Potensi Korupsi dalam Pelaksanaan Pemilu

Pemilu potensial "dicengkeram" tindak korupsi, sehingga menihilkan proses governance yang seharusnya menjadi prasyarat untuk membangun demokrasi yang berkualitas. Salah satu indikasinya, sebagian peserta pemilu juga mempunyai kapasitas sebagai pejabat negara dan mereka mempunyai potensi melakukan tindakan manipulasi atas kewenangan publiknya, seolah-olah bertindak untuk kepentingan publik. Ada beberapa wilayah "rawan" korupsi di dalam proses ataupun tahapan pemilu yang dapat dilakukan oleh peserta maupun penyelenggara pemilu.

Secara umum ada tiga wilayah yang "rawan" korupsi, sehingga potensial menyebabkan terjadinya kecurangan dan pelanggaran perundangan pemilu, yaitu antara lain sebagai berikut:

Pertama, sebagian pejabat negara dan kepala pemerintahan di daerah adalah orang partai yang notabene peserta pemilu, atau setidaknya, pihak yang mempunyai afiliasi dan kedekatan politik tertentu yang berkaitan dengan posisi dan jabatannya. Pejabat negara tersebut mempunyai potensi untuk menggunakan sumber daya yang didasarkan pada jabatan publiknya untuk kepentingan sang peserta pemilu.

Pada level yang paling konvensional, tindakan pejabat negara dimaksud hanya berupa penggunaan atau pemberian sarana dan kesempatan atas fasilitas negara, seolah-olah untuk kepentingan publik. Misalnya saja penggunaan aset pemerintahan, dan melakukan perjalanan dinas yang menggunakan uang negara tapi dipakai untuk melakukan konsolidasi partai sebagai peserta pemilu.

Di dalam tingkat yang lebih "advanced", kewenangan publik yang dimiliki pejabat negara dan kepala pemerintahan digunakan untuk mendapatkan "rente" ekonomi dan politik dari pihak ketiga. Misalnya, mengkapitalisasi kewenangan yang berkaitan dengan perizinan untuk mendapatkan "sumbangan dana" atau memberikan "privilege" dengan kompensasi tertentu bila berpihak atau menjadi bagian dari partainya si pejabat negara atau kepala pemerintahan tersebut.

Kedua, penyusunan anggaran pada instansi teknis, departemen, ataupun APBD/ APBN, serta pelaksanaan proyek yang dibiayai APBN dan APBD pada akhir tahun mata anggaran rawan untuk dimanipulasi. Kepala daerah, melalui bank milik daerah atau kalangan profesional, dapat "menggunakan" dana APBD melalui permainan di "pasar uang" yang hasilnya disumbangkan kepada partai peserta pemilu. Hal serupa juga potensial terjadi pada BUMN dan BUMD. Fungsi pengawasan yang seharusnya dilakukan parlemen juga akan melemah, karena sebagian anggota parlemen juga punya kepentingan untuk mengkapitalisasi dana agar konsolidasi sumber daya yang dilakukan partai peserta pemilu dengan "eksploitasi" sumber keuangan negara melalui kewenangan publik dapat dilakukan. Misalnya, melaksanakan proyek mercusuar dan/atau konversi program bantuan sosial yang akuntabilitasnya sulit dipertanggungjawabkan.

Ketiga, penyelenggara pemilu menyiasati proses pengadaan barang melalui tender "kolusif" atau penunjukan langsung dengan alasan situasi "darurat" dalam melaksanakan tahapan pemilu. Dana pemilu yang diberikan penyelenggara pemilu untuk membiayai pemilu parlemen dan pemilihan presiden, pelaksanaannya dapat saja berimpitan dengan pilkada kepala pemerintahan. Biasanya, keterlambatan pengeluaran dana dan adanya tahapan yang menumpuk dalam pelaksanaan tahapan pemilu pilkada, pemilihan presiden, dan pemilihan parlemen menyebabkan kontrol menjadi terbatas dan sekaligus membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan tahapan pemilu.

Berkaitan dengan tahapan penyelenggaraan pemilu, ada cukup banyak potensi kecurangan dan korupsi yang dapat terjadi setelah penetapan peserta pemilu, terutama pada tahapan pencalonan, masa kampanye, serta pemungutan dan penghitungan suara, khususnya pada saat menyiapkan perlengkapan pemungutan suara. Adapun perincian potensi kecurangan dan korupsi dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, tahap pencalonan para kandidat. Ada beberapa hal yang cukup rawan di dalam tahapan ini, yaitu penetapan bakal calon, verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon, dan penetapannya. Pada partai yang belum mempunyai mekanisme rekrutmen dan standar prosedur pencalonan internal yang baku, tahapan ini cukup kritis. Ada dinamika dan potensi ketegangan pada proses ini, lebih-lebih pada partai yang sedang mengalami pertikaian internal. Politik uang, perilaku patronase, "sikut-menyikut" dan tindak kekerasan, biasa terjadi di dalam tahapan ini.

Proses verifikasi dan penetapan daftar calon sementara juga punya potensi mengalami kecurangan dan korupsi. KPU menjadi pihak yang mempunyai kewenangan untuk melakukan verifikasi hingga penetapan calon. Pada keseluruhan proses ini, khususnya terhadap partai yang tidak cukup ketat dan teliti menyiapkan kelengkapan calon dan/atau calon "bermasalah" yang tidak memenuhi persyaratan tetapi secara sengaja tetap mengajukan calon tersebut, ada potensi untuk mempengaruhi lembaga KPU; dan tidak ada jaminan staf administratif KPU tidak tergoda "iming-iming" dan "bujuk rayu" calon bermasalah untuk diluluskan dan ditetapkan sebagai calon. Peran Badan Pengawas Pemilu beserta jajarannya dan kontrol publik menjadi penting untuk meminimalkan potensi kecurangan dan korupsi pada tahapan pencalonan ini.

Kedua, tahapan masa kampanye. Potensi kecurangan dan korupsi pada tahapan ini juga cukup mengkhawatirkan. Ada beberapa titik rawan yang perlu diperhatikan, yaitu ketidakjelasan pengelolaan dana kampanye, penggunaan fasilitas negara dan pemerintahan untuk kampanye, konflik kepentingan dalam menjalankan konsolidasi partai dan mempengaruhi pemilih melalui acara dan program yang dilakukan instansi pemerintahan, perilaku diskriminatif pimpinan dan kalangan pemerintahan yang berafiliasi atau punya favoritisme pada partai tertentu, serta mempengaruhi pemilih dengan politik uang.

Pada tahapan ini juga potensial terjadi provokasi dan eksploitasi penggunaan simbol, etnis, ras, slogan, dan metode black campaign yang menyerang peserta pemilu atau kelompok tertentu. Ketidakmampuan dan/atau sikap diskriminatif di dalam mengelola potensi konflik tersebut akan memicu dan mengubah pola konflik, intensitas, kemasifan, dan penggunaan kekerasan sehingga menimbulkan instabilitas sosial.

Ketiga, tahapan pemungutan dan penghitungan suara. Sebelum proses pemungutan suara dilakukan, pengadaan sarana kelengkapan proses pemungutan menjadi tahapan yang paling potensial menyebabkan terjadinya tindak pidana korupsi. Pengadaan barang dan distribusi sarana pemilu menjadi kunci sukses pemilu, tetapi sekaligus memerlukan manajemen kepemiluan yang baik. Dana yang sangat besar untuk membiayai tahapan ini punya potensi untuk dikorupsi sehingga lembaga pengawas, termasuk Bawaslu, KPK, dan lembaga watch dog masyarakat, perlu diaktifkan dan diefektifkan untuk mengawasi tahapan ini.

Politik uang untuk mempengaruhi pemilih dan penyalahgunaan kewenangan pejabat pelaksana pemilu potensial dilakukan pada tahapan ini. Sikap dan perilaku kolusif karena keberpihakan, favoritisme, dan afiliasi terselubung biasa terjadi sehingga pelaksana pemungutan dan penghitungan suara harus dikontrol para pemilih. Hal serupa juga dapat terjadi pada tahapan penetapan pemenang pemilu di KPUD kabupaten/kota dan provinsi, selain nasional. Faksionalisasi anggota KPUD dapat menyebabkan proses penghitungan dan penetapan suara di lembaga KPUD menjadi bermasalah.

Pemetaan atas potensi kecurangan dan tindak korupsi, beserta modus operandi kejahatan pada setiap tahapan seperti diuraikan di atas, harus dicegah dan diminimalkan karena akan mempengaruhi kualitas penyelenggaraan pemilu. Selain itu, bilamana kecurangan dan korupsi yang terjadi di dalam penyelenggaraan pemilu bersifat masif, pemilu kehilangan justifikasi moral politik dan dapat saja memicu tindakan sebagian kalangan untuk mendelegitimasi proses penyelenggaraan dan hasil pemilu. Atau, setidaknya, pemilu yang dipenuhi oleh kecurangan dan pelanggaran yang bersifat masif tidak akan pernah mampu menghasilkan anggota parlemen dan kepala negara yang punya integritas dan profesionalitas tinggi akibat proses penyelenggaraan pemilu memang tidak berkualitas.

Bambang Widjojanto,   Dosen Universitas Trisakti, Legal Advisor Partnership, Anggota Komite Kebijakan Governance

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 4 September 2008 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan