Politik Uang, Sisi Gelap Demokrasi

PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2007 tidak hanya berlangsung tanpa gejolak, tetapi juga membuka sisi gelap demokrasi. Dari kisah tercecer pemilihan kepala daerah di Ibu Kota, Mayor Jenderal (Purn) Djasri Marin dan Mayor Jenderal (Purn) Slamet Kirbiantoro terang-terangan menagih uang mereka, yang telah diberikan kepada partai politik. Keduanya mengaku menjadi ”korban” politik.

Djasri mengaku menyetor Rp 50 juta saat mendaftar sebagai bakal calon. Setelah itu, ia dimintai uang oleh sejumlah pengurus partai untuk musyawarah kerja, rapat pimpinan, sosialisasi, dan alasan lain. Ia mengeluarkan Rp 3 miliar. Sebagian disertai tanda terima. Slamet juga mengaku memiliki bukti dari dana yang ditransfer kepada pengurus partai. Keduanya ditawari menjadi calon gubernur atau wakil gubernur (Kompas, 16/6/2007).

Keberanian Djasri dan Slamet membuka permainan parpol itu menjadi semacam konfirmasi bahwa selama ini memang ada ”jual beli” dalam pencalonan seseorang menjadi kepala daerah. Nilai ”perdagangan politik” itu tak murah, miliaran rupiah.

Kisah Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip tahun 2005, yang pada periode pertama dicalonkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, lalu berganti partai pengusung, diduga juga terkait mahalnya biaya untuk partai itu. Meski tak pernah terbuka diakui, ketika mencalonkan kembali, Sukawi diusung Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Saat mencalonkan diri sebagai gubernur Jawa Tengah tahun 2009, Sukawi diusung Partai Demokrat.

Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki pun pernah disebut-sebut sebagai calon gubernur Banten tahun 2007. Namun, akhirnya ia tidak pernah maju sebagai calon. ”Enggak punya uang,” katanya saat itu.

Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Tengah, Senin (4/10) di Jakarta, mengakui, untuk menjadi calon kepala daerah, ada bantuan dari partai. ”Tetapi tak banyak karena saya diusung satu partai saja,” katanya. Apalagi ia adalah petahana. PDI-P mendukung sepenuhnya.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menuturkan, ada perbedaan menjadi calon kepala daerah pada masa lalu dan sejak masa reformasi tahun 1998. Ia tak mengeluarkan sepeser uang pun saat menjadi Bupati Solok, Sumatera Barat, periode 1995-2000. Ia dipilih anggota DPRD dan lancar karena disetujui tiga jalur, yakni ABRI, birokrasi, dan Golongan Karya.

Namun, situasi berubah. Saat mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatera Barat tahun 2005, ia menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 miliar. Jumlah ini relatif kecil untuk pencalonan gubernur.

”Dana Rp 3,5 miliar itu hasil sumbangan banyak orang. Ada yang membawa stiker ke posko. Posko pun hanya saya sewa selama tiga bulan,” kata Gamawan, peraih Bung Hatta Anticorruption Award tahun 2004.

Ia mengakui, ada calon gubernur yang harus menyediakan uang Rp 50 miliar untuk membiayai pencalonannya. Sumber dana bisa macam-macam, termasuk ”investasi” pengusaha.

Hadi Supeno, mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, juga mengakui sempat gamang saat ada beberapa pengusaha di daerah asalnya menawarinya siap menjadi sponsor untuk pencalonan dirinya sebagai bupati. Namun, tawaran itu tak gratis. Mereka meminta proyek di daerah itu harus diserahkan kepada promotor. Hadi menolak. Ia juga kalah pada Pilkada Banjarnegara tahun 2006.

”Pilkada masih menjadi ajang percaloan. Bahkan, sepertinya lebih parah lagi sekarang,” kata Hadi, yang menuliskan pengalamannya itu dalam buku berjudul Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan. ”Pilkada butuh banyak uang. Bagi yang tengah menjabat (petahana), dalam dua tahun terakhir pasti jorjoran cari uang dari proyek. Bagi yang tak menjabat, pasti cari dana dari sponsor. Padahal, tiada makan siang gratis,” katanya.

Teras Narang mengakui, tidak jarang kepala daerah yang masih menjabat, saat mencalonkan diri lagi, memainkan APBD untuk meningkatkan keterpilihannya. Dana bantuan sosiallah yang bisa dimainkan. ”Sebab itu, setahun sebelum pilkada, saya tidak mengeluarkan dana bantuan sosial. Pemberian bantuan, dengan dana bantuan sosial, menjelang pilkada, dapat saja dianggap politik uang,” katanya. Tak sedikit kepala daerah yang terjerat kasus korupsi terkait APBD.

Beban biaya
Selain bantuan dana dan barang dari pendukung, tak jarang calon kepala daerah terpaksa berutang atau menjual harta bendanya untuk membiayai pencalonan dan kampanye. Jika menang dan terpilih, ia bisa mengembalikan pinjaman itu. Namun, jika gagal, ia bisa berhadapan dengan masalah hukum.

Kisah pengusaha Sutoto Agus Pratomo, yang Juni 2010 ditemukan tewas gantung diri di kantornya, bisa menjadi bahan renungan. Istri Sutoto, Dasih Ardiyantari, adalah calon wakil wali kota Semarang pada Pilkada 2010. Dasih kalah. Kematian Sutoto diduga terkait beban biaya politik yang harus ditanggungnya setelah istrinya gagal.

Juni 2010, Memet Rochamad juga ditemukan tewas gantung diri di rumahnya di Jaka Sampurna, Bekasi, Jawa Barat. Memet adalah calon bupati Bekasi pada pilkada tahun 2007, tetapi gagal. Kematiannya juga diduga terkait dengan depresi atas kekalahannya dan penyakit stroke yang dideritanya.

Sebaliknya, Yuli Nursanto tahun 2008 tak sampai melakukan tindakan fatal. Namun, calon bupati Ponorogo, Jawa Timur, itu pernah lari dari Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Harjono, Ponorogo, hanya dengan memakai celana dalam. Ia juga pernah tiduran di trotoar sehingga menjadi tontonan warga. Namun, ia akhirnya dinyatakan sehat sehingga bisa diadili di Pengadilan Negeri Ponorogo atas dugaan penipuan dan penggelapan senilai Rp 2,9 miliar. Bisa jadi, uang itu adalah biaya pencalonannya. (aik/ato/tra)
-----------
KORUPSI DI PILKADA
Sekarung Beras di Mahkamah Konstitusi

Ini bukan cerita tentang pembagian jatah beras untuk pegawai negeri sipil di instansi pemerintah. Cerita sekarung beras ini ada dalam persidangan Mahkamah Konstitusi atau MK. Pada 30 September lalu sekarung beras dihadirkan pihak yang berperkara, khusus dibawa dari Papua Barat. Beras itu adalah barang bukti.

Kuasa hukum pemohon sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, meminta majelis hakim membuka karung beras itu. Mereka mendengar di dalamnya juga ada amplop berisi uang.

Permintaan itu mengundang sanggahan dari kuasa hukum pemenang pilkada Kabupaten Teluk Wondama, yang menjadi pihak terkait dalam perkara itu. Kuasa hukum pemenang pilkada pun mengajukan keberatan dan meminta karung itu tak dibuka.

Hakim konstitusi yang menyidangkan perkara itu tetap meminta karung itu dibuka. Memang benar, di dalamnya terdapat amplop berisi uang Rp 50.000. ”Nanti, kami yang akan menilai,” kata hakim konstitusi Fadlil Sumadi, menanggapi keberatan pihak terkait yang menduga uang itu dimasukkan pemohon.

Cerita tentang pemberian para pasangan calon kepada rakyat pemilih beragam. Dari pemberian kain sarung di Kabupaten Simalungun atau Pesawaran, misalnya, bahan pangan/makanan pokok, peralatan sekolah, pembuatan fasilitas umum seperti lapangan sepak bola yang dibiayai calon, hingga yayasan pondok pesantren atau panti asuhan yang tiba-tiba tersengat bantuan nomplok.

Membeli suara masih juga dilakukan, semacam gerakan serangan fajar. Misalnya, calon mendatangi rumah dan membagikan uang Rp 50.000 seperti dikemukakan saksi dalam sidang perselisihan hasil pilkada Kabupaten Bandung.

Untuk calon yang petahana (atau calon yang masih memiliki hubungan dekat dengan petahana, seperti istri bupati), cerita mungkin sedikit bervariasi. Mereka bisa memanfaatkan program pemerintah daerah, seperti pembangunan jalan, bantuan warga miskin, bantuan korban banjir, kebijakan layanan publik, atau menggratiskan pembuatan KTP atau pajak bumi dan bangunan.

Cerita di atas adalah berbagai modus yang terungkap di persidangan MK. Hingga saat ini, MK telah menangani setidaknya 174 perkara. Sudah sering diakui, politik uang memang terjadi di hampir seluruh pilkada. Kalau pada 2010 ini terdapat 244 pilkada, maka hampir di seluruhnya terjadi praktik-praktik tersebut.

Modus baru
Ada modus baru yang terungkap di persidangan, yaitu penggunaan tim relawan. Beranggotakan puluhan hingga ratusan ribu orang, tim itu juga termasuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah bersangkutan. Seperti terungkap dalam putusan MK untuk perkara sengketa pilkada Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah, anggota tim relawan pasangan calon Sugianto-Eko Sugianto berjumlah 78.238 atau sekitar 62,09 persen dari total pemilih.

Relawan itu mendapat uang Rp 150.000-Rp 200.000. Dalam putusannya, MK membatalkan penetapan pasangan calon terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kobar.

Hampir serupa dengan di Kobar, MK pun memerintahkan pencoblosan ulang di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. MK menemukan adanya tim relawan yang berjumlah 122.560 orang dari pemilih 209.468 orang. Salah satu pasangan calon, Hidayat Batubara-H Dahlan Nasution, membagikan surat keputusan relawan senilai Rp 20.000 hingga Rp 100.000 kepada masyarakat selama proses pilkada.

Praktik politik uang yang masif semacam ini sungguh mengkhawatirkan. Setidaknya hal itu diungkapkan hakim konstitusi Hamdan Zoelva. Besarnya biaya untuk membeli suara pemilih tidak sebanding dengan penghasilan kepala daerah. Inilah yang kemudian memacu perilaku koruptif.

”Biaya kampanye tidak wajar. Seakan-akan untuk kampanye, tetapi ternyata untuk politik uang. Kadang sistematif, masif, dan terstruktur. Kalaupun terpilih, tentu mereka berpikir mengembalikan uang,” ujar Hamdan.

Lantas dari mana uang sedemikian besar yang harus dikeluarkan pasangan calon? Kalau itu berasal dari investor atau pengusaha, jelas Hamdan, hal itulah yang menumbuhsuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Pemilih emosional
Maraknya praktik politik uang dalam pilkada pun menarik perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wakil Ketua KPK bidang Pencegahan Haryono Umar mengatakan, masyarakat kerap tidak mendapat informasi cukup sehingga ketika pemilihan digelar, tidak memilih secara rasional, tetapi secara emosional.

Mereka mudah diiming-imingi dengan bayaran atau hadiah. Akibatnya, untuk meraih dukungan mereka, calon tidak segan merangkul promotor guna memberi dukungan dana. Apalagi, menurut Haryono Umar, sistem pemilihan membutuhkan biaya sangat mahal. ”Kondisi politik kita harus dibenahi karena tidak baik untuk pemberantasan korupsi,” tutur dia.

Seorang calon, tuturnya, tidak hanya harus menyisihkan dana berkampanye, tetapi juga meminang partai pendukung. Maju dengan modal terbatas akan riskan, apalagi jika calon belum dikenal dan tidak memiliki catatan mengesankan.

Masuknya dana pendukung dari promotor diduga kuat akan berujung pada praktik korupsi. Di sisi lain, bagi petahana, penggunaan dana bantuan sosial serta dana hibah untuk mengikat konstituen juga perlu dicermati.

Apalagi pertanggungjawaban dana hibah dalam APBD itu kerap tidak jelas. ”Harus dicegah menyeluruh. Kami akan bicara khusus dengan Depdagri untuk meningkatkan kinerja dan pengelolaan keuangan daerah,” kata Haryono lagi.

Sekjen Transperancy International Indonesia (TII) Teten Masduki mengatakan, praktik jual-beli suara rakyat melalui tokoh dalam pilkada, bahkan pemilihan umum, merupakan fenomena perubahan dari era otoriter menjadi populer.

Yang mengkhawatirkan, praktik itu dahsyat terjadi. Pemenangan pilkada, tutur Teten, kerap semata-mata karena kekuatan uang, bukan program.

Implikasinya, tekanan tidak hanya menguat pada penggunaan dana publik, seperti dana hibah atau bantuan sosial, tetapi juga efek jangka panjang pada sumber keuangan daerah lainnya.

Apalagi pada saat bersamaan struktur politik tidak bekerja optimal. Ujungnya, kompromi dengan para penyandang dana melalui kontrak bisnis, pemberian izin lokasi dan dana hibah, hingga lahirnya program mercusuar dan bantuan sosial yang menyerap habis keuangan daerah demi popularitas petahana.

TII, ungkap Teten, akan membicarakan hal itu dengan Menteri Dalam Negeri. Selain itu, menurut Teten, salah satu solusi mereduksi praktik politik uang dan transaksi politik dalam pilkada adalah memperketat dana kampanye, memperkuat pendidikan politik, serta menegakkan pidana pemilu. Juga gagasan menyederhanakan sistem pemerintahan melalui penunjukan gubernur oleh presiden.

Secara terpisah, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengakui, persoalan korupsi oleh kepala daerah sebagai akibat mahalnya biaya pilkada langsung sedang hangat dibicarakan. Dia sampai diundang Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) untuk berbicara khusus mengenai masalah itu.

”Jadi, ini fenomena baru di negara kita. Dulu, sebelum reformasi, menjadi bupati/wali kota itu enak. Kalau tiga jalur (ABRI, birokrat, dan Golkar) setuju, tinggal tunggu pelantikan karena Golkar sangat kuat waktu itu. Kita hampir tidak memerlukan modal,” ujar Gamawan, yang juga mantan Bupati Solok, Sumatera Barat, dan Gubernur Sumbar. (ato/jos/ana)
-----------
ANOMALI
Tahanan Pun Menang Pilkada

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, selalu saja penuh dengan orang-orang dari Boven Digoel, Papua, saat Bupati mereka, Yusak Yaluwo, disidang. Walaupun didakwa melakukan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Boven Digoel tahun 2005 hingga 2007 senilai Rp 49 miliar, tetapi Yusak mengklaim dia tetap ”didukung”.

Petahana ini memenangi pemilu kepala daerah (pilkada) Boven Digoel walaupun saat itu sudah berstatus tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kemenangan Yusak Yaluwo dalam pemilihan bupati Boven Digoel pada Agustus 2010 sempat mengherankan Wakil Ketua KPK Haryono Umar. Yusak adalah petahana yang menjadi tersangka dalam perkara dugaan korupsi APBD Boven Digoel. Pada 15 April 2010 KPK menjemput paksa dia dan menahannya hingga kini.

”Kemungkinan besar masyarakat tidak mendapat informasi lengkap. Kalau sudah jadi tersangka, akan jadi terdakwa. Kalau sudah terdakwa, menurut undang-undang, biasanya dicopot. Ini juga justru nanti akan menjadi kendala (pemerintahan) di Boven Digoel,” tutur Haryono di Jakarta.

Mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, Hadi Supeno mengaku tak heran dengan kemenangan Yusak ataupun petahana lain tersangka korupsi. ”Pilkada semuanya hanya masalah uang. Yang mau bayar, pasti menang,” kata dia.

Selain Yusak, Wali Kota Tomohon, Sulawesi Utara, Jefferson Rumajar, yang tengah jadi tersangka KPK dalam perkara dugaan penyalahgunaan APBD hingga Rp 19,8 miliar, juga memenangi pilkada pada 3 Agustus lalu.

Berdasarkan penelitian Indonesia Corruption Wacth, lima petahana tersangka korupsi oleh Kejaksaan telah memenangi pilkada periode 2010- 2015, yaitu Bupati Rembang (Jateng) Moch Salim, Bupati Kepulauan Aru (Maluku) Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur (Lampung) Satono, Wakil Bupati Bangka Selatan (Bangka Belitung) Jamro H Jalil, dan Gubernur Bengkulu Agusrin M Najamudin.

”Korupsi menjadi suatu yang salah kaprah, salah tetapi dianggap umum. Bagi pejabat di daerah, korupsi dianggap masalah kesempatan. Mereka antre kapan memperoleh kesempatan. Sedangkan di masyarakat ada internalisasi nilai, korupsi menjadi wajar. Tidak dianggap aib lagi,” kata Hadi.

Karena itu, dia merasa tak mengherankan lagi, petahana tersangka korupsi, bahkan yang sudah disidang, masih memenangi pilkada.

Selain aturan tak jelas, menurut Hadi, etika politik di daerah sama sekali diabaikan. ”Ada juga tren orang sudah jadi kepala daerah dua kali masa jabatan, daftar menjadi wakil kepala daerah. Ada lagi, bupati yang pindah ke kabupaten tetangga daftar jadi wakil bupati,” kata dia.

Menurut Hadi, banyak yang berharap menjadi pejabat bukan karena visi atau ingin mengubah daerah jadi lebih baik, tetapi benar-benar memimpikan fasilitas jabatan.

Keuangan daerah memang jadi kue rebutan aktor korup, termasuk pejabat dan calo dari pusat. Kebanyakan proyek di daerah dirancang jauh hari oleh pengusaha rekanan dengan penguasa sebelum ada pembahasan anggaran. Tender hanya main-main.

Hadi mengakui, beberapa daerah kini menyewa mantan karyawan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengawal APBD. ”Namun, tujuannya lebih mengakali anggaran. Bukan mengatur agar lebih baik, tetapi bagaimana mencurinya,” kata dia.

Menurut Hadi, walaupun yang menjadi aktor utama korupsi di daerah adalah pejabat dan pengusaha setempat, pejabat di tingkat pusat juga terlibat. ”Hampir semua dana yang diturunkan ke daerah pasti ada konsesi. Zaman saya menjabat, biasanya sampai 8 persen. Untuk pejabat di pusat 5 persen dan 3 persen kembali ke kepala daerah melalui calo di pusat,” ujar dia.

Yang paling banyak disunat adalah dana alokasi khusus. ”Dana itu tak mungkin turun tanpa negosiasi, harus ada proposal dulu. Proposal menumpuk di meja pengambil keputusan. Butuh negosiasi. Negosiasi itu tidak gratis,” tuturnya.

Praktik itu, menurut Hadi, masih berlangsung hingga kini dan hampir semuanya tutup mata. ”Baru-baru ini saya masih menemui wali kota dan bupati yang keluyuran di DPR. Mau apa kalau bukan negosiasi anggaran atau ketemu calo-calo?” kata dia.

Tak langsung
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melihat perlu ada usaha memperbaiki situasi. Salah satunya dengan mengurangi jumlah pilkada langsung. Untuk itu, ia mengusulkan gubernur tak lagi dipilih langsung mengingat ia wakil pemerintah pusat di daerah. Kompensasinya, gubernur diberi kewenangan besar oleh pemerintah pusat.

”Ada orang yang mengatakan, di mata bupati, gubernur nanti menjadi tidak berwibawa karena tidak dipilih langsung. Menteri juga tak dipilih langsung dan apakah menjadi tidak berwibawa? Kewibawaan tidak terletak pada dipilih langsung atau tidak dipilih langsung, tetapi terletak pada kewenangan yang dimilikinya,” ujar Gamawan.

Gagasan lain, membatasi pengeluaran calon. Caranya, area pemasangan atribut kampanye dibatasi. Pengerahan massa juga dilarang sebab mendatangkan ribuan orang perlu biaya besar.

Ide lain, mengatur bukan calon yang mencari uang, melainkan partai pendukung yang bertugas mengumpulkan uang. Hal ini dilakukan di sejumlah negara lain. Partai berkeliling mencari dana dengan ”menjual” calon yang didukung. (AIK/ato)
----------
PILKADA
Sikap Pragmatis Suburkan Korupsi

Oleh B JOSIE SUSILO HARDIANTO

Menyusuri jalan raya dan kampung-kampung di Kota Rembang, Jawa Tengah, kenda-raan yang dipacu dengan kecepatan rendah melaju nyaman. Jalur-jalur lain yang menghubungkan Kota Rembang dengan kecamatan-kecamatan di sekitarnya pun mulus. B Josie Susilo Hardianto

Sejak Pak Salim memimpin Rembang, jalan-jalan ke kecamatan dan desa-desa dibangun,” tutur Suyadi, tokoh masyarakat pesisir Rembang.

Tidak hanya itu, di Rembang pun mulai didirikan pabrik semen dan pembangkit listrik tenaga uap. Tempat-tempat pendaratan ikan dan talut penahan ombak diperbaiki. Masyarakat dibebaskan dari beban biaya pendidikan dan kesehatan.

”Ia pun memiliki 60 kapal yang diawaki orang Rembang dan pabrik pengolahan ikan untuk menampung hasilnya. Lahan tidur dijadikan kebun singkong, hasilnya nanti juga dia tampung,” kata Suyadi menambahkan.

Boleh jadi, kemampuan Moch Salim mengembangkan industrialisasi di Rembang tidak lepas dari kepiawaiannya sebagai pengusaha. Di Rembang, selain menjadi bupati, Moch Salim juga dikenal sebagai pengusaha sukses. Beragam usahanya, dari perikanan hingga pertambangan, terdapat dari pesisir hingga pegunungan.

Dugaan korupsi
Keberhasilan menjabat kembali menjadi Bupati Rembang periode 2010-2015, menurut Suyadi, disebabkan Moch Salim mampu menyentuh rakyat kecil. Isu korupsi menjelang pilkada lalu, menurut dia, hanyalah omongan orang tidak suka.

Sebagaimana diberitakan, sebelum pilkada di Rembang digelar, Moch Salim bersama Direktur PT Rembang Bangkit Sejahtera Jaya Siswadi ditetapkan Polda Jawa Tengah sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana penyertaan modal pada perusahaan daerah. Mereka diduga merugikan keuangan negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2006 dan tahun 2007 sebesar Rp 5,2 miliar (Kompas, 21/7).

Meski demikian, perkara hukum itu tidak menghambat laju Moch Salim memenangi pilkada pada April 2010. Ia menang mutlak dengan perolehan suara 55,9 persen. Hal serupa juga dialami Agusrin Najamuddin yang terpilih kembali menjadi Gubernur Bengkulu serta Satono yang terpilih kembali menjadi Bupati Lampung Timur.

Walaupun diduga terlibat dalam korupsi penyaluran dan penggunaan dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di Bengkulu pada 2006 sebesar Rp 27,607 miliar, Agusrin mampu mendulang suara hingga 31,67 persen. Agusrin pernah diperiksa sebagai tersangka pada Desember 2008 di Kejaksaan Agung, tetapi hingga kini kasus yang melibatkan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat Bengkulu itu belum juga dilimpahkan ke pengadilan.

Satono pun demikian. Jauh sebelum pilkada digelar, Bupati Lampung Timur itu telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penyalahgunaan wewenang, yaitu menempatkan dana APBD sebesar Rp 119 miliar di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Tripanca Setiadana. Dana itu kemudian lenyap, dan BPR tersebut dinyatakan pailit. Terakhir, berkas kasus Satono dikembalikan kepada Kejaksaan oleh Pengadilan Negeri Bandar Lampung untuk disempurnakan.

Dalam catatan Kompas, selain mereka, petahana tersangka korupsi yang memenangi kembali pilkada adalah Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko dan Wakil Bupati Bangka Selatan Jamro H Jalil.

Merakyat dan primordial
Peneliti dari Lembaga Survei Rakata Institute di Lampung, Eko Kuswanto, mengatakan, kemenangan Satono tidak terlepas dari kemampuannya melakukan pendekatan personal ke berbagai kelompok masyarakat, dari akar rumput hingga elite lokal. ”Ia berhasil menciptakan kedekatan emosional dengan masyarakat,” kata Eko Kuswanto.

Dalam lima tahun terakhir, politikus yang menapaki karier sebagai pegawai negeri sipil itu kerap mendatangi rumah warga untuk melayat ketika ada yang meninggal dunia. Dia juga dikenal pandai mendalang sehingga dikenal luas oleh masyarakat.

Ujungnya, isu-isu korupsi yang melilit Satono, menurut pengamat politik dari Universitas Lampung, Syarif Mahya, tidak berpengaruh. Itu disebabkan kedekatan personal, menurut Syarif Mahya, jauh lebih menentukan keputusan masyarakat memilih seorang calon.

Hal senada diungkapkan Eko Kuswanto. ”Dalam pandangan masyarakat tradisional, sepanjang seseorang belum ditangkap, apalagi disidangkan, maka yang bersangkutan masih dianggap cukup ”bersih”. Buktinya, dalam survei, kami menanyakan kepada responden apakah sudah mendengar soal kasus korupsi Satono? Dijawab, ya. Saat ditanya apakah memilih dia? Dijawab, ya. Alasan mereka, karena tidak ditahan,” ungkap Eko Kuswanto.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Bengkulu Panji Suminar berpendapat senada. Sifat pemilih di Bengkulu yang cenderung primordial dan tidak rasional dilihatnya sangat berpengaruh dalam pilkada. ”Prinsip suku sangat penting bagi orang Bengkulu. Walaupun calonnya tidak bagus, kalau berasal dari suku yang sama, akan dipilih,” kata Panji.

Pragmatis
Kecenderungan dikuatkan dengan maraknya politik uang. Di Rembang, misalnya, Panwas Kabupaten Rembang menemukan bukti berupa amplop berisi Rp 25.000, dengan total temuan sebanyak Rp 450.000.

Hal itu dibenarkan beberapa warga yang mengaku memperoleh amplop berisi uang senilai Rp 20.000 dan Rp 25.000. Namun, temuan itu, menurut Ketua Panwas Kabupaten Rembang Minnanus Suud, tidak dapat ditindaklanjuti. ”Para pelapor dan mereka yang terkait kasus itu tiba-tiba mencabut laporan dan yang terlapor pun melarikan diri. Akibatnya, proses klarifikasi tidak dapat dilakukan,” tutur Minnanus Suud.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Rembang Muhammad Affan melihat, masyarakat saat ini cenderung pragmatis. Mereka sebenarnya memiliki cukup informasi tentang kinerja dan siapa sesungguhnya para calon yang mencalonkan diri. Namun, informasi itu kerap kali tidak berguna ketika pemilihan digelar.

Di Rembang, tutur Affan, dikenal istilah ”bom-boman”, yaitu praktik pembagian uang sebelum pilkada digelar. ”Bisa jadi seseorang sebenarnya memilih calon A. Tetapi, pilihan mereka tiba-tiba berubah pada hari pencoblosan karena tim dari calon lain memberi uang,” kata Affan.

Ironisnya, kerap kali praktik itu sulit dibuktikan secara hukum. ”Fakta hukumnya tidak ada meski fakta politik ada karena ada orang yang bisa menceritakan,” tutur Affan.

Demikian juga di Bengkulu. Ketua Panwas Bengkulu Sakroni mencium adanya praktik tersebut dan diduga dilakukan Agusrin Najamuddin dengan program pembagian kompor dan tabung gas gratis serta pembagian traktor tangan menjelang pilkada. Kasus itu telah disidangkan di Mahkamah Konstitusi, tetapi lembaga itu memutuskan dugaan tersebut tidak terbukti. Meski demikian, Sakroni bersikukuh praktik itu adalah politik uang meski dalam kacamata hukum tidak ada bukti kuat.

Dampak
Sikap pragmatis masyarakat tentu disayangkan karena berdampak pada proses demokrasi dan terabaikannya isu-isu serius, seperti korupsi. Sebaliknya, sikap itu justru melestarikan korupsi politik dan mengabaikan nurani. Baik Sakroni maupun Muhammad Affan prihatin pada sikap masyarakat yang rela menerima pemberian apa saja dari para calon kepala daerah.

”Mereka berpikir sangat dangkal. Mereka tidak melihat pembagian seperti itu merusak tatanan demokrasi. Itu sama dengan menggadaikan harapan mereka selama lima tahun ke depan,” kata Sakroni. (HEN/JON/WAD)
-------------
PENCEGAHAN KORUPSI
Tebarkan Rasa "Waswas" Korupsi

Sejak dilantik pertama kali sebagai Gubernur Kalimantan Tengah pada Agustus 2005, Agustin Teras Narang sudah memikirkan bagaimana mewujudkan pemerintahan bersih di tempat kelahirannya itu.

Keinginan Teras Narang sangat kuat karena dia adalah Ketua Komisi II DPR saat RUU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibahas dan diundangkan.

”Kata kuncinya pencegahan. Semangat pemberantasan korupsi, sesuai UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah mengutamakan pencegahan dan pembangunan sistem yang bisa mencegah korupsi. Penindakan dan pemidanaan adalah pilihan terakhir,” kata dia.

Tujuh bulan setelah menjabat, Teras Narang menjalin kerja sama dengan KPK, membangun sistem pencegahan korupsi di jajaran pemerintah daerah se-Kalteng. Kerja sama itu diikuti dengan nota kesepahaman antara Gubernur Kalteng dan 13 pemerintah kabupaten/kota serta DPRD se-Kalteng. Dengan kerja sama itu, aparat KPK dapat datang kapan pun ke Kalteng, memasuki berbagai instansi yang ada, serta melakukan ”pengawasan” dan pendampingan mencegah korupsi.

”Aparat KPK bisa kapan saja datang. Saya pun tak tahu. Jika sudah selesai, baru aparat KPK, terutama dari Deputi Pencegahan, memberi tahu Pemerintah Provinsi Kalteng. Tidak bisa lain, setiap hari jajaran pemerintahan di Kalteng harus siap sewaktu- waktu KPK datang,” tutur Teras Narang. Hasilnya, jajaran Pemprov Kalteng, sampai ke pemerintah kabupaten/kota dan DPRD, selalu ”waswas” melakukan penyimpangan.

Meski awalnya merasa tak nyaman, aparat di Kalteng akhirnya terbiasa dengan semangat pelayanan dan pemerintahan yang bersih. Apalagi, hasilnya juga dapat mereka banggakan. Tahun 2007, KPK memberi penghargaan Pemprov Kalteng sebagai pelaksana kerja sama dan sosialisasi pemberantasan korupsi terbaik. ”Apalagi, kesejahteraan rakyat di Kalteng juga meningkat,” kata Teras Narang lagi.

Sejak tahun 2006, indeks pembangunan manusia (IPM) Kalteng terus membaik, bahkan dua tahun terakhir selalu berada di urutan keempat dari 33 provinsi. Indeks persepsi korupsi (IPK) Kota Palangkaraya pun, sesuai penilaian Transparency International Indonesia (TII) tahun 2009, lebih dari 6. Hanya kalah dari Kota Yogyakarta.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menilai laporan keuangan Pemprov Kalteng wajar tanpa pengecualian. Hanya tahun 2009, karena masih ada beberapa dinas yang belum melaporkan keuangannya, BPK memberi penilaian wajar dengan pengecualian.

”Kerja sama dengan KPK untuk pencegahan korupsi itu kini sudah berakhir. Pemprov Kalteng akan memperpanjang kembali,” kata Teras Narang, yang bersama Wakil Gubernur Diran, terpilih kembali memimpin Kalteng untuk periode kedua.

Wakaf politik
Kisah keberhasilan Kota Yogyakarta mencegah penyebaran ”virus” korupsi berbeda lagi. Berangkat dari obsesi ingin membuat Kota Yogyakarta terang benderang pada malam hari, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto bersama jajarannya mampu membuat Yogyakarta bak lampu pedoman bagi tata kelola pemerintah yang baik, bersih, dan antikorupsi. TII, melalui survei IPK- nya, menempatkan Kota Yogyakarta pada 2009 sebagai kota terbersih dengan skor 6,43.

Suasana Kantor Dinas Perizinan di Kompleks Kantor Wali Kota Yogyakarta, misalnya. Antar-ruang hanya disekat kaca, memungkinkan tiap orang tahu siapa dan sedang apa mereka yang berada di dalamnya. Mulai dari wujud fisik, niat membangun transparansi tampak serius dilakukan.

Semua perkara diselesaikan di meja pelayanan di koridor utama kantor dinas itu, bukan bernegosiasi kepada pejabat berwenang. Semua gerai layanan diberi tanda pengenal jelas dengan petugas selalu siaga di kursi mereka.

Herry Zudianto mengakui, yang paling sulit adalah menumbuhkan nilai dan visi bersama yang akan menghidupi sistem itu. Sistem berhasil terbangun bersama berkat konsistensi dan niat berbuat lebih baik.

Sejak awal, saat pertama kali berniat maju dalam pemilihan Wali Kota Yogyakarta tahun 2001, Herry menempatkan kekuasaan sebagai wakaf politik. Ia sama sekali tidak berniat mengambil kembali apa saja yang telah dia berikan melalui kerjanya sebagai Wali Kota Yogyakarta.

”Tidak ada emosi. Besaran dana dibatasi secara rasional dalam proses sangat pribadi bersama istri. Dana pun ikhlas dikeluarkan dan sama sekali tidak ada pikiran itu adalah investasi,” kata dia.

Dana itu dianggapnya sebagai biaya sosial untuk merealisasikan visinya. ”Karena kalau berpikir tentang itu (mengembalikan biaya) pasti tergoda mencari sponsor,” kata dia lagi.

Herry juga mendesakralisasi birokrasi. Bagi dia, birokrasi adalah sarana memberi, melayani, dan membangun dialog terbuka dengan masyarakat. Itu dimulai, misalnya, dari pakaian kerja aparat. Atribut formal sebisa mungkin ditanggalkan untuk menimbulkan rasa dekat bagi warga. Satu-satunya keharusan adalah mengenakan pin Bendera Merah Putih untuk mengingatkan kembali semua yang dilakukan adalah untuk Indonesia.

Penempatan aparat birokrasi sesuai kemampuannya—bukan berdasar aspirasi atau golongan tertentu—ikut mengeliminasi potensi perilaku koruptif dalam jajaran pemerintahan.

Kontrol dari masyarakat pun dibuka melalui Unit Layanan Informasi dan Keluhan (UPIK) yang sangat dikenal warga. Keluhan yang masuk ditanggapi segera dan serius.

”Pilihannya hanya dua, mengubah paradigma lama atau menunggu dipaksa berubah. Saya memilih mengubah paradigma karena kalau apa-apa dipaksa tentu tidak enak,” kata dia.

Herry Zudianto berani menjamin korupsi berjamaah tidak lagi terjadi. ”Tetapi, saya tidak mampu menjamin korupsi yang dilakukan individu,” kata Herry, yang berhasil menerangi jalan-jalan di Kota Yogyakarta menggunakan lampu bahkan hingga ke gang-gang sempit.

Tanpa modal
Kisah berbeda disampaikan Joko Widodo, Wali Kota Solo, yang akrab disapa Jokowi, yang pekan lalu diumumkan menerima penghargaan Bung Hatta Anticorruption Award 2010. Dia memulai gerakan antikorupsi dari dirinya sendiri. Dalam pilkada di Kota Solo tahun ini, untuk periode kedua, dia meraih suara 90,09 persen tanpa mengeluarkan uang sama sekali dan tak mengundang orang lain untuk ”berinvestasi”.

Dia kembali berpasangan dengan Wakil Wali Kota FX Hadi Rudyatmo. ”Semua kebutuhan disumbang, dalam bentuk spanduk yang dipasang sendiri oleh penyumbang, baliho, kaos, ada yang menyumbang 10 buah, 50 buah. Kalau pertemuan di gedung, pakai gedung sendiri,” kata Jokowi, panggilannya, di Balaikota Solo, Rabu (6/10).

Ia percaya diri karena diam-diam sudah melakukan survei. Dari lima kali survei, Jokowi selalu didukung suara sebesar 87 persen dengan simpang kesalahan 4 persen.

Jokowi mengaku tidak tahu persis apa yang menyumbang pada kemenangannya dalam pemilihan kedua. Jika dinilai itu buah dari hasil programnya yang disukai masyarakat sehingga membuat dirinya populer, Jokowi mengatakan, ia hanya sekadar bekerja tanpa pamrih.

Jokowi dikenal dengan beberapa program, seperti penataan pedagang kaki lima (PKL) yang mencakup 5.600 PKL yang berjalan damai, pemeliharaan kesehatan masyarakat yang mencakup 176.000 orang, dan bantuan pendidikan masyarakat Kota Solo yang mencakup 73.000 orang.

”Saya lima tahun kemarin disuruh bekerja oleh masyarakat, Setelah itu dinilai masyarakat. Penilaiannya terserah saja. Hanya saat bekerja, saya benar-benar fight dan selalu pakai konsep dan perencanaan serta manajemen pengawasan,” kata Jokowi.(jos/eng/eki/tra)
---------
OTONOMI DAERAH
Desentralisasi Korupsi?

Oleh SUWARDIMAN

Korupsi menjadi ironi semangat desentralisasi yang berkembang. Alih-alih mendekatkan rakyat kepada kesejahteraan lewat pemerataan pembangunan, otonomi daerah justru menjadi lahan subur ”pemerataan” korupsi. SUWARDIMAN

Pilkada tampaknya kini kerap dimaknai dengan logika dagang. Betapa tidak, potret politik yang cenderung bersifat transaksional ini sudah terjadi sejak awal proses penyelenggaraan demokrasi lokal. Semenjak tahapan awal pilkada, calon kepala daerah dituntut memiliki modal yang kuat karena mahalnya biaya politik. Keadaan itu ditambah pula dengan perilaku pemilih yang terdorong semakin pragmatis sehingga muaranya proses pemilihan kepala daerah yang transaksional dan koruptif.

Siklus balas jasa tersebut menyebabkan maraknya kepala daerah produk pilkada langsung terseret kasus korupsi. Dari 54 kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah atau mantan kepala daerah sepanjang 2005-2010, separuh lebih terkait penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sepertiga lebih terkait tender proyek. Sisanya korupsi terkait penyalahgunaan alokasi dana lainnya, seperti dana bantuan sosial atau kas daerah (lihat peta).

Pengakuan sejumlah mantan kepala daerah/wakil kepala daerah memperkuat fakta munculnya praktik balas jasa kepada mayoritas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Proses pencalonan kepala daerah diakui membutuhkan biaya sangat tinggi, bahkan mencapai puluhan miliar rupiah. Hadi Supeno, mantan Wakil Bupati Banjarnegara, membeberkan pola korupsi di daerah dalam buku yang ditulisnya, Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan, 2009.

Mantan Wali Kota Tarakan Yusuf SK memiliki pengalaman tak jauh berbeda. Pada saat pilkada mendekat, sejumlah kelompok bisnis mendatangi calon untuk menawarkan dana dukungan menjelang pilkada. Calon kepala daerah yang menang nantinya akan dimintai kompensasi berupa alokasi proyek atau izin penyediaan lahan.

Di satu sisi, modal yang dikeluarkan kandidat saat pilkada sangat besar, tidak sebanding dengan pendapatan total selama menjabat, sekitar Rp 50 juta per bulan. Sebaliknya, pengeluaran kepala daerah—meliputi berbagai bantuan untuk kelompok dan individu dan menjadi ”kewajiban” seorang kepala daerah—jauh lebih besar jumlahnya. Ujung- ujungnya, pengeluaran ini dianggarkan dalam APBD alias melakukan korupsi.

Keuangan daerah memang menjadi sektor paling rawan korupsi dengan APBD sebagai obyek korupsinya. Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, terjadi 38 kasus korupsi di keuangan daerah pada semester pertama 2010, meningkat dari 23 kasus periode yang sama tahun 2009. Beberapa kasus APBD dengan potensi kerugian negara sangat besar selama tahun 2010 di antaranya adalah pembobolan kas daerah Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar, APBD Indragiri Hulu sebesar Rp 116 miliar, kas daerah di Pasuruan, Jawa Timur, sebesar Rp 74 miliar, dan dana otonomi daerah di Boven Digoel sebesar Rp 49 miliar.

Secara keseluruhan, ICW mencatat dua kali lipat lebih penindakan kasus korupsi selama semester pertama 2010 dengan 176 kasus korupsi mengakibatkan kerugian negara Rp 2,1 triliun.

Perilaku pemilih
Praktik desentralisasi politik, secara teoretis, adalah jalan untuk mendistribusikan kekuasaan sentralistik menjadi lebih merata ke tingkat lokal. Pemilihan kepala daerah langsung pun ditujukan untuk menciptakan pemerintahan daerah yang akuntabel. Penguasa lokal diharapkan mampu lebih responsif terhadap kepentingan rakyat yang langsung memilihnya.

Sistem pemilihan langsung hanya akan bermakna bila diselenggarakan dalam perspektif demokrasi substansial, yaitu ditunjang perilaku demokratis, baik dari elite lokal maupun masyarakat pemilih. Perilaku dimaksud adalah pemilih memiliki pendidikan politik yang cukup dan menetapkan pilihan politik berdasarkan kesadaran rasional terhadap calon-calon yang bertarung di pilkada.

Masalahnya, perilaku politik, baik dari kandidat maupun pemilih, saat ini sama-sama cenderung terdorong ke arah yang tak diperhitungkan sebelumnya. Mengutip Syarif Hidayat (Deepening Democracy in Indonesia, 2009), arti kata modal saja bagi kandidat kepala darah saat ini tidak hanya berupa modal politik, tetapi juga modal finansial. Modal politik bersumber pada partai politik, tokoh informal, ataupun kemampuan berpolitik, sementara modal finansial adalah kekayaan pribadi kandidat atau pihak lain yang satu kelompok kepentingan.

Kecenderungan perilaku pemilih saat ini yang semakin ”pragmatis” dan ”transaksional” sedikit banyak terindikasi dari kecilnya rentang waktu dalam menentukan pilihan politik. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan, saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta, misalnya, separuh responden baru menetapkan keputusan pada hari-H pencoblosan, sementara 31,4 persen responden seminggu sebelumnya. Hasil survei Kompas selama pilkada di Jawa Barat dan Jawa Timur juga menunjukkan sekitar 20 persen pemilih baru memutuskan pilihan mereka pada hari pelaksanaan pemilu.

Meski tak seluruh indikasi tersebut dimotivasi keinginan responden menunggu ”serangan fajar”, tetapi tak pelak pola demikian membuka lebar peluang tim sukses pasangan calon melakukan praktik politik uang. Faktanya, merujuk pada berbagai gugatan pilkada di Mahkamah Konstitusi, nyaris semua dalil penggugat yang jumlahnya ratusan kasus itu diwarnai laporan perihal terjadinya praktik politik uang.

Petahana bermasalah
Bertemunya dua kebutuhan, yakni modal politik dan modal kapital, pada awal proses pembentukan pemerintahan daerah melahirkan berbagai bentuk transaksi pasca-terbentuknya pemerintahan. Transaksi politik dan transaksi bisnis berkelindan sebagai buah investasi berbagai pihak yang menjadi sponsor hingga terpilihnya seorang kandidat menjadi kepala daerah. Model transaksional ini menurut Syarif Hidayat pada akhirnya melahirkan praktik ”pemerintah bayangan”, yakni kekuatan informal yang berdiri di balik panggung kekuasaan dan menyetir kerja pemerintahan sebenarnya.

Dengan situasi itu, tak heran bila pasca-pemilihan gubernur atau bupati kebijakan yang ditelurkan dirasa janggal oleh publik atau berpihak secara tidak wajar kepada kelompok tertentu. Dengan pola imbal balik demikian, tak heran pula jika seorang calon kepala daerah bermasalah bisa terpilih kembali.

Pilkada Kabupaten Boven Digoel, Papua, dan Kepulauan Aru menjadi contoh. Petahana Boven Digoel, Yusak Yaluwom, menang dengan 43,7 persen suara, padahal dia tersangka korupsi APBD Boven Digoel tahun 2005-2007 senilai Rp 49 miliar. Adapun petahana Kepulauan Aru, Teddy Tangko, menang dengan 42,7 persen suara, terjerat kasus korupsi APBD 2005-2007 sebesar Rp 30 miliar. Tak hanya Yusak dan Tangko, setidaknya tercatat lima petahana lain yang dalam status tersangka korupsi, tetapi terpilih kembali sebagai kepala daerah. (LITBANG KOMPAS)

Sumber: Kompas, 8 Oktober 2010
Anda bisa mengunduh tulisan ini dalam format PDF di sini...

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan