Politik Uang Meningkat 200%; Pilkada Era Dulu dan Sekarang
Direktur Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lambok Hamonangan Hutauruk memprediksi politik uang dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung meningkat lebih dari 200% dibanding pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
''Jika pilkada oleh DPRD jumlah uang yang keluar Rp3, maka untuk pilkada langsung bisa menjadi Rp10. Artinya, penggunaan uang saat pilkada langsung lebih besar daripada pilkada yang ditangani DPRD,'' ujarnya di Pontianak, kemarin.
Ia menengarai, praktik politik uang dalam pilkada secara langsung bisa terjadi saat pengusulan calon yang dilakukan DPRD, kemudian berlanjut saat pencarian dukungan, misalnya kepada tokoh masyarakat dan tokoh agama.
Lambok tidak merinci apa yang bisa dilakukan lembaganya untuk ikut serta meredam merebaknya politik uang dalam pilkada langsung yang menurut jadwal akan berlangsung di sejumlah daerah Juni mendatang. Namun, dia mengingatkan bahwa seluruh calon kepala daerah telah diwajibkan untuk mengisi formulir Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang biasa disebut sebagai formulir A.
Formulir tersebut, sambung Lambok harus diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), yang kemudian akan meneruskannya ke KPK sebagai data masukan.
Ditambahkannya, jika yang bersangkutan terpilih, maka di pertengahan atau di penghujung masa tugasnya, KPK akan mengeluarkan formulir B yang merupakan laporan kekayaan si pejabat selama menjadi penyelenggara negara. ''Laporan harta kekayaan menjelang akhir jabatan tersebut akan menjadi pembanding bagi KPK untuk mengetahui pertambahan kekayaan pejabat itu dengan mengacu kepada data sebelum menduduki jabatan,'' paparnya.
Pada bagian lain, Lambok menegaskan, KPK tidak pernah menunda pengungkapan kasus korupsi di daerah selama pilkada berlangsung. Menurutnya, penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi tetap dilakukan selama pilkada.
Artinya, kata Lambok, jika ada kepala daerah atau calon kepala daerah tersangkut masalah korupsi, maka pihak kejaksaan yang menangani kasus itu harus segera mengeluarkan surat perintah dimulaikan penyidikan (SPDP). ''Begitu penyidikan di mulai, kejaksaan harus melapor ke KPK,'' tandasnya.
Mahal
Di Jakarta, mantan Mendagri Soerjadi Soedirdja mengungkapkan, pilkada langsung sangat mahal, sehingga jangan dimahalkan lagi dengan praktik politik uang. ''Membeli demokrasi dengan uang adalah tindakan yang sangat tidak terpuji,'' katanya, pada diskusi Sosialisasi dan Pemantauan Pilkada sebagai Aktualisasi Kebijaksanaan Otonomi Daerah di Era Demokrasi, kemarin.
Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh PWI Pusat tersebut
Soerjadi mengatakan, pilkada langsung pasti menimbulkan ekses-ekses yang perlu diwaspadai dan diantisipasi, di antaranya adalah politik uang.
Jangankan dalam pilkada langsung, kata Soerjadi, ketika dirinya masih menjabat Mendagri, jika ada orang yang berminat menjadi kepala daerah, pertanyaan pertama yang harus dijawab adalah berapa dana yang dimiliki orang bersangkutan. Padahal, tegasnya, pada waktu itu pilkada masih melalui DPRD.
Pernyataan Soerjadi, yang juga mantan Gubernur DKI itu, dibenarkan pembicara lain, Ketua DPP Partai Golkar Bambang Sadono. Menurut Bambang, sejak dulu pilkada memang mahal.
''Kalau dulu (Orde Baru) setorannya ke atas, pada zaman awal reformasi setorannya ke tengah, yaitu ke DPRD-DPRD. Dengan sistem pilkada langsung, masyarakat di bawah juga akan kecipratan,'' ungkapnya.
Pada kesempatan yang sama, Mendagri Mohammad Ma'ruf dalam sambutannya yang dibacakan Dirjen Otonomi Daerah Progo Nurjaman mengingatkan semua pihak untuk ikut mencermati dan mengantisipasi berbagai kemungkinan yang mengganggu pelaksanaan pilkada, termasuk terjadinya praktik politik yang curang. (Ant/P-6)
Sumber: Media Indonesia, 30 Maret 2005