Politisasi Korupsi dan Pemilihan Kepala Daerah

Seiring dengan kian banyaknya para politikus yang terjerat pasal pidana korupsi, isu adanya politisasi kasus korupsi semakin santer. Apalagi menjelang pemilihan kepala daerah langsung, banyak pihak yang meragukan keaslian motif pengungkapan kasus korupsi yang diduga cenderung mengandung unsur politis. Jadi pengungkapan kasus korupsi bukan murni upaya untuk memberantas korupsi.

Misalnya saja ada kepentingan politik untuk menggoyahkan posisi seseorang yang hendak tampil sebagai calon kepala daerah. Oleh karena itu, tuduhan politisasi korupsi tidak pernah dialamatkan kepada pejabat publik nonpolitis (pejabat negara di luar DPRD dan kepala daerah atau wakilnya).

Dalam konteks di atas, pihak-pihak (baca: partai politik dan elitenya) yang menyatakan adanya politisasi korupsi sebenarnya dapat dianggap juga memiliki motif politik. Paling tidak ada kepentingan untuk mengerem atau menghentikan tindakan hukum terhadap dugaan korupsi yang tengah diproses. Tujuannya sangat mungkin untuk mengamankan proses politik yang sekarang sedang berjalan, baik di level internal partai maupun dalam kaitannya dengan proses negosiasi dengan kelompok politik lain menjelang pemilihan kepala daerah. Tekanan ini tampaknya cukup kuat, sehingga aparat penegak hukum menjadi bimbang untuk meneruskan proses hukum kasus-kasus korupsi yang kemungkinan besar akan menyeret mereka ke arena pertarungan politik.

Kasus yang dapat memberikan gambaran yang cukup jelas adalah dugaan korupsi yang menimpa mantan Bupati Kutai Kertanegara, Syaukani, dan Gubernur Kalimantan Timur saat ini, Suwarna. Kedua tokoh dari Kalimantan Timur ini sama-sama dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh beberapa kelompok masyarakat di sana. Pertimbangan yang sangat hati-hati untuk melanjutkan atau tidak dugaan korupsi yang dilaporkan oleh unsur masyarakat atas dua orang tersebut dapat dimengerti dalam konteks penerapan prinsip netralitas aparat penegak hukum.

Namun, aparat penegak hukum juga harus secepatnya mengambil keputusan untuk memproses setiap adanya dugaan korupsi yang melibatkan siapa pun tanpa pandang bulu. Membiarkan laporan adanya dugaan korupsi yang melibatkan politikus tanpa ada kejelasan proses hukumnya justru akan sangat menguntungkan para politikus korup. Dengan menggunakan isu adanya politisasi kasus korupsi, para politikus korup itu justru akan dapat terhindar dari proses hukum.

Barangkali tuduhan adanya politisasi korupsi tidak mungkin dapat dihindari, tapi yang harus diingat bahwa setiap proses hukum atas berbagai tindak korupsi yang dilakukan para politikus harus bersandar dan tetap mengacu pada kebenaran data dan informasi. Ketika data dan informasi mengenai dugaan korupsi terhadap para politikus mengandung cukup bukti yuridis, dalam situasi menjelang pemilihan kepala daerah pun kasus itu harus tetap diproses. Pendek kata, penegakan hukum atas tindak pidana korupsi tidak bergantung pada ada atau tidaknya unsur politisasi korupsi, melainkan ada atau tidaknya unsur tindak pidana korupsi itu sendiri.

Wajar dalam situasi menjelang pemilihan kepala daerah tensi politik kian tinggi. Berbagai upaya untuk memenangi pertarungan politik sudah mulai dilakukan. Termasuk di dalamnya melaporkan adanya dugaan korupsi terhadap para calon yang kemungkinan besar akan maju kembali sebagai kandidat. Cara demikian sebenarnya tidak harus dianggap sebagai praktek politisasi korupsi.

Mungkin kalimat yang lebih tepat untuk mewakilinya adalah kampanye negatif. Berbeda dengan kampanye hitam, kampanye negatif merupakan kegiatan untuk menjatuhkan lawan politik dengan tetap bersandar pada fakta. Akan tetapi, lingkup dari kampanye negatif itu sendiri tidak boleh masuk wilayah sentimen primordial, seperti menyinggung soal agama, suku, atau kelompok yang akan memancing konflik komunal dan horizontal.

Lingkup kampanye negatif adalah lingkup demokrasi. Artinya, dalam tatanan demokrasi, bisa saja setiap orang dengan terbuka mengungkapkan suatu fakta dan yang lainnya mengemukakan pendapat mengenai hal itu. Jika sistem demokrasi memang transparan, melalui demokrasi itu kita tidak akan menghasilkan calon yang mempunyai kelemahan dan kekurangan sebagai pemimpin. Apalagi pemimpin yang memiliki watak korup.

Dalam konteks itu, kampanye negatif dengan membongkar kasus-kasus korupsi para politikus justru memiliki nilai strategis untuk mengeliminasi kandidat pejabat publik yang tidak memiliki integritas.

Maraknya kasus korupsi di daerah yang dominan pelakunya adalah anggota DPRD dan kepala daerah selama ini merupakan cermin buruknya kualitas politikus kita. Hal itu tidak dapat dilepaskan dari model dan sistem rekrutmen politik yang kental dengan aroma uang. Dalam korupsi elektoral dikenal empat bentuk korupsi, yakni pembelian kandidat (candidacy buying) atau pembelian kursi (seat buying), pembelian pengaruh, pembelian administrasi elektoral (administrative electoral buying), dan pembelian suara (vote buying).

Keempat bentuk korupsi elektoral itulah yang menyeret para politikus masuk dalam siklus korupsi politik. Investasi politik yang sangat mahal untuk menjadi calon atau kandidat pejabat publik mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan pada saat mereka berkuasa. Hal pertama yang dipikirkan setelah mereka menjabat dalam situasi ketika proses politik itu dipenuhi dengan praktek suap adalah bagaimana mengembalikan dengan cepat modal yang telah dikeluarkan. Tak mengherankan bila kemudian korupsi yang melibatkan DPRD dan kepala daerah terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Kampanye negatif juga sekaligus mendorong adanya rasionalisasi pemilih dalam berhadapan dengan elite politik. Tradisi politik yang meletakkan ikatan emosional sebagai landasan relasi antara pendukung dan kandidat justru memicu meluasnya praktek korupsi. Kecenderungan kasus korupsi di daerah yang sulit untuk diseret ke pengadilan lebih banyak karena faktor dukungan massa terhadap tersangka korupsi, selain karena unsur suap-menyuap antara tersangka dan jaksa atau hakim.

Dukungan massa yang membabi buta terhadap tokoh yang korup sangat menyulitkan upaya pemberantasan korupsi. Adanya ancaman, intimidasi, dan kekerasan yang menimpa kelompok masyarakat antikorupsi dan aparat penegak hukum di daerah oleh para pendukung tokoh korup ataupun kelompok bayaran merupakan sebuah preseden buruk bagi gerakan antikorupsi.

Dengan demikian, kampanye negatif merupakan sarana efektif untuk menggeser paradigma masyarakat pemilih dalam kehidupan politik, yakni dari tendensi emosional menuju rasionalitas pemilih. Bangkitnya rasionalitas pemilih ditandai dengan semakin kritisnya mereka dalam menentukan siapa kandidat yang layak untuk menjadi pemimpin. Pilihan-pilihan itu terkait dengan penilaian visi dan misi, integritas kandidat, kualitas individu dan programnya, bukan pilihan-pilihan karena satu agama, satu suku, satu keluarga, dan satu kelompok.

Melalui kesadaran pemilih, sedikit demi sedikit, para politikus korup yang selama ini memanfaatkan ikatan emosional masyarakat akan tergusur dari arena politik. Namun, sayang, partai politik dan elitenya tidak menangkap sinyal itu. Mereka justru kini menjadi bunker perlindungan bagi para koruptor dengan terus mengkampanyekan adanya politisasi kasus korupsi.(Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 23 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan