Polri Jangan Gegabah Panggil Pimpinan KPK

Terkait dengan Surat Panggilan 4 Pimpinan KPK dan 4 staff KPK oleh POLRI, ICW menyampaikan RILIS seperti dibawah ini:

Press Release
POLRI JANGAN GEGABAH PANGGIL PIMPINAN KPK
- Pemanggilan Pimpinan KPK jangan Hambat Kasus Bank Century -

Ketika perhatian publik fokus pada perkembangan Skandal Rp. 6,76 triliun Bank Century, Kepolisian RI melayangkan surat panggilan pada pimpinan KPK. Pemanggilan ini bukan pertama kali dilakukan POLRI. Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Chandra M. Hamzah juga telah dipanggil dalam terkait dengan tuduhan penyadapan ponsel Nasrudin dan Rani dalam kasus yang melibatkan Ketua KPK non-aktif, Antasari Azhar.

Informasi yang berkembang, bahkan 4 pimpinan KPK yang tersisa akan diseret satu persatu. Atas dasar itulah, Presiden SBY menindaklanjutinya dengan melakukan rapat koordinasi penegak hukum di Istana. Agar POLRI – KPK tidak saling berkompepetisi secara negatif. Akan tetapi, saat ini sebuah surat panggilan dari Mabes POLRI terhadap 4 pimpinan KPK dan 4 staff KPK menimbulkan kecurigaan. Apakah ini adalah bagian dari upaya menyerang KPK?

Setidaknya ada dua surat tertanggal 2 September 2009 yang ditujukan pada pimpinan KPK:
1. Surat Bantuan Penghadapan Nomor Pol.: B/2142/Dit.III/IX 2009/Bareskrim
Berisikan permintaan bantuan POLRI pada pimpinan KPK untuk menghadapkan 4 orang pimpinan KPK (Haryono; M. Jasin; Bibit Samad Rianto, dan Chandra M. Hamzah); dan 4 pegawai KPK: Iswan Helmi, Direktur Penyelidikan; Chaidir, Biro Hukum KPK; Arry Widiatmoko, Satgas Penyelidik KPK; dan Rony Samtana, Penyidik KPK.

8 petinggi KPK diminta menghadap pada Kepala Unit V Dit III/Pidkor & WCC Bareskrim POLRI, KOMBES Pol. Drs. A. J. Benny Mokalu, S.H.

2.Surat Panggilan No.Pol. Sp.Pgl./325/IX/2009/Pidkor & WCC,
Memanggil Wakil Ketua KPK, Haryono (4/9) terkait dugaan tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang seperti diatur Pasal 23 UU 31/1999 jo UU 20/2001 dan Pasal 421 KUHP yang terjadi pada bulan Agustus 2008 s.d Juni 2009.

Pemanggilan ini memiliki sejumlah kejanggalan. Kapolri dan Kabareskrim  sempat menyatakan tidak mengetahui surat tersebut. Untuk kasus sebesar ini dan terkait dengan sebuah lembaga negara yang sangat penting tentu sangat aneh jika tidak ada koordinasi di tubuh POLRI. Kecuali Kapolri dan Kabareskrim tidak memberikan keterangan yang sebenarnya.

Selain itu, keanehan seputar panggilan terhadap KPK dapat dilihat dari tiga fenomena:

Pertama, upaya oknum tertentu di tubuh POLRI untuk memanggil pimpinan KPK, dan informasi yang beredar akan ditangkapnya pimpinan KPK bukan pertama kali terjadi. Pasca kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnain yang diduga melibatkan Ketua KPK non-aktif, publik sudah merasakan keanehan ketika sejumlah pihak saat itu berperilaku menyerang KPK. POLRI memanggil Wakil Ketua KPK, Chandra M. Hamzah terkait dengan penyadapan ponsel Nasruddin dan Rani Juliani. Bahkan sempat beredar informasi, Wakil Ketua KPK tersebut akan dijerat dengan UU Telekomunikasi atau UU ITE.

Kedua, tidak hanya Chandra, pimpinan KPK dikabarkan akan ditetapkan sebagai tersangka satu persatu. Bahkan tinggal satu orang saja. Kasus Korupsi SKRT yang melibatkan PT. Masaro merupakan titik tolak yang digunakan untuk menjerat pimpinan KPK. Hal ini berujung dengan dikeluarkannya testimoni oleh Antasari Azhar, bahwa Anggoro mengaku sudah memberikan sejumlah uang pada KPK melalui “dua makelar”.

Saat itu, kembali beredar informasi, bahwa 3 pimpinan KPK akan ditetapkan sebagai tersangka. Jika informasi tersebut benar, ICW tentu saja menyayangkan sikap over-reaktif oknum POLRI. Karena selain testimoni AA tidak bernilai sebagai alat bukti, sejumlah keterangan dan rekaman pembicaraan 4 pria di Singapura tersebut juga tidak menunjukan terjadinya sebuah transaksi suap seperti apa yang dikabarkan ke publik.

Lemahnya alat bukti tentu saja membuat publik semakin yakin, bahwa ada upaya sistematis menghancurkan KPK melalui penetapan tersangka satu per-satu pimpinan KPK, dan staff inti KPK. Atau, minimal ini dapat menjadi kampanye negatif atau pembusukan terhadap KPK. Karena institusi ini tergolong sebagai institusi yang paling berhasil menyeret koruptor kakap ke persidangan. Wajar ICW kemudian menilai, serangan sistematis tersebut sangat terkait dengan corruptor fight back.

Apakah Kepolisian terlibat secara institusional menghancurkan KPK? Hal inilah yang perlu dijawab oleh Kapolri sebagai puncak kekuasan Kepolisian dengan kinerja dan profesionalitas penanganan sebuah perkara. Penetapan tersangka tentu saja tidak bisa dilakukan secara serampangan, harus didasarkan pada alat bukti yang kuat dan tidak meragukan (non-reasonable doubt).

Lemahnya dasar upaya menjerat pimpinan KPK dalam kasus Masaro semakin menguat saat, Anggoro W. (tersangka dan buron KPK) justru melaporkan kasus Pemerasaan oleh dua orang yang mengaku utusan KPK pada Kepolisian. Dengan kata lain, sangat mungkin Anggoro ditipu oleh oknum yang menatasnamakan KPK dengan iming-iming kasus korupsi Masaro “didamaikan”. Akan tetapi, ternyata hal tersebut terbukti sebaliknya. Kasus Masaro saat ini telah ditingkatkan ke level Penyidikan oleh KPK. Kalaupun sejumlah uang diberikan pada pihak tertentu, maka tujuan suap tersebut tidak terpenuhi, yakni penghentian kasus Masaro.

Ketiga, oknum POLRI kembali melakukan tindakan kontroversial saat memanggil 4 pimpinan KPK dan 4 staf utama KPK. Tuduhan yang digunakan saat  ini “penyalahgunaan wewenang” dalam penanganan kasus korupsi.

Pasal 23 UU 31/1999 jo 20/2001: Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana…

Pasal 421 KUHP: Seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, ….”

Mencermati dua pasal yang digunakan dalam panggilan pemeriksaan pidana tersebut, tentu saja POLRI tidak dapat secara serampangan melakukan panggilan. Pertamakali harus diperjelas beberapa unsur penting yang diatur dalam pasal tersebut. Hal ini untuk menghindari adanya potensi penyalahgunaan kewenangan oleh oknum kepolisian yang merasa tidak senang dengan KPK.

POLRI harus memperjelas bahwa pemanggilan tersebut hanya dapat dilakukan “dalam perkara korupsi”. Tidak dapat diterapkan untuk pidana biasa. Sehingga, POLRI secara tegas menyampaikan kasus korupsi apa yang sedang diperiksa Kepolisian dan terkait dengan dugaan surat panggilan tersebut.

Seperti diketahui, Kabareskrim justru menyatakan “mungkin pemanggilan terkait dengan kasus Ary Muladi”. Penggunaan pasal 23 yang secara tegas menyatakan kasus hanya dapat diproses “dalam perkara korupsi” justru semakin menimbulkan keanehan dimata masyarakat. Karena Ary Muladi sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh POLRI atas laporan Anggoro Widjaya dalam sebuah kasus tindak PIDANA PEMERASAN, tepatnya Pasal 263, 372, dan 378 KUHP. Bukan Korupsi.

Perdebatan hukum pasal 23 dan 421 tersebut tentu masih sangat mungkin dibuka secara lebih luas. Namun, lebih dari itu yang terpenting saat ini adalah memastikan motif POLRI melakukan pemanggilan murni penegakan hukum.

Jikapun pihak KPK dianggap melakukan dugaan penyalahgunaan wewenang terkait dengan penanganan kasus korupsi, seharusnya mekanisme yang digunakan pihak yang dirugikan (tersangka) adalah dengan mengajukan permohonan pra peradilan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bukan dengan cara mengajukan pelaporan pidana ke kepolisian. Tindakan pihak kepolisian melakukan proses pemanggilan terkait dengan kasus dugaan penyalahgunaan wewenang ini dapat diartikan polisi tidak mengerti aturan hukum khususnya KUHAP.  

Lebih dari itu, publik berharap pemanggilan 8 orang dari KPK tersebut tidak ditujukan untuk mempengaruhi rencana penanganan Kasus Bank Century yang sedang diproses KPK. Seperti diketahui, saat ini KPK sedang melakukan kerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengungkap dugaan korupsi dibalik pencairan bantuan Rp. 6,76 triliun untuk Bank Century. Kuatnya dugaan konflik kepentingan antara deposan kakap, dugaan fraud yang akan diaudit oleh BPK, bahkan sebuah surat yang ditandatangani oleh salah seorang petinggi POLRI untuk pencairan dana PT. LSB sangat mungkin menempatkan KPK dalam posisi terjepit. Apakah pemanggilan pimpinan KPK ditujukan untuk menghambat penanganan dugaan korupsi Bank Century?

Berdasarkan uraian diatas dengan ini kami meminta:

  1. Mengingatkan POLRI agar profesional dan tidak menyalahgunakan kewenangan dalam pemeriksaan terhadap sejumlah pimpinan KPK.
  2. Meminta KPK secara konsisten tetap melakukan pemberantasan korupsi, khususnya dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi Bank Century.

Jakarta, 4 September 2009

Indonesia Corruption Watch

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan