Polri Harus Buka 17 Rekening Tidak Wajar
Status hukum 17 rekening milik perwira Polri yang dinilai tidak wajar kini menjadi perdebatan. Komisi Informasi (KI) Pusat melalui putusannya yang dibacakan pada 8 Februari lalu menilai, informasi mengenai nama 17 perwira Polri pemilik rekening tak wajar dan besaran isi rekeningnya adalah informasi publik. Namun Markas Besar Polri menolak membuka rekening itu, dengan alasan membuka rekening yang berasal dari laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) itu dapat melanggar undang-undang.
Polri menyandarkan alasannya pada UU Pencucian Uang. Pasal 11 Ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyatakan, pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan untuk pelaksanaan tugasnya menurut UU ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan itu, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut UU ini. Selain itu, Polri juga beralasan, mekanisme banding atas putusan KI tidak jelas.
Polri menggugat putusan KI Pusat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun gugatan itu tidak bisa diproses, karena PTUN tidak bisa mengadili putusan lembaga publik yang digugat oleh institusi pemerintah lainnya. Polri pun mencabut gugatannya pada 7 Juni lalu. Sesuai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dan Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyelesaian Sengketa Informasi, 14 hari setelah pencabutan gugatan itu, putusan KI sudah inkracht (berkekuatan hukum tetap).
Sengketa informasi ini terjadi antara Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Mabes Polri. ICW selaku pemohon informasi mengajukan sengketa ini ke KI Pusat, dan KI telah membacakan putusannya pada 8 Februari lalu. Menurut Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jimly Asshiddiqie, ICW bisa melaporkan Kepala Polri ke provost. Kapolri bisa dikenai Pasal 52 UU KIP dengan pidana kurungan satu tahun atau denda Rp 5 juta. Polri juga bisa diadukan karena telah menghalang-halangi penegakan hukum (obstruction of justice).
Sangat disayangkan jika Polri tetap pada sikapnya untuk tidak mau membuka 17 rekening tersebut. Kasus ini sudah mencuat ke permukaan sebelum ICW mengajukan sengketa ke KI. Justru karena melihat peluang untuk terbukanya nama-nama pemilik rekening dan besaran isi rekeningnya sesuai UU KIP, maka ICW mengajukan sengketa ke KI. Kalau setelah muncul putusan pun Polri tetap bersikukuh menutup informasi rekening, institusi hukum mana lagi yang bisa memerintahkan untuk membukanya? KPK pun cenderung menyerahkannya ke Polri.
Benang merah kasus ini sebenarnya sudah amat jelas. Prinsipnya, keuangan pejabat publik harus bisa diawasi oleh masyarakat, karena pejabat negara menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) terkait penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. UU KIP mengamanatkan spirit untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang lebih transparan dan demokratis. Jika institusi penegak hukum seperti Polri saja tidak mendukung semangat transparansi itu, maka pemberantasan korupsi dan good governance menghadapi ujian yang berat.
Tulisan ini merupakan tajuk rencana Suara Merdeka, 19 Juli 2011