Politisi dan Pengusaha Bersekongkol Korupsi

Korupsi di Indonesia semakin sulit diberantas karena pemimpin politik dan pebisnis bersekongkol dan persekongkolan itu telah memengaruhi seluruh kebijakan publik yang diambil pemimpin politik. Persekongkolan saat ini sudah sangat sistematis, sementara sikap masyarakat permisif terhadap pelanggaran hak-haknya.

Demikian diungkapkan oleh pengamat ekonomi Bustanul Arifin dalam diskusi Pemberantasan Korupsi Melalui Gerakan Transparansi Anggaran yang diselenggarakan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Jakarta, Sabtu (12/3). Selain Bustanul Arifin, pembicara lain dalam diskusi itu adalah Deputi Bidang Informasi dan Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) M Syamsa Ardisasmita.

Masyarakat seharusnya tidak lagi bersikap permisif terhadap pelanggaran hak-haknya sebagai warga negara. Masyarakat juga jangan terkecoh dengan sikap dan kamuflase kebaikan hati para koruptor. Korupsi itu hanya asap, bukan akar masalah. Akar besar terjadinya korupsi adalah buruknya sistem dan aransemen kelembagaan, ucap Bustanul.

Penguatan masyarakat sipil dalam memberantas korupsi merupakan upaya efektif untuk memberantas korupsi. Karena itu, janganlah masyarakat sipil permisif terhadap persekongkolan pemimpin politik dan pebisnis yang melanggar hak- haknya sebagai warga negara. LSM-LSM (lembaga swadaya masyarakat) juga jangan terkecoh karena menerima dana dari para koruptor, kata Bustanul lagi.

Yang perlu dibangun dan ditularkan ke seluruh masyarakat, lanjutnya, adalah perasaan jijik berdekatan dengan koruptor. Kita harus merasa jijik jika berdekatan dengan koruptor. Mereka telah menggerogoti keuangan negara dan menyebabkan perekonomian Indonesia anjlok, kata Bustanul.

Bantuan konsultan
Syamsa menjelaskan bahwa amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengukuhkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai satu-satunya auditor eksternal keuangan negara yang bebas dan mandiri. Transparansi fiskal ditegakkan dengan menerbitkan Undang- Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Cakupan audit BPK meliputi seluruh aspek keuangan negara, seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), anggaran nonbudgeter, badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), serta berbagai yayasan yang terkait dengan kedinasan.

Khusus untuk masalah korupsi di daerah, lanjut Syamsa, modus-modus yang muncul adalah kehadiran konsultan bermasalah dalam berbagai macam proyek yang mengatasnamakan pembangunan dan pengentasan rakyat dari kemiskinan. Modus operandinya adalah tender yang pemenangnya diatur terlebih dahulu dengan bantuan para konsultan itu.

Pola yang sering terjadi juga adalah pemindahan dana milik pemerintah di rekening giro bendaharawan ke rekening pribadi. Kami kira itu hanya terjadi tanggal 31 Desember, ternyata setiap saat bisa terjadi, kata Syamsa. (VIN)

Sumber: Kompas, 14 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan