Politik Uang Masih Tinggi

Kendatipun secara umum pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden (Pilpres) putaran kedua berlangsung secara baik, perilaku politik uang pada hari pemungutan suara dan selama masa tenang kampanye masih cukup tinggi, mencapai 22,31 persen.

Demikian antara lain hasil temuan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang disampaikan koordinator-nya Gunawan Hidayat di Pusat Tabulasi Nasional Pemilu (TNP), Jakarta, kemarin.

Dia menjelaskan, penilaian dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dipimpinnya itu berdasarkan pemantuan 20.000 relawan yang tersebar di 3.949 tempat pemungutan suara (TPS) di 121 kabupaten/kota yang tersebar di 26 provinsi.

Berdasarkan hasil pemantauan tersebut JPPR menyimpulkan, penyelenggaraan Pilpres putaran kedua pada 20 September lalu berlangsung secara adil dan bebas. Berdasarkan pemantauan JPPR, 99 persen dari 3.949 TPS, pemungutan suaranya berlangsung secara baik dan bebas.

Kendati demikian, yang cukup memprihatinkan adalah tingginya praktik politik uang selama masa tenang kampanye dan pada saat pemungutan suara. Angka praktik politik uang mencapai 22,3 persen responden. Praktek politik uang paling banyak terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Gaji Ke-13
Di Sumatera Utara juga terjadi praktek politik uang. Dia mencontohkan, di Jawa Tengah sebuah perusahaan negara membayar gaji ke-13 karyawannya pada masa tenang kampanye Pilpres putaran kedua. Bahkan di Langkat, Sumatera Utara, pasangan calon presiden (capres) tertentu memberi pinjaman kepada masyarakat tanpa agunan bila pasangan tersebut terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden.

Sedangkan tingkat intimidasi terhadap pemilih menjelang dan saat mencoblos sangat rendah. JPPR menemukan hanya 3,31 persen terjadi intimidasi terhadap pemilih, itu terjadi di Klaten, Jepara dan Brebes, Jateng.

Kerahasiaan pilihan pemilih juga cukup tinggi, mencapai 90,08 persen. Hanya 9,92 persen pemilih yang merasa tidak menjamin kerahasiaan pilihannya. Itu pun terjadi di daerah-daerah kumuh, seperti di Jakarta.

Namun demikian, JPPR merasa bangga atas kedewasaan yang ditunjukkan oleh para pemilih Indonesia. Tahun ini bersama-sama kita telah melampaui tiga pemilihan umum secara baik dan kita membuktikan pada diri kita sendiri serta pada dunia bahwa masyarakat Indonesia dapat menerima perbedaan pilihan politik tanpa kekerasan, papar Gunawan.

Sementara Koordinator Divisi Advokasi dan Wacana Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (JAMPPI) Nurul Hilaliyah secara terpisah mengatakan, Pilpres putaran kedua lalu menyisakan banyak persoalan, seperti pelanggaran-pelanggaran pemilu. Pemantauan lembaga itu di 4.600 TPS yang tersebar di 46 kabupaten/kota di 16 provinsi menunjukkan, pelanggaran yang paling banyak terjadi adalah 27,57 persen TPS membolehkan pemilih yang tidak terdaftar di TPS namun tetap dibolehkan mencoblos. Selain itu masih ada pemilih yang dapat mencoblos dengan menggunakan kartu pemilih orang lain (2,7 persen). (A-21)

Sumber: Suara Pembaruan, 22 September 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan