Polri Bisa Tukar Barang Bukti; Setelah UU Timbal Balik Disahkan DPR
Kapolri Jenderal Pol Sutanto pernah menyinggung UU Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana yang kemarin disahkan DPR. Dalam tanya jawab dengan pers 27 Januari lalu -saat mantan Komisaris Bank Bira Atang Latif, penerima BLBI, dengan sukarela pulang dari Singapura- Kapolri mengatakan, Adanya UU Bantuan Timbal Balik Masalah Pidana yang akan lahir itu tentu memudahkan kerja kita.
Seorang penyidik di Bareskrim Mabes Polri yang kerap menangani korupsi antarnegara mengatakan, selama ini pihaknya memang seolah bergerak tanpa payung hukum yang cukup. Polri hanya mengandalkan hubungan baik antarpersonel polisi di negara dimaksud karena tidak ada sistem legal yang mengatur secara formal. Mereka kan bisa mengatakan, hukum kami begini, hukum Anda begitu, maka kita tak bisa bekerja sama, ujarnya.
Namun, dengan adanya mutual legal assistance in criminal matter ini, hakikatnya bahasa hukum Indonesia bisa juga dipahami di negara lain sepanjang sama-sama sudah mengadopsi sistem yang sama. Selanjutnya, UU baru ini akan mempermudah proses penyelidikan dan penyidikan antarnegara. Istilahnya, bahasa hukum kita bisa jadi sama, lanjut perwira menengah ini.
Berbekal UU ini pula, masih kata penyidik tersebut, antar penegak hukum tentu bisa bertukar informasi tentang sebuah peristiwa kejahatan, identitas pelaku, hingga barang bukti. Jadi, semuanya jadi resmi dan ada payungnya, lanjutnya.
Indonesia sesungguhnya sudah memiliki pintu untuk mendapatkan bantuan hukum timbal balik dengan negara lain. Misalnya melalui perjanjian bilateral dengan Australia. Pada November tahun lalu, Indonesia juga sudah menandatangani mutual legal assitance (MLA) dengan sebagian negara ASEAN, ditambah Tiongkok, Hongkong, dan Korea. Namun, hingga kini belum juga dilakukan ratifikasi sebagai tindak lanjutnya. Sehingga, perjanjian tersebut belum bisa diimplementasikan.
Selain itu, bantuan hukum timbal balik ini bisa dilakukan Departemen Luar Negeri melalui jalur diplomatik atas dasar hubungan internasional. Namun, upaya lewat jalur diplomatik memakan waktu lama.
Ketua Studi Korupsi UGM Denny Indrayana mengungkapkan, dengan diundangkannya UU ini, pemerintah dan aparat penegak hukum belum tentu lebih mudah memburu koruptor yang lari ke luar negeri. Pelaksanaannya tetap harus diikuti perjanjian ekstradisi.
Tanpa ada perjanjian ekstradisi akan sulit karena UU ini hanya mengikat ke dalam, jelasnya saat dihubungi Jawa Pos tadi malam. Padahal, menurut Denny, saat ini cukup banyak negara yang tidak mau melakukan perjanjian ekstradisi.
Seperti Singapura, dari dulu memang susah. Permintaannya macam-macam. Padahal, cukup banyak koruptor yang melarikan diri ke sana, tuturnya. Kesulitan pemerintah bila tak bisa melakukan perjanjian ekstradisi, menurut Denny, tak hanya menyangkut penangkapan terdakwa secara pidana. Namun juga tentang sumber informasi, keterangan, ataupun dokumen.
Seperti kasus Hendra Raharja yang meninggal di Australia. Hingga sekarang pemerintah Australia tidak bisa menunjukkan mayat Hendra. Ini hanya salah satu contoh kasus, paparnya. Kendati demikian, Denny menyambut baik lahirnya UU ini. Setidaknya, ada semangat dari pemerintah untuk menegakkan hukum meski orang maupun barang bukti dilarikan ke luar negeri, jelasnya.
Hanya, tambahnya, sebenarnya yang perlu diprioritaskan pemerintah adalah bagaimana agar tidak banyak tersangka maupun terdakwa yang lari ke luar negeri. Pemerintah kan sekarang begitu mudah memberi izin