun ketentuan itu masih sangat sumir. Bukan rahasia lagi bahwa di balik sumbangan Pemilu selalu terselip kepentingan bisnis.

Akibatnya, kandidat anggota parlemen -- yang bernafsu kuat pergi ke Senayan namun bermodal moral bobrok -- dengan peluang menerima langsung dana kampanye dari badan usaha swasta ini akan mudah tergiur untuk menjadi hamba-sahaya pengusaha di parlemen. Jalur sumbangan langsung antara kandidat perserorangan dan pengusaha ini seharusnya tidak diizinkan, karena akan membuka peluang penyelewengan loyallitas wakil rakyat menjadi wakil pengusaha korup.

Epilog
Di Jepang, dengan reformasi legislasi Undang-Undang Pengontrolan Dana Politik 1994, individu politisi tidak lagi diizinkan langsung menerima sumbangan, termasuk dari perusahaan. Hal ini dirasa penting karena mengawasi aliran dana ke masing-masing individu politisi jauh lebih sulit dilakukan. (Blechinger, 2000).

Di Indonesia, dengan pemilihan serentak anggota DPR pusat dan daerah serta pemilihan DPD yang kandidatnya dapat mencapai puluhan ribu, izin penerimaan dana kampanye kepada masing-masing kandidat peserta Pemilu akan berpotensi melahirkan jual-beli kursi parlemen di antara peserta Pemilu dengan pengusaha yang sama-sama korup.

Akibat pengaturan dana kampanye yang relatif korup tersebut, tujuan mulia Pemilu untuk membentuk legislatif dan eksekutif yang bebas korupsi menjadi terancam. Kepentingan politik-ekonomoi yang korup akan semakin menjauhkan anggota parlemen dan presiden terpilih nantinya dari konstituen yang sesungguhnya, yakni rakyat.

Berdasarkan argumentasi di atas, nyatalah bahwa Pemilu 2004 berpotensi menjadi ledakan bom waktu korupsi. Alih-alih menjadi pesta nasional rakyat, Pemilu 2004 berpotensi kuat berubah menjadi ledakan massive pesta nasional koruptor. Dan, bila ini betul-betul terjadi, sungguh amat tragis nasib bangsa tercinta ini. (Andriyanto)

Tulisan ini diambil dari Suara Karya online, 3 Oktober 2003

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan